trifatoyahAvatar border
TS
trifatoyah
Cantik Mamanya Part 2
Cantik Mamanya
Part 1




Sebel! Selalu saja begitu. Setiap kali jalan bareng mama, orang-orang yang melihat akan bilang "Cantik Mamanya." Rasanya sakit tapi tak berdarah. Pernah suatu kali aku berpikir, mungkin aku bukan anak kandung mama.

Secara fisik saja sudah beda, mama bertubuh tinggi langsing, bermata lentik hidung mancung, dan kulitnya terang benderang. Sedangkan kulitku gelap, badan tambun, hidung mancung kedalam. Akh pokoknya beda jauh dengan mama.

Selidik punya selidik ternyata aku ngikut gen papa. Aku sendiri heran, kok bisa ya, mama cinta mati sama papa. Sebegitu beruntungnya papa.

Lihat saja, itu orang-orang lagi bisik-bisik, siapa lagi yang diomongin, kalau bukan aku dan mama.

"Pit, ngapain manyun gitu, ayo bawa belanjaannya!" seru mama, sambil menyodorkan sekeranjang belanjan penuh.

"Ma, lain kali nggak usah ngajak aku belanja napa?" Aku bersungut-sungut, sambil tetap membawa belanjaan.

"Emang mau ngajak siapa? Anak tetangga?"

"Aku malu, Ma. Setiap kali jalan bareng Mama, orang-orang itu selalu gak percaya, kalau aku ini anak Mama."

"Biarkan saja mereka tak percaya. Yang penting , kamu itu anaknya Mama, ngapain ngurusin orang-orang."

Mama bisa saja ngomong begitu, karena mama tidak berada di posisiku. Coba kalau jadi aku.

***

Ini nih yang membuat aku heran siang malam, mama begitu nurutnya sama papa, capek-capek dari pasar, papa minta buatin kopi kok ya langsung saja, tanpa penolakan mama membuatnya. Dasar tuh papa, manjanya selangit. Padahal dia bisa sendiri buat kopinya.

"Pit, kalau jadi istri itu, kayak Mamamu ini, patuh, sopan, dan nurut sama Papa, jadinya 'kan tambah sayang," kata Papa tanpa sungkan-sungkan memeluk mama di depanku, kemudian menciumnya mesra.

"Idih Papa, gak tahu malu masa mesraan di depan anaknya."

Aku langsung melepaskan pelukannya papa, dan menarik mama pelan kemudian memeluknya. Hampir setiap hari pemandangan itu terjadi, aku dan papa saling berebut mama.

"Papa, pasti pake pelet buat dapatin Mama!" tuduhku tanpa ampun. Papa langsung menyentil hidungku, dan mengacak rambutku tanpa ampun.

Kami kejar-kejaran di dapur, mama ngomel-ngomel dengan tingkah kami. Dapur jadi berantakan, bumbu-bumbu berserakan di lantai. Begitu mama mendelik sempurna, aku langsung lari ke lantai atas.

Mama, sampai kapan aku akan jelouse padamu, wanita yang begitu cantik memesona. Malam ini, ketika mama mengajak aku ke resepsi pernikahan anak temannya, aku menolak mentah-mentah, begitu kulihat dandanan mama yang cetar membahana. Sebenarnya mama hanya mencepol rambut panjangnya, dan mengoleskan lipstik tipis-tipis, tapi aura kecantikannya begitu terlihat jelas.

"Ayolah, Pit. Nanti mama kenalin kamu dengan anak temen mama," bujuk mama sambil menyisir rambut panjangku.

"Males akh, Ma. Ntar seperti kemarin dikira mama ini kakakku, tahu-tahu cowok itu malah naksir sama mama. Untung tidak digebukin Papa."

Mama senyum-senyum, mungkin ingat peristiwa satu bulan yang lalu, saat temenku naksir sama mama.

Aku sendiri heran kok bisa mama merawat kecantikannya sedemikian rupa, sampai umurnya hampir empat puluh tahun, tapi masih imut saja.

"Ayolah, Pit. Temani Mama."

"Tapi, mama pakai jilbab."

"Itu syaratnya, oke Mama setuju."

Malam itu mama bener-bener pakai jilbab, Papa dengan badan gelapnya memakai jas, terlihat sedikit manis sih. Apa benar ya, uang bisa membeli segalanya. Contohnya papa, begitu cintanya mama sama papa. Jahat banget sih aku, nuduh mama sembarangan.

Di acara resepsi pernikahan dengan banyak tamu yang datang, mama terlihat begitu sangat cantik, mengapa ketika mama memakai jilbab justru tampak anggun dan menarik?

"Pit, itu siapa yang barusan. Perempuan dengan gaun hijau toska, dan jilbab senada?" tanya Rico teman sekantorku.

"Emang kenapa nanya-nanya?" tanyaku dengan wajah sengit.

"Ya nggak apa-apa sih, cuma mau ngomong. Dia cantik alami."

What? Rico kamu kebangetan, bukannya memujiku, malah memuji mamaku. Dasar cowok! Di mana-mana sama saja.

"Emang kenapa, kok kamu jadi sewot gitu?'

Tak kujawab pertanyaannya Rico, dengan cepat kucari keberadaan mama, ternyata tidak ada. Dari kejauhan kulihat papa tengah asyik ngobrol dengan rekan kerjanya.

Di mana mama? Batinku. Tiba-tiba perut mulas pingin kebelakang, baru saja hendak membuka pintu, kamar mandi kudengar suara mama, tapi siapa laki-laki yang diajaknya bicara?

"Seruni, sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu!"

"Kamu jangan gila, Hen. Kita sudah punya kehidupan masing-masing, jangan kau turuti hawa napsumu."

"Tapi, kamu tidak pantas jalan bersamanya, perbedaan kalian seperti bumi dan langit."

"Maksudmu?"

"Mengapa harus Dirga yang mendapatkanmu, laki-laki hitam legam itu."

"Cukup, Hen!"

"Aku tahu kamu tidak bahagia."

"Kata siapa?"

"Kamu terlalu cantik untuk Dirga."

"Aku tidak peduli, seberapa hitam suamiku, aku akan tetap hormat padanya, apa ada jaminan kalau aku menikah dengan orang yang lebih tampan hidupku akan bahagia?"

Aku tertegun mendengar ucapan mama, rasa mulasku seketika hilang berganti kemarahan, dalam sekejap mata aku telah meninjunya. Laki-laki bangkotan itu berjalan terhuyung-huyung, mata merahnya begitu membenciku.
Sebel! Selalu saja begitu. Setiap kali jalan bareng mama, orang-orang yang melihat akan bilang "Cantik Mamanya." Rasanya sakit tapi tak berdarah. Pernah suatu kali aku berpikir, mungkin aku bukan anak kandung mama.

Secara fisik saja sudah beda, mama bertubuh tinggi langsing, bermata lentik hidung mancung, dan kulitnya terang benderang. Sedangkan kulitku gelap, badan tambun, hidung mancung kedalam. Akh pokoknya beda jauh dengan mama.

Selidik punya selidik ternyata aku ngikut gen papa. Aku sendiri heran, kok bisa ya, mama cinta mati sama papa. Sebegitu beruntungnya papa.

Lihat saja, itu orang-orang lagi bisik-bisik, siapa lagi yang diomongin, kalau bukan aku dan mama.

"Pit, ngapain manyun gitu, ayo bawa belanjaannya!" seru mama, sambil menyodorkan sekeranjang belanjan penuh.

"Ma, lain kali nggak usah ngajak aku belanja napa?" Aku bersungut-sungut, sambil tetap membawa belanjaan.

"Emang mau ngajak siapa? Anak tetangga?"

"Aku malu, Ma. Setiap kali jalan bareng Mama, orang-orang itu selalu gak percaya, kalau aku ini anak Mama."

"Biarkan saja mereka tak percaya. Yang penting , kamu itu anaknya Mama, ngapain ngurusin orang-orang."

Mama bisa saja ngomong begitu, karena mama tidak berada di posisiku. Coba kalau jadi aku.

***

Ini nih yang membuat aku heran siang malam, mama begitu nurutnya sama papa, capek-capek dari pasar, papa minta buatin kopi kok ya langsung saja, tanpa penolakan mama membuatnya. Dasar tuh papa, manjanya selangit. Padahal dia bisa sendiri buat kopinya.

"Pit, kalau jadi istri itu, kayak Mamamu ini, patuh, sopan, dan nurut sama Papa, jadinya 'kan tambah sayang," kata Papa tanpa sungkan-sungkan memeluk mama di depanku, kemudian menciumnya mesra.

"Idih Papa, gak tahu malu masa mesraan di depan anaknya."

Aku langsung melepaskan pelukannya papa, dan menarik mama pelan kemudian memeluknya. Hampir setiap hari pemandangan itu terjadi, aku dan papa saling berebut mama.

"Papa, pasti pake pelet buat dapatin Mama!" tuduhku tanpa ampun. Papa langsung menyentil hidungku, dan mengacak rambutku tanpa ampun.

Kami kejar-kejaran di dapur, mama ngomel-ngomel dengan tingkah kami. Dapur jadi berantakan, bumbu-bumbu berserakan di lantai. Begitu mama mendelik sempurna, aku langsung lari ke lantai atas.

Mama, sampai kapan aku akan jelouse padamu, wanita yang begitu cantik memesona. Malam ini, ketika mama mengajak aku ke resepsi pernikahan anak temannya, aku menolak mentah-mentah, begitu kulihat dandanan mama yang cetar membahana. Sebenarnya mama hanya mencepol rambut panjangnya, dan mengoleskan lipstik tipis-tipis, tapi aura kecantikannya begitu terlihat jelas.

"Ayolah, Pit. Nanti mama kenalin kamu dengan anak temen mama," bujuk mama sambil menyisir rambut panjangku.

"Males akh, Ma. Ntar seperti kemarin dikira mama ini kakakku, tahu-tahu cowok itu malah naksir sama mama. Untung tidak digebukin Papa."

Mama senyum-senyum, mungkin ingat peristiwa satu bulan yang lalu, saat temenku naksir sama mama.

Aku sendiri heran kok bisa mama merawat kecantikannya sedemikian rupa, sampai umurnya hampir empat puluh tahun, tapi masih imut saja.

"Ayolah, Pit. Temani Mama."

"Tapi, mama pakai jilbab."

"Itu syaratnya, oke Mama setuju."

Malam itu mama bener-bener pakai jilbab, Papa dengan badan gelapnya memakai jas, terlihat sedikit manis sih. Apa benar ya, uang bisa membeli segalanya. Contohnya papa, begitu cintanya mama sama papa. Jahat banget sih aku, nuduh mama sembarangan.

Di acara resepsi pernikahan dengan banyak tamu yang datang, mama terlihat begitu sangat cantik, mengapa ketika mama memakai jilbab justru tampak anggun dan menarik?

"Pit, itu siapa yang barusan. Perempuan dengan gaun hijau toska, dan jilbab senada?" tanya Rico teman sekantorku.

"Emang kenapa nanya-nanya?" tanyaku dengan wajah sengit.

"Ya nggak apa-apa sih, cuma mau ngomong. Dia cantik alami."

What? Rico kamu kebangetan, bukannya memujiku, malah memuji mamaku. Dasar cowok! Di mana-mana sama saja.

"Emang kenapa, kok kamu jadi sewot gitu?'

Tak kujawab pertanyaannya Rico, dengan cepat kucari keberadaan mama, ternyata tidak ada. Dari kejauhan kulihat papa tengah asyik ngobrol dengan rekan kerjanya.

Di mana mama? Batinku. Tiba-tiba perut mulas pingin kebelakang, baru saja hendak membuka pintu, kamar mandi kudengar suara mama, tapi siapa laki-laki yang diajaknya bicara?

"Seruni, sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu!"

"Kamu jangan gila, Hen. Kita sudah punya kehidupan masing-masing, jangan kau turuti hawa napsumu."

"Tapi, kamu tidak pantas jalan bersamanya, perbedaan kalian seperti bumi dan langit."

"Maksudmu?"

"Mengapa harus Dirga yang mendapatkanmu, laki-laki hitam legam itu."

"Cukup, Hen!"

"Aku tahu kamu tidak bahagia."

"Kata siapa?"

"Kamu terlalu cantik untuk Dirga."

"Aku tidak peduli, seberapa hitam suamiku, aku akan tetap hormat padanya, apa ada jaminan kalau aku menikah dengan orang yang lebih tampan hidupku akan bahagia?"

Aku tertegun mendengar ucapan mama, rasa mulasku seketika hilang berganti kemarahan, dalam sekejap mata aku telah meninjunya. Laki-laki bangkotan itu berjalan terhuyung-huyung, mata merahnya begitu membenciku.
Diubah oleh trifatoyah 28-03-2019 10:12
riwidyAvatar border
jiyanqAvatar border
disya1628Avatar border
disya1628 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.3K
5
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.7KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.