Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

santohAvatar border
TS
santoh
Konspirasi Hari Kiamat
MICHAEL

Judul ini saya pinjam lagi dari novel karya Sidney Sheldon. Novel tersebut bercerita tentang seorang anggota militer, Letkol Robert Bellamy, yang ditugaskan badan intelijen NSA untuk menyelidiki jatuhnya sebuah "balon cuaca" di pegunungan Alpen dan mencari keberadaan 10 saksi matanya. Tugas yang sebenarnya cukup sederhana bagi seorang penuh prestasi seperti Robert. Tapi tanpa disadarinya, masing-masing dari 10 saksi mata yang dia temukan keberadaannya itu, akhirnya dilenyapkan (dibunuh). Saat dia menyadari hal ini, nalurinya langsung berteriak "Lari, sembunyikan dirimu!". Dia paham, bahwa diri sendiri pun akan menjadi target "operasi tutup mulut" ini.

Cerita novel ini cukup baik menggambarkan "realita" yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bila anda memiliki sebuah kemampuan "diluar normal" seperti misalnya kemampuan para mutant dalam cerita X-Men, maka hal pertama yang akan mendatangi anda adalah sekelompok orang yang akan "menawarkan kerjasama" untuk memanfaatkan kemampuan anda. Tentu saja itu tadi bahasa yang sangat halus. Kenyataannya adalah anda akan dipaksa untuk dibawa ke "tempat" (baca: laboratorium) mereka dan anda akan dijadikan bahan percobaan untuk "memahami" dan "menduplikat" kemampuan anda itu. Persis cerita X-Men juga.

Intinya adalah "kelebihanmu akan menjadi ancaman bagi orang lain". Dan untuk itu dirimu harus "dilenyapkan". Mengapa? Masih ingat cerita jaman dahulu dimana para "penyihir" (witches) yang diburu dan dibakar hidup-hidup oleh pihak gereja? Mereka dianggap "melawan" tuhan, bersekutu dengan "setan". Mereka dianggap memiliki kemampuan "gaib". Insiden ini hanya menggambarkan puncak dari sebuah kekhawatiran.

Segala yang berbeda dianggap menjadi ancaman bagi "keutuhan" kelompok. Mengapa keutuhan kelompok menjadi penting? Karena eksistensi kelompok itu sendiri adalah identitasnya. Dan bila keutuhan kelompok terganggu, tidak dapat lagi menjadi media penyampai "pesan" yang efektif. Pesan apa yang ingin disampaikan? Segala pesan yang berusaha "mencegah kita bangun dari tidur panjang" kita.

Masih ingat film Matrix? Mirip sekali seperti itu. Kolektif akan mencegah setiap usaha membangunkan kita dari "tidur" panjang kita. Setiap usaha untuk "sadar" selalu akan dihambat dengan berbagai cara, tanpa kita sadari. Ditakut-takuti adalah salah satu cara paling efektif. Pernah mendengar "hari kiamat sudah dekat"?

Pertanyaan selanjutnya, mengapa kolektif mencegah kita bangun? Sederhananya, bila semua orang "sadar" maka tidak ada lagi manusia yang bisa "diprogram" untuk menjalankan apa yang menjadi kebutuhan "mereka". Mereka ini siapa? Mereka ini adalah kelompok kecil yang "bertugas" memprogram kita. Mengapa saya memakai kata "bertugas"? Karena kemungkinan besar mereka pun sedang dalam "programming" lainnya dalam level berbeda tanpa mereka sadari. Kita semua dalam kondisi dipupuk, dipelihara dan kemudian akan dipanen (harvest) dalam tahap yang berbeda-beda. Tapi itu bahan cerita kita untuk di lain hari.

Artinya, kolektif mendapatkan keuntungan dari "tidurnya" kita? Ya, tentu saja. Itu inti jawabannya. Inilah inti dari konspirasi tertinggi. Mencegah kolektif untuk bangun, agar kolektif selalu dalam keadaan "terprogram". Dan kapitalisme adalah salah satu "programming language" yang paling berhasil hingga kini.

Inti dari kapitalisme adalah memancing setiap manusia untuk "menambah daftar kebutuhannya". Dengan bertambahnya daftar kebutuhan, maka manusia tersebut akan melakukan "usaha lebih banyak", yang berkorelasi langsung dengan "menukarkan waktunya" lebih banyak pula. Semakin banyak waktu yang kita tukarkan, maka kolektif akan mengumpulkan waktu makin banyak pula. Dan semua ini ditutupi secara manis dengan ilusi "pencapaian" (prestasi) yang sudah didefinisikan ulang dengan serangkaian arti yang baru.

Bayangkan kehidupan nyaman tentram di desa terpencil dimana setiap manusianya hanya butuh 3-4 jam sehari untuk benar-benar "bekerja". Bandingkan dengan kehidupan di "kota besar", dimana bekerja 13-14 jam sehari adalah "wajar". Dan hebatnya kapitalisme adalah menjadikan gambaran yang pertama tadi sebagai "janji pencapaian" bila kolektif mengerjakan gambaran yang kedua.

Jakarta macet, terutama jam-jam pergi dan pulang kantor. Semua orang sudah tahu. Dan seperti sering saya obrolkan dengan teman-teman, sebenarnya yang paling diuntungkan adalah para kapitalis penguasa korporasi besar. Mengapa? Singkatnya, karena kemacetan akan merampas lagi sisa waktu berharga si kolektif. Jam kerja di kantor saja sudah tentu menghabiskan waktu terbesar si kolektif, maka ditambah waktu yang dihabiskan karena macet saat pergi dan pulang kantor, praktis tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kolektif kecuali langsung tidur sesampai di rumah, lalu besok pagi bangun dan mengulangi lagi lingkaran itu.

Inilah wujud dari "programming" itu. Tanpa sadar kita berputar-putar di dalam lingkaran yang itu-itu saja. Tanpa ada waktu berpikir, merenungkan, apalagi untuk membuat rencana-rencana baru. Hal-hal ini yang ingin "dicegah" oleh kelompok "programmer".

Perkembangan sosial media pun menjadi alat ampuh untuk melakukan programming. Sosmed menjadi alat paling efektif untuk "menambahkan daftar kebutuhan" pada seseorang. Dari yang tidak terpikir, menjadi terpikir. Dari yang tidak kepingin, menjadi kepingin. Dari yang tidak direncanakan, akhirnya dibeli juga, dengan alasan apapun.

Dengan terus-menerus berusaha "menambahkan" daftar "kebutuhan" kita, maka sadar tidak sadar, kita akan menjadi mudah untuk "diarahkan" untuk berbagai tujuan. Dan otomatis, akhirnya kita mudah menjadi "orang yang tidak pernah cukup". Kita menjadi manusia yang selalu dalam state "bekerja", state "sibuk", state "mengejar" pencapaian. Dan bila tidak tercapai (karena tidak pernah cukup), maka kita menjadi frustrasi, baik sementara maupun permanen.

Kondisi frustrasi berlebihan akan berbahaya. Itupun sangat dipahami oleh para "programmer" kita. Oleh karenanya ditengah kolektif yang frustrasi, didatangkanlah sebuah "harapan baru", dalam aneka bentuk. Aneka "harapan" ini datang laksana candu dan obat-bius. Mengapa? Karena mereka bersifat menenangkan, namun tidak pernah memberikan solusi apapun.

Pernah mendengar kalimat "semua akan indah pada waktunya" ?

Kalimat yang hanya berhenti di situ saja, akan menjadi candu yang luar biasa. Arti tersiratnya adalah "lakukan terus apa yang kau lakukan saat ini, dan suatu saat nanti hasil yang kau impikan akan datang juga dengan sendirinya." Bener sih kalau dibaca sekilas. Benar-benar penuh ilusi.

Pada saat saya membawakan training motivasi, sering saya katakan bahwa "persistence" itu berbahaya. Persistence adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang, dengan harapan hasil yang diinginkan dapat dicapai suatu saat nanti. Hal ini mungkin benar dalam konteks tertentu. Tetapi dalam banyak hal lain, persistence harus disertai dengan "tenacity". Tenacity adalah kemampuan untuk mendapatkan informasi baru, mengolahnya dan mengatur ulang apa yang kita lakukan agar lebih mendekatkan kita ke tujuan (goals) yang ingin kita capai.

Tetapi aktivitas tenacity memerlukan waktu khusus untuk memungkinkan mengumpulkan dan mengolah informasi baru, dan untuk menyesuaikan arah berlayarnya perahu kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selayaknya punya waktu cukup untuk mengevaluasi ulang apa saja yang sudah kita lakukan, apakah usaha-usaha kita makin mendekatkan pada tujuan kita, atau malah menjauhkan. Bahkan sangat penting untuk mengkontemplasikan, apakah tujuan yang selama ini kita ingin capai sudah merupakan tujuan kita, bukan sekedar tujuan orang lain yang diprogramkan kepada kita.

Kemarin saya membaca kalimat "you don't have to believe in magic, you are magic."

Sekilas ini pun sebuah wisdom lagi, tetapi sekaligus pula obat bius yang mematikan. Bagi saya ini lebih mematikan daripada "semua akan indah pada waktunya" tadi. Di kalimat ini bahkan kita "dilarang" (disarankan untuk tidak) melakukan hal lain diluar yang "biasa" kita lakukan. Itu pesan subconsciousnya.

Pertanyaan langsung terhadap kalimat di atas bisa berbunyi "if i'm magic, then why it's not happening to me?" Terus terang saya tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini bila disambungkan dengan kalimat tadi di atas. Ujung-ujungnya jawaban "paling aman" yang bisa kita berikan kembali ke "semua akan indah pada waktunya."

Ciri kalimat membius adalah mengandung wisdom tapi tanpa ada "clue" tentang "solusi" nya. Solusi tentu bukan jalan pintas. Tetapi adalah apa yang bisa kita lakukan untuk lebih "mendekatkan diri" pada hasil yang ingin dicapai.

Kalimat tadi mungkin bisa di-rephrase menjadi "you're magic, the magic is in you."

Kalimat ini sekilas memiliki makna yang persis sama. Bedanya adalah, kalimat terakhir ini meng-encourage kita untuk explore diri kita untuk mengetahui kemampuan-kemampuan "tersembunyi" yang kita belum sadari saat ini. Kita mengajak untuk "sadar".

Pertanyaan "if i'm magic, then why it's not happening to me?" bila ditanyakan setelah kalimat terakhir tadi, dapat dengan mudah dijawab dengan "yes, you're magic and the magic is indeed inside you, you can do miracles by learning to align yourself to the harmony of universe."

Di sini jelas, kita mengajak mereka untuk belajar. Pesannya adalah, bila kau melakukan sesuatu dan hasilnya tidak sesuai dengan yang dinginkan, maka tentu kau bisa belajar dari situ. Baik itu belajar dari "kesalahan" maupun belajar hal baru, untuk makin mendekatkan dirimu pada hasil yang kau inginkan. Benar-benar ekologis kan.

Kehadiran sosial media dan alat komunikasi instant lainnya adalah pedang bermata dua. Di satu sisi bisa menyebarkan "programming" menjadi lebih masif lagi. Tetapi di sisi lain bisa kita "tunggangi" untuk menyebarkan pesan-pesan untuk lebih "sadar". Kita bisa mengubah "senjata" yang tadinya lawan kita, menjadi kawan terbaik kita.

Dan "kebangkitan" kesadaran individu inipun sudah merupakan "siklus" semesta. Secara astrologi, saat ini kita dalam masa peralihan dari era Pisces ke era Aquarius (setiap 2 ribu tahun), yang memang bersifat lebih individual. Secara Human Design kita berada di akhir siklus Cross of Planning, dan akan memasuki awal siklus Cross of Sleeping Phoenix di tahun 2027 nanti (ini akan jadi bahan kita di hari yang lain).

Schumann resonance yang tadinya di frekuensi 7,8 Hz pun saat ini sudah secara sporadis meningkat menjadi 8 atau 9Hz, bahkan di beberapa tempat di waktu tertentu telah melewati 10Hz. Schumann resonance adalah frekuensi "ibu bumi" yang dipercaya berkorelasi langsung terhadap meningkatnya level "kesadaran" manusia.

Saya punya "dongeng" tentang bangkitnya sebuah peradaban yang akan "sadar" secara kolektif, dan ini telah "diramalkan" oleh Nostradamus dan berhubungan erat dengan Borobudur, rasi bintang di atas Borobudur, pergerakan lempeng Nusantara saat ini hingga "terbelahnya" pulau Jawa. Tapi itu untuk hari lain juga ya. Hehe.

Mari kita menyebarkan semangat untuk menjadi "sadar". Bukan kesadaran itu sendiri. Karena "kesadaran" adalah individual, masing-masing dari kita akan punya pengalaman subyektif sendiri-sendiri. Jangan kita malah terjebak menyebarkan "programming" yang baru. Kita hanya menyebarkan semangat untuk "aware" terhadap programming. Mau keluar atau ikut dalam programmin, itu sudah pilihan masing-masing. Karena "keluar" dari programming belum tentu "benar" untuk semua orang.
0
442
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.