Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

padanglurus1Avatar border
TS
padanglurus1
Jadikan ISPO Senjata Indonesia di Sidang WTO
Berdasarkan perjalanannya, industry sawit Indonesia mulai mendapat masalah sejak bergabungnya Indonesia dengan Protocol Paris dalam kesepakatan atas perubahan iklim dunia.  Isinya antara lain yang berisi komitmen sejumlah Negara dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca.

Dalam upaya pemenuhan komitmen terhadap Protocol Paris tersebut, dikaitkan dengan industry utama non migas ini,  Indonesia ikut  bergabung dengan asosiasi yang sudah ada yakni RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). 

RSPO adalah lembaga non pemerintah  dan diikuti oleh mayoritas  kalangan bisnis sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor)  Eropa, serta banyak LSM atau lembaga-lembaga yang terkait dengan bisnis ini dan berkantor pusat di Zurich, Swiss.

Tujuan utama asosiasi yang berdiri tahun 2004 ini  adalah mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

Ada yang khas dari status dalam  keanggotaan  di RSPO yaitu, tidak semua anggota memiliki hak voting. Hak suara dan memlih itu hanya dimiliki  produsen dan distributor besar saja. Anggota di luar produsen dan distributor, seperti akademisi, LSM lingkungan, dan anggota masyarakat tidak memiliki hak serupa. Maka dari sini bisa terbaca arah dan kepentingan siapa yang paling banyak disuarakan secara kelembagaan oleh asosiasi ini.
 
Selain bergabung dengan RSPO, Indonesia juga  membentuk sendiri kebijakan terkait industry sawit tersebut yang diberi nama ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

ISPO adalah bentuk kebijakan  yang diambil pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Kebijakan ISPO ini juga menjadi wujud dari komitmen Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk  mengurangi gas rumah kaca, seperti yang diinginkan oleh Protocol Paris.

Pada satu sisi Indonesia selaku produsen serta Eropa sebagai Negara konsumen  utama produk industry sawit ini punya kesamaan cita-cita yakni, memastikan sebuah aktifitas industry tak memperburuk kualitas lingkungan hidup. Atau dalam bahasa lain, bisnis yang berkelanjutan.

RSPO yang didukung oleh negara maju bersama LSM dan lembaga lain, kerap menyebut Indonesia tak benar-benar menjalankan komitmen pengurangan efek rumah kaca melalui ISPO. Beberapa alasan yang keluar antara lain karena ISPO  tak melibatkan auditor independen terhadap pelaku usaha yang mendapat sertififikat tersebut. Disamping juga tak melibatkan kalangan LSM dalam proses penerbitan sertifikat tersebut.
Itu belum lagi jika menyebut bahwa negara-negara konsumen tersebut selalu menempatkan operasioanal bisnis sawit Indonesia sebagai biang kerok kerusakan alam, penggundulan hutan dan pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi seperti Orang Utan di Kalimantan.  Yang itu berujung kepada keluarnya rancangan aturan pelarangan total sawit untuk Biodiesel di benua tersebut sebagaimana yang dicantumkan dalam RED II

Untuk itu, diluar negosiasi pemerintah dan pihak terkait dalam upaya pembatalan RED II yang akan ditetapkan oleh Uni Eropa beberapa waktu ke depan, ada pekerjaan rumah  lain ke dalam yang tak kalah pentingnya. Tugas dan pekerjaaan rumah itu adalah memperkuat status ISPO sebagai cara mandiri Indonesia dalam menepis tuduhan adanya dampak kerusakan lingkungan akibat bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia

Penguatan ini menjadi penting, karena disukai atau tidak,  keberadaan ISPO yang usianya lebih mudah dari pada RSPO masih harus berkutat dengan sejumlah persoalan.
Saat ini sertifikat ISPO  telah mengacu pada standar internasional (ISO) dan penilaian kesesuaian oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).  Itu ditambah dengan keberadaan  15 lembaga sertifikasi ISPO yang tujuh diantaranya,  dari luar negeri yaitu Jerman, Inggris, Italia, Perancis, Swiss, dan Austalia.
Sejatinya,  sertifikat yang dikeluarkan ISPO sudah layak dan setara dengan RSPO karena sejumlah negara tujuan ekspor kelapa sawit, telah mengaku sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga  bentukan pemerintah itu.

Bahkan penerimaan sertifikat ISPO sudah dimonitor oleh Europian Sustainable Palm Oil (ESPO) dan setiap tahunnya dilaporkan oleh European Palm Oil Alliance (EPOA).
Kini tinggal satu sisi yang masih belum digarap maksimal, yakni perkebunan kelapa sawit milik perorangan atau petani. Penerapan sertifikat ISPO untuk pelaku usaha perorangan ini masih terkendala oleh sejumlah masalah.

Salah satunya adalah  kepemilikan lahan yang sebagian besar masih berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), sebagian areal terindikasi masuk kawasan hutan, para pekebun menolak membentuk koperasi, serta masalah pendanaan pra kondisi dan biaya audit. Maka disini peran pemerintah dan para stake holder lain harus turun tangan dan melakukan pendampingan dalam menyelesaikannya. Mulai dari pelatihan, pendampingan pra kondisi, pembentukan kelembagaan, hingga proses mendapatkan sertifikasi ISPO untuk petani perorangan tersebut.
Maka dengan beragam penguatan ke dalam tersebut, sertifikat ISPO Indonesia bisa menjadi salah satu   senjata utama untuk menantang Uni Eropa di meja WTO.

Langkah itu menjadi penting, jika seandainya naskah dan rancangan aturan RED II yang dibuat komisi Eropa, mendapat pengesahan oleh Uni Eropa. Karena dengan bukti-bukti yang ada, proses sertifikasi  yang telah dijalankan selama ini akan bisa menjawab sekaligus bantahan atas tuduhan bahwa industry kelapa sawit Indonesia telah  penerapkan skema keberlanjutan.


0
417
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Bisnis
BisnisKASKUS Official
70KThread11.6KAnggota
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.