Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • Bisnis
  • Bela Sawit, Perlukah Indonesia Boikot Uni Eropa ?

padanglurus1Avatar border
TS
padanglurus1
Bela Sawit, Perlukah Indonesia Boikot Uni Eropa ?
Indonesia secara terbuka sudah menyakan penolakan terjadap  rancangan Delegated Regulation Supplementing Directive of the UE Renewable Energy (RED) II yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa. Tak hanya penolakan, pemerintah bahkan sudah sampai pada wacana untuk melakukan serangan balik lewat  pemboikotan produk-produk dari negara anggota Kawasan tersebut.
Nada tegas dan seolah genderang perang sudah dilontarkan oleh pejabat tinggi negara, mulai dari Menko Maritim Luhut Pandjaitan hingga Menko Perekonomian Darmin Nasution.
Bahasa keduanya sama, tak mau didikte dan akan membuat aksi serupa seperti yang dilakukan komisi tersebut.
Tak hanya sendiri, Indonesia juga mengajak Malaysia dan Kolumbia  melakukan hal serupa. Karena sebagai dua dari tiga negara produsen sawit dunia  boikot balik negara-negara Eropa adalah senjata yang paling mungkin dilakukan akibat aturan RED II yang dianggap diskriminatif tersebut. 
Namun  Indonesia perlu mempertimbangkan secara matang rencana dan aksi penolakan  itu[. Dasarnya sederhana, apakah boikot menjadi satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan tersebut. Dan sejauh mana kesiapan Indonesia menghadapi potensi perang dagang yang skalanya jauh lebih luas dibandingkan sekedar boikot atau balasan serupa, alias retaliasi. Karena jika tidak disikapi secara bijaksana, maka alih-alih bisa memberi jalan keluar, yang muncul bisa jadi potensi masalah yang jauh lebih besar.
Beberapa faktor  eksternal serta dalam  negeri  perlu dipertimbangkan sebelum mengambil langkah lebih jauh. Salah satunya adalah pertimbangan terhadap kondisi ekonomi global yang terus berada dalam kondisi tidak menentu
Meski perang dagang antara AS dan Cina mulai menunjukkan tanda-tanda mereda, namun ganjalan utama yang memicu konflik kedua negara pemain utama dunia itu belum sepenuhnya selesai. Potensi untuk terjadinya kondisi pembalikan atau balik ke pertentangan lama, masih sanga terbuka.
Sementara Eropa sendiri hingga sejauh ini masih jadi pasar utama lain bagi produk Indonesia di luar kedua negara tersebut. Itu tak lain karena upaya pemerintah mencari pasar baru guna menyerap sawit Indonesia belum sepenuhnya berhasil. Beragam hambatan juga masih terjadi di pasar baru seperti India dan negara-negara Afrika. Baik hambatan secara tarif, atau belum adanya kesepakatan dagang sama sekali.
Di saat pasar alternatif itu belum terlalu bisa diharapkan, maka sebaliknya, Eropa tetap menjadi alternatif terbaik untuk produk sawit dan turunannya. Apalagi, menurut kajian Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen UI,  selama ini potensi pasar di negara-negara benua biru tersebut belum digarap seluruhnya oleh Indonesia.
Artinya, secara posisi tawar, Indonesia lebih rentan untuk menderita kerugian jika keinginan mengambil tindakan tegas tersebut diwujudkan. Bersikap tegas boleh, namun itu perlu dilakukan secara terukur, dengan mempertimbangkan kerumitan masalah yang harus diselesaikan sesudahnya.
Saat ini, mungkin yang perlu dilakukan sebelum maju  dan mengajukan gugatan ke Organsasi perdagangan dunia atau WTO, Indonesia sepertinya juga perlu melakukan pendekatan informal. Karena tak dipungkiri, penggunaan bahasa keras atau akrab disebut diplomasi megaphone, justru berpotensi memperlebar jarak, mengingat strategi itu potensial untuk memperlebak jurang perbedaan.
Tak ada gunanya memainkan strategi Zero Sum game dalam konflik sawit ini.  Dengan menghindari diplomasi bising serta berkonflik yang potensi kerusakannya sangat besar, ada baiknya jalur perundingan serta negosiasi secara bilateral menjadi cara dan pendekatan terbaik.
Indonesia sebenarnya bisa memulai meningkatkan posisi tawarnya di hadapan Uni Eropa melalui  perundingan perdagangan komprehensif Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) yang masih berjalan.
Meski pada bagian lain, jika salah mengambil posisi, alih-alih akan dapat keuntungan lebih dari perjanjian I-EU-CEPA itu, pembicaraan akan berlangsung lebih alot dan terkendala oleh banyak hal.
Beberapa kemungkinan negatif yang akan timbul adalah berubahnya tarif sejumlah produk lain Indonesia untuk masuk ke Eropa. Pasalnya, dengan status negara berkembang, Indonesia mendapatkan kelonggaran tarif lewat skema Generalized System of Preferences (GSP) dari Uni Eropa. Lewat skema ini, beberapa produk Indonesia yang masuk ke Uni Eropa mendapat tarif lebih rendah. Skema dan fasilitas GPS ini sendiri akan berakhir tahun ini dan tahun depan, yang potensi untuk dijadikan alat penekan Eropa kepada Indonesia sangat terbuka. Pasalnya Eropa bisa saja tanpa pembicaraan tak lagi memperpanjang fasilitas tersebut.
Untuk itu, sejak awal langkah-langkah diplomatis dan perundingan langsung negara per negara tetap menjadi jalan terbaik. Ini seperti yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Swiss. Dengan salah satu negara Uni Eropa ini, Indonesia telah melakukan sejumlah kesepakatan secara bilateral.  Dan strategi itu lebih memudahkan untuk bernegosiasi.
Namun sebelum itu, pemerintah tentu harus mempersiapkan data serta jawaban lengkap terhadap kondisi terakhir industri sawit dalam negeri.
Jawaban dan data yang dilampirkan itu harus mampu mempertegas kondisi sawit Indonesia tidak sesuai dengan tuduhan Uni Eropa. Indonesia perlu lebih serius mendalami sisi ini lantaran pemerintah terlihat kurang serius menjawab atau menangkis tuduhan kampanye hitam yang selama ini dilancarkan Eropa.
Pemerintah sebaiknya menjadikan putusan Komisi Eropa tersebut sebagai peringatan. Peringatan untuk terus meningkatkan ekonomi masyarakat namun juga secara bersamaan memenuhi standar yang diminta oleh masyarakat internasional.  Karena  dengan peningkatan standar mutu, maka itu secara langsung atau tidak juga akan meningkatkan mutu dan kualitas hidup tidak kurang dari 19 juta jiwa  masyarakat Indonesia yang bergantung kepada komoditas ini
Peningkatan mutu dan kualitas tersebut juga mesti dibarengi dengan akselerasi hilirisasi, mengingat  pasar akan produk turunan kelapa sawit sangat besar, sekaligus bisa menyerap produksi sawit yang semula mayoritas hanya untuk keperluan eksport..
0
366
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Bisnis
BisnisKASKUS Official
70KThread11.6KAnggota
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.