TS
aldyal
[Orific] Overheat
Assalamualaikum internet! Selamat pagi/siang/petang/malam. Selamat datang buat agan-agan yang tersesat di thread ini. Ini thread pertama ane sejak Kaskus ganti versi, dan orific pertama yang ane post di sini.
Izinkan ane ikut meramaikan forum fanstuff dengan tulisan ala-ala kadarnya, semoga bisa menghibur para pembaca sekalian.
Oh ya, tiap chapter sepertinya bakal ane pecah entah jadi 2 atau 3 bagian dikarenakan ada keterbatasan huruf pada tiap post.
Oh ya, tiap chapter sepertinya bakal ane pecah entah jadi 2 atau 3 bagian dikarenakan ada keterbatasan huruf pada tiap post.
Genre: Action, fantasy, superhero fiction wannabe.
Rated: T (for cursing and potential violence).
Warning: Non-formal language.Rated: T (for cursing and potential violence).
Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan tokoh, tempat, dan karakter murni hanya kebetulan semata tanpa ada unsur sengaja. Cerita dan tokoh murni hasil imajinasi penulis. Enjoy
Quote:
Chapter 1.1: Clearence
Kobaran api seakan gak bisa terbendung. Menjilat bumi, lalu membumbung tinggi ke angkasa. Langit terlihat bak menjerit, memerah di tengah pekat hitam kepulan asap. Sukmajaya membara. Kota yang tadinya aman tentram, kini berubah seperti medan perang. Sayup-sayup radio pihak berwajib terus bergemerisik di tengah kepanikan masyarakat yang terus berusaha evakuasi dari tempat kejadian perkara.
Dentuman ledakan seraya jago merah melalap kendaraan polisi terdengar pekakkan telinga, layangkan onggokan logam tersebut beberapa meter sebelum akhirnya keras membentur daratan. Para personil pihak berwajib seketika berpencar agar terhindar dari tibanan kendaraan sendiri, dan langsung cari tempat berlindung kembali.
Hadapi ancaman memang udah jadi kewajiban para personil angkatan bersenjata terlatih. Tapi bila dihadapkan lawan berkemampuan abnormal, bisa apa peluru dan amunisi yang kerap jadi kebanggaan? Bulan di atas kepala yang biasanya tampil tanpa penghalang, kini seakan malu untuk jadi yang terdepan. Bersembunyi dari awan gelap yang membungkus kota.
"Berapa banyak kebusukan tercipta cuma gegara banyak manusia gak berotak?" ujar sosok pemuda dengan gumpalan api di tangan kanan, "bau Bumi gak lagi sedap dihirup. Dunia butuh perubahan," dialah pelaku yang menerbangkan mobil polisi barusan, "dan perubahan itu adalah ... gua!"
Pemuda berambut merah agak panjang itu kembali menembakkan bola api dari tangannya ke arah para Polisi malang. Ledakan area yang tercipta akibat benturan bola api dengan aspal sanggup pentalkan beberapa polisi dari tempat mereka berdiri. Sepasang matanya merah tajam, tetap menatap tanpa rasa iba pada anggota kepolisian yang jadi korban.
Paduan suara berupa lengkingan tinggi manusia terus tercipta dan saling bersambut, ciptakan simponi teror yang membuat gak nyaman bagi pendengar mana pun.
"Ma-Markas pusat! Kami ... butuh bantuan!" tampak salah seorang polisi yang lolos dari serangan barusan bicara pada alat komunikasinya, "Flamio ... d-dan para Rogue makin menggila. To-tolong ... kami udah gak sanggup! A-anggota kami, anggota kami- AARGH!" sayang sebelum selesaikan kalimat, punggung polisi itu harus tercabik cambuk duri dari seorang wanita berambut pirang.
Darah segar mengalir bak sungai merah dari luka yang terukir sempurna. Sanggup bikin siapapun yang liat luka itu bergidik ngeri seketika.
"Ahaha, my condelence for you (Ahaha, kasian kalian)," dia bilang dengan senyum seduktif menghias wajah, "The Flame of Chaos will burn brighter than ever (Api Kekacauan akan berkobar lebih terang dari sebelumnya)," usai melukai anggota polisi, mata safir perempuan pirang itu melirik sosok pria berambut merah tadi.
Gak kuasa sembunyikan kekaguman kala menelisik lidah api yang merembes keluar dari pundak Si rambut merah, ditambah kepingan-kepingan api kecil berbentuk segienam oranye yang kerap berterbangan di sekitarnya. Indah. Suatu kreasi langit yang gak akan mampu ditiru siapapun juga. Dia menginginkannya, dia terobsesi. Seperti candu yang gak bisa didapatkan lagi.
Lidah api yang merupakan refleksi kemarahan pemuda itu terus membara, kreasikan semacam suara retakan lembut di udara.
Sementara itu, gak jauh dari sana, terdapat toko elektronik yang pintunya telah rusak dan dalamnya telah habis dijarah. Namun di bagian display toko tersebut masih tersisa beberapa televisi pecah lcd yang beroperasi dan tayangkan berita panas hari ini.
"Laporan terbaru dari kru kami di lapangan, saudara, aksi teror yang terjadi di kota Sukmajaya masih terus berlanjut hingga sore hari ini. Anggota kepolisian dan tentara telah diterjunkan untuk mengantisipasi keadaan. Beberapa Inquisitor juga dilaporkan telah berupaya untuk terus membendung gerombolan Rogue yang masih terus mengancam keamanan kota. Evakuasi warga juga masih berlanjut, diharapkan dengan diterjunkannya pasukan bersenjata mampu meredakan suasana. Untuk para pemirsa di rumah, kami segenap kru televisi nasional menghimbau untuk terus mendoakan mereka yang terjebak di sekitar area kekacauan. Semoga Tuhan bersama warga yang tak berdaya."
Bersamaan dengan liputan, kerumunan warga sipil yang hendak evakuasi berlarian di depan toko elektronik itu. Diiringi tangis serta jerit pengampunan pada Tuhan yang mereka yakini. Keresahan, ketakutan, khawatir akan jadi apa kediaman yang biasa mereka tinggali, apakah masih ada harapan dari kejadian yang mereka alami, berbagai perasaan tercampur rata.
Tapi tanpa alasan yang jelas, di tengah arus warga berhamburan, seorang lelaki berpakaian sweater hoodie biru laut malah jalan tenang ke arah berlawanan seraya masukkan tangan di dua saku jeans biru gelap. Wajahnya gak bisa teridentifikasi akibat bagian kepala tertutup hoodie, sedangkan dari leher sampe hidung terlindung buff slayer hitam. Cahaya dari layar televisi terhalang oleh badannya sejenak. Dari balik buff lelaki itu keluar asap putih, seolah kayak lagi napas di tengah cuaca dingin. Padahal, suhu di lingkungan sekitar lagi panas.
Dia sempat berhenti buat nonton cuplikan kerusuhan kota Sukmajaya. Menatap retak yang terukir sepanjang layar kaca, kemudian hela napas dalam-dalam seolah gak punya pilihan selain cemplungkan diri ke tengah masalah yang gak dia inginkan ... untuk kali kesekian.
Bahu lelaki itu sempat bersinggungan dengan warga pria yang lagi panik, tapi dia keliatan gak peduli.
"Mas, Mas! Ngapain diam aja!?" Seru warga sipil barusan sambil pegangi bahu sendiri. Terasa suhu dingin menusuk tulang di bahu warga sipil itu, dan dia gak tau sumbernya dari mana, "jalur evakuasinya ke sini, Mas!"
Lelaki bersweater hoodie itu cuma sekedar menoleh sebentar tanpa jawab seruan warga. Kemudian lanjut jalan menuju zona siaga.
"Ah, tai! Bilang dari tadi kalo cari mati!" warga sipil itu jengkel, putuskan terus lari tanpa berhenti lagi.
"... 'Semoga Tuhan bersama warga tak berdaya', ya?" Lelaki bersweater tersebut gumam sendiri, "semoga," langkah kaki kiri diiringi bunga es tepat berhenti di atas lidah api ukuran sedang, membuat lidah api itu padam dan hasilkan uap putih mengudara.
Pria berambut merah yang tengah sibuk bombardir kendaraan-kendaraan polisi dan tentara dari atas tumpukan puing bangunan masih belum sadar akan kehadiran lelaki itu. Lelaki bersweater hoodie sama sekali gak keliatan punya niat untuk hentikan serangan bola api yang tertuju pada polisi dan tentara. Dia cuma berdiri di sana, menatap saksama aksi si rambut merah tanpa takut, tanpa gentar. Padahal dia tau para tentara dan polisi itu bisa pergunakan uluran tangan, tapi entah kenapa gak keliatan ada gelagat hendak membantu. Sampai akhirnya seorang personil tentara yang tergopoh-gopoh meraih badan si lelaki bersweater.
Walau nyawanya terancam, bapak tentara itu masih sempat pikirkan warga sipil, "N-nak! Jangan ke sini! Kamu bisa mati!" Teriak si bapak tentara. Tapi tangan si lelaki bersweater itu malah tepis tangan si bapak, dan pasang badan di hadapan gumpalan bola api yang tengah meluncur deras.
"Mati! Bakar! Rasakan panas ini sampe ke ubun-ubun, hai bajingan!" lanjut si rambut merah keras, "tenang, kematian kalian gak bakal sia-sia. Mengubah dunia emang butuh pengorbanan!"
"Sersan Karyo, kami himbau supaya pasukan Bapak segera mundur! Keadaan makin sulit dikendalikan! Misi harus ditunda!"
Hubungan komunikasi dari alat telekom yang dia bawa terdengar jelas walau masih ada sedikit gemerisik. Namun boro-boro laksanakan perintah mundur, cuma tinggal dia yang tersisa dari pasukannya. Teman-teman lain antara udah meledak atau meleleh duluan. Ditambah lagi si personil tentara udah pasrah, udah gak mampu berlari, gak mampu mengelak. Luka bakar tingkat lanjut yang dialami membuatnya gak mampu berbuat banyak. Dia tutup mata, antisipasi panas membara yang bakal terasa.
Ledakan besar kembali terjadi! Tapi sekian lama ditunggu, panas gak kunjung datang. Personil tentara itu terheran, kenapa justru hawa sejuk condong dingin lebih mendominasi? Perlahan dia beranikan diri buka mata, ditatapnya lelaki bersweater hoodie yang masih tegak berdiri. Makin heranlah si bapak tentara. Kok bisa?
Ternyata pas pandangan si bapak bergeser ke bawah, di bawah kaki lelaki bersweater hoodie menggenang air dalam volume banyak yang sebagiannya masih tersisa bebatuan es gak rata. Bagian es meleleh itulah yang jadi semilir hawa dingin di kulit bapak tentara.
"Ka-kamu ... ?" tanya Si tentara terbata.
"... Gua penasaran, orang yang mikir anarkisme itu ide bagus buat awali perubahan," tatapan mata menusuk langsung si rambut merah, "otaknya di mana?" penekanan pada salah satu kata pertanda dia lagi provokasi lawan bicara.
"Heh. Gaya lu, Cuk," balas si rambut merah santai dan merendahkan, "apa dewan gak kapok kirim Inquisitor kemari, cuma jadi samsak bagi kami?"
Namun lain hal dengan kawan wanitanya yang keliatan gelisah, "F-Flamio, th-that's ... be careful!" wanita pirang bersenjatakan cambuk duri beri peringatan, "it's him ... Frost Point-"
Dapat peringatan untuk hati-hati, si rambut merah justru menyeringai senang dan memotong kalimat wanita itu, "Akhirnya milih buat keluar goa, Frosty?"
"Lu gak berhak balik tanya karena belum jawab pertanyaan gua. Tolong, gua butuh jawaban. Di mana otak lu?"
Pertanyaan dingin itu agaknya sukses menusuk ego si rambut merah. Dia tertawa kecil sambil tutup wajah, "Ha- ha ... haha. Biar gua jawab pun, orang macam lu gak mungkin paham," tanpa ambil ancang-ancang, bermodal lengan terbalut api, si rambut merah yang dipanggil Flamio melesat menuju Frosty, "dari abu reruntuhan peradabanlah sistem baru yang lebih baik bakal bangkit dan berjaya!"
Gak tinggal diam, Frosty ikut berlari. Tiap langkah pemuda bersweater hoodie biru itu tinggalkan jejak-jejak bunga es di belakang, bersiap adu serang lawan musuh alami kemampuannya, "Lu gak pantas sesumbar tentang perubahan di saat lu gak mampu berpikir tentang keselamatan orang lain!"
Suhu panas ekstrim bertemu suhu rendah abnormal di satu titik peraduan, ditambah suara dentuman sebagai musik latar mengakibatkan uap putih langsung tercipta secara instant. Membungkus keduanya dari pandangan orang lain. Tekanan udara seketika naik, hasilkan gelombang panas-dingin yang berhembus ke delapan penjuru mata angin.
Desiran angin yang tetiba kencang bikin wanita berambut pirang itu kaget dan lindungi wajah pakai sebelah lengan. Seruannya membahana, "Flamio!" raut kecemasan tergambar jelas di muka. Dia maju, hendak bantu kawannya itu. Tapi serta-merta tebing es bergerigi bangkit dari tanah dan mengelilingi dua pemuda berlawanan elemen yang lagi tempur, mengisolasi mereka dari dunia luar dan orang lain yang niat ikut campur.
"Omongan dari mulut lu itu ... udah gua duga, kita gak bakal sejalan," ucap Flamio sembari sibakkan tangan berapi guna singkirkan uap penghalang.
"... Belum telat buat kembali, Bung. Mumpung Insignia lu belum seutuhnya jadi Chaos."
"Cih. Insignia, Chaos, Insignia, Chaos ..." api merah menyeruak keluar dari tiap pori-pori tubuh Flamio, menyala makin hebat. Lidah api di sekitarnya pun ikut tersedot kobaran di badannya, segienam kecil melayang makin gak beraturan. Iris merah pemuda itu makin keliatan membara, naikkan suhu udara, "apa bedanya!? Ujung-ujungnya gua dan lu sama! Sama-sama abnormal! Sama-sama manfaatkan kemampuan ini buat justifikasi keberadaan diri di tengah masyarakat awam!" Flamio berakselerasi untuk lancarkan serangan jarak dekat lagi. Manfaatkan daya ledak di kedua telapak tangan yang diarahkan ke belakang, gerakannya jadi sulit diprediksi.
"Nggak. Kita beda," sulit diprediksi bagi orang biasa, tapi nggak sama sekali bagi Frosty. Bila suhu di sisi Flamio naik, di sisi Frosty justru turun drastis. Serpihan kristal es perlahan terlihat makin jelas beterbangan di udara, ditambah gelombang air juga mulai bergejolak dari pipa-pipa bawah tanah, menjebol aspal jalanan. Sebagian ada yang langsung membeku, sebagian tetap dalam keadaan cair, "gua gak berbuat dungu kayak lu."
Air dan api kembali bergelut buktikan taji, berusaha saling mengungguli. Gak ada yang sudi mengalah di antara mereka, bila perlu sampai titik darah penghabisan kali ini. Frosty sadar akan satu hal. Semua ini menyusahkan. Tapi dia gak punya pilihan. Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa berdiri melawan? Antara biarkan Sukmajaya terhapus dari peta, atau relakan diri terlibat hal yang gak dia suka? Hal demikian harusnya gak perlu ditanya.
Kobaran api seakan gak bisa terbendung. Menjilat bumi, lalu membumbung tinggi ke angkasa. Langit terlihat bak menjerit, memerah di tengah pekat hitam kepulan asap. Sukmajaya membara. Kota yang tadinya aman tentram, kini berubah seperti medan perang. Sayup-sayup radio pihak berwajib terus bergemerisik di tengah kepanikan masyarakat yang terus berusaha evakuasi dari tempat kejadian perkara.
Dentuman ledakan seraya jago merah melalap kendaraan polisi terdengar pekakkan telinga, layangkan onggokan logam tersebut beberapa meter sebelum akhirnya keras membentur daratan. Para personil pihak berwajib seketika berpencar agar terhindar dari tibanan kendaraan sendiri, dan langsung cari tempat berlindung kembali.
Hadapi ancaman memang udah jadi kewajiban para personil angkatan bersenjata terlatih. Tapi bila dihadapkan lawan berkemampuan abnormal, bisa apa peluru dan amunisi yang kerap jadi kebanggaan? Bulan di atas kepala yang biasanya tampil tanpa penghalang, kini seakan malu untuk jadi yang terdepan. Bersembunyi dari awan gelap yang membungkus kota.
"Berapa banyak kebusukan tercipta cuma gegara banyak manusia gak berotak?" ujar sosok pemuda dengan gumpalan api di tangan kanan, "bau Bumi gak lagi sedap dihirup. Dunia butuh perubahan," dialah pelaku yang menerbangkan mobil polisi barusan, "dan perubahan itu adalah ... gua!"
Pemuda berambut merah agak panjang itu kembali menembakkan bola api dari tangannya ke arah para Polisi malang. Ledakan area yang tercipta akibat benturan bola api dengan aspal sanggup pentalkan beberapa polisi dari tempat mereka berdiri. Sepasang matanya merah tajam, tetap menatap tanpa rasa iba pada anggota kepolisian yang jadi korban.
Paduan suara berupa lengkingan tinggi manusia terus tercipta dan saling bersambut, ciptakan simponi teror yang membuat gak nyaman bagi pendengar mana pun.
"Ma-Markas pusat! Kami ... butuh bantuan!" tampak salah seorang polisi yang lolos dari serangan barusan bicara pada alat komunikasinya, "Flamio ... d-dan para Rogue makin menggila. To-tolong ... kami udah gak sanggup! A-anggota kami, anggota kami- AARGH!" sayang sebelum selesaikan kalimat, punggung polisi itu harus tercabik cambuk duri dari seorang wanita berambut pirang.
Darah segar mengalir bak sungai merah dari luka yang terukir sempurna. Sanggup bikin siapapun yang liat luka itu bergidik ngeri seketika.
"Ahaha, my condelence for you (Ahaha, kasian kalian)," dia bilang dengan senyum seduktif menghias wajah, "The Flame of Chaos will burn brighter than ever (Api Kekacauan akan berkobar lebih terang dari sebelumnya)," usai melukai anggota polisi, mata safir perempuan pirang itu melirik sosok pria berambut merah tadi.
Gak kuasa sembunyikan kekaguman kala menelisik lidah api yang merembes keluar dari pundak Si rambut merah, ditambah kepingan-kepingan api kecil berbentuk segienam oranye yang kerap berterbangan di sekitarnya. Indah. Suatu kreasi langit yang gak akan mampu ditiru siapapun juga. Dia menginginkannya, dia terobsesi. Seperti candu yang gak bisa didapatkan lagi.
Lidah api yang merupakan refleksi kemarahan pemuda itu terus membara, kreasikan semacam suara retakan lembut di udara.
Sementara itu, gak jauh dari sana, terdapat toko elektronik yang pintunya telah rusak dan dalamnya telah habis dijarah. Namun di bagian display toko tersebut masih tersisa beberapa televisi pecah lcd yang beroperasi dan tayangkan berita panas hari ini.
"Laporan terbaru dari kru kami di lapangan, saudara, aksi teror yang terjadi di kota Sukmajaya masih terus berlanjut hingga sore hari ini. Anggota kepolisian dan tentara telah diterjunkan untuk mengantisipasi keadaan. Beberapa Inquisitor juga dilaporkan telah berupaya untuk terus membendung gerombolan Rogue yang masih terus mengancam keamanan kota. Evakuasi warga juga masih berlanjut, diharapkan dengan diterjunkannya pasukan bersenjata mampu meredakan suasana. Untuk para pemirsa di rumah, kami segenap kru televisi nasional menghimbau untuk terus mendoakan mereka yang terjebak di sekitar area kekacauan. Semoga Tuhan bersama warga yang tak berdaya."
Bersamaan dengan liputan, kerumunan warga sipil yang hendak evakuasi berlarian di depan toko elektronik itu. Diiringi tangis serta jerit pengampunan pada Tuhan yang mereka yakini. Keresahan, ketakutan, khawatir akan jadi apa kediaman yang biasa mereka tinggali, apakah masih ada harapan dari kejadian yang mereka alami, berbagai perasaan tercampur rata.
Tapi tanpa alasan yang jelas, di tengah arus warga berhamburan, seorang lelaki berpakaian sweater hoodie biru laut malah jalan tenang ke arah berlawanan seraya masukkan tangan di dua saku jeans biru gelap. Wajahnya gak bisa teridentifikasi akibat bagian kepala tertutup hoodie, sedangkan dari leher sampe hidung terlindung buff slayer hitam. Cahaya dari layar televisi terhalang oleh badannya sejenak. Dari balik buff lelaki itu keluar asap putih, seolah kayak lagi napas di tengah cuaca dingin. Padahal, suhu di lingkungan sekitar lagi panas.
Dia sempat berhenti buat nonton cuplikan kerusuhan kota Sukmajaya. Menatap retak yang terukir sepanjang layar kaca, kemudian hela napas dalam-dalam seolah gak punya pilihan selain cemplungkan diri ke tengah masalah yang gak dia inginkan ... untuk kali kesekian.
Bahu lelaki itu sempat bersinggungan dengan warga pria yang lagi panik, tapi dia keliatan gak peduli.
"Mas, Mas! Ngapain diam aja!?" Seru warga sipil barusan sambil pegangi bahu sendiri. Terasa suhu dingin menusuk tulang di bahu warga sipil itu, dan dia gak tau sumbernya dari mana, "jalur evakuasinya ke sini, Mas!"
Lelaki bersweater hoodie itu cuma sekedar menoleh sebentar tanpa jawab seruan warga. Kemudian lanjut jalan menuju zona siaga.
"Ah, tai! Bilang dari tadi kalo cari mati!" warga sipil itu jengkel, putuskan terus lari tanpa berhenti lagi.
"... 'Semoga Tuhan bersama warga tak berdaya', ya?" Lelaki bersweater tersebut gumam sendiri, "semoga," langkah kaki kiri diiringi bunga es tepat berhenti di atas lidah api ukuran sedang, membuat lidah api itu padam dan hasilkan uap putih mengudara.
Pria berambut merah yang tengah sibuk bombardir kendaraan-kendaraan polisi dan tentara dari atas tumpukan puing bangunan masih belum sadar akan kehadiran lelaki itu. Lelaki bersweater hoodie sama sekali gak keliatan punya niat untuk hentikan serangan bola api yang tertuju pada polisi dan tentara. Dia cuma berdiri di sana, menatap saksama aksi si rambut merah tanpa takut, tanpa gentar. Padahal dia tau para tentara dan polisi itu bisa pergunakan uluran tangan, tapi entah kenapa gak keliatan ada gelagat hendak membantu. Sampai akhirnya seorang personil tentara yang tergopoh-gopoh meraih badan si lelaki bersweater.
Walau nyawanya terancam, bapak tentara itu masih sempat pikirkan warga sipil, "N-nak! Jangan ke sini! Kamu bisa mati!" Teriak si bapak tentara. Tapi tangan si lelaki bersweater itu malah tepis tangan si bapak, dan pasang badan di hadapan gumpalan bola api yang tengah meluncur deras.
"Mati! Bakar! Rasakan panas ini sampe ke ubun-ubun, hai bajingan!" lanjut si rambut merah keras, "tenang, kematian kalian gak bakal sia-sia. Mengubah dunia emang butuh pengorbanan!"
"Sersan Karyo, kami himbau supaya pasukan Bapak segera mundur! Keadaan makin sulit dikendalikan! Misi harus ditunda!"
Hubungan komunikasi dari alat telekom yang dia bawa terdengar jelas walau masih ada sedikit gemerisik. Namun boro-boro laksanakan perintah mundur, cuma tinggal dia yang tersisa dari pasukannya. Teman-teman lain antara udah meledak atau meleleh duluan. Ditambah lagi si personil tentara udah pasrah, udah gak mampu berlari, gak mampu mengelak. Luka bakar tingkat lanjut yang dialami membuatnya gak mampu berbuat banyak. Dia tutup mata, antisipasi panas membara yang bakal terasa.
Ledakan besar kembali terjadi! Tapi sekian lama ditunggu, panas gak kunjung datang. Personil tentara itu terheran, kenapa justru hawa sejuk condong dingin lebih mendominasi? Perlahan dia beranikan diri buka mata, ditatapnya lelaki bersweater hoodie yang masih tegak berdiri. Makin heranlah si bapak tentara. Kok bisa?
Ternyata pas pandangan si bapak bergeser ke bawah, di bawah kaki lelaki bersweater hoodie menggenang air dalam volume banyak yang sebagiannya masih tersisa bebatuan es gak rata. Bagian es meleleh itulah yang jadi semilir hawa dingin di kulit bapak tentara.
"Ka-kamu ... ?" tanya Si tentara terbata.
"... Gua penasaran, orang yang mikir anarkisme itu ide bagus buat awali perubahan," tatapan mata menusuk langsung si rambut merah, "otaknya di mana?" penekanan pada salah satu kata pertanda dia lagi provokasi lawan bicara.
"Heh. Gaya lu, Cuk," balas si rambut merah santai dan merendahkan, "apa dewan gak kapok kirim Inquisitor kemari, cuma jadi samsak bagi kami?"
Namun lain hal dengan kawan wanitanya yang keliatan gelisah, "F-Flamio, th-that's ... be careful!" wanita pirang bersenjatakan cambuk duri beri peringatan, "it's him ... Frost Point-"
Dapat peringatan untuk hati-hati, si rambut merah justru menyeringai senang dan memotong kalimat wanita itu, "Akhirnya milih buat keluar goa, Frosty?"
"Lu gak berhak balik tanya karena belum jawab pertanyaan gua. Tolong, gua butuh jawaban. Di mana otak lu?"
Pertanyaan dingin itu agaknya sukses menusuk ego si rambut merah. Dia tertawa kecil sambil tutup wajah, "Ha- ha ... haha. Biar gua jawab pun, orang macam lu gak mungkin paham," tanpa ambil ancang-ancang, bermodal lengan terbalut api, si rambut merah yang dipanggil Flamio melesat menuju Frosty, "dari abu reruntuhan peradabanlah sistem baru yang lebih baik bakal bangkit dan berjaya!"
Gak tinggal diam, Frosty ikut berlari. Tiap langkah pemuda bersweater hoodie biru itu tinggalkan jejak-jejak bunga es di belakang, bersiap adu serang lawan musuh alami kemampuannya, "Lu gak pantas sesumbar tentang perubahan di saat lu gak mampu berpikir tentang keselamatan orang lain!"
Suhu panas ekstrim bertemu suhu rendah abnormal di satu titik peraduan, ditambah suara dentuman sebagai musik latar mengakibatkan uap putih langsung tercipta secara instant. Membungkus keduanya dari pandangan orang lain. Tekanan udara seketika naik, hasilkan gelombang panas-dingin yang berhembus ke delapan penjuru mata angin.
Desiran angin yang tetiba kencang bikin wanita berambut pirang itu kaget dan lindungi wajah pakai sebelah lengan. Seruannya membahana, "Flamio!" raut kecemasan tergambar jelas di muka. Dia maju, hendak bantu kawannya itu. Tapi serta-merta tebing es bergerigi bangkit dari tanah dan mengelilingi dua pemuda berlawanan elemen yang lagi tempur, mengisolasi mereka dari dunia luar dan orang lain yang niat ikut campur.
"Omongan dari mulut lu itu ... udah gua duga, kita gak bakal sejalan," ucap Flamio sembari sibakkan tangan berapi guna singkirkan uap penghalang.
"... Belum telat buat kembali, Bung. Mumpung Insignia lu belum seutuhnya jadi Chaos."
"Cih. Insignia, Chaos, Insignia, Chaos ..." api merah menyeruak keluar dari tiap pori-pori tubuh Flamio, menyala makin hebat. Lidah api di sekitarnya pun ikut tersedot kobaran di badannya, segienam kecil melayang makin gak beraturan. Iris merah pemuda itu makin keliatan membara, naikkan suhu udara, "apa bedanya!? Ujung-ujungnya gua dan lu sama! Sama-sama abnormal! Sama-sama manfaatkan kemampuan ini buat justifikasi keberadaan diri di tengah masyarakat awam!" Flamio berakselerasi untuk lancarkan serangan jarak dekat lagi. Manfaatkan daya ledak di kedua telapak tangan yang diarahkan ke belakang, gerakannya jadi sulit diprediksi.
"Nggak. Kita beda," sulit diprediksi bagi orang biasa, tapi nggak sama sekali bagi Frosty. Bila suhu di sisi Flamio naik, di sisi Frosty justru turun drastis. Serpihan kristal es perlahan terlihat makin jelas beterbangan di udara, ditambah gelombang air juga mulai bergejolak dari pipa-pipa bawah tanah, menjebol aspal jalanan. Sebagian ada yang langsung membeku, sebagian tetap dalam keadaan cair, "gua gak berbuat dungu kayak lu."
Air dan api kembali bergelut buktikan taji, berusaha saling mengungguli. Gak ada yang sudi mengalah di antara mereka, bila perlu sampai titik darah penghabisan kali ini. Frosty sadar akan satu hal. Semua ini menyusahkan. Tapi dia gak punya pilihan. Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa berdiri melawan? Antara biarkan Sukmajaya terhapus dari peta, atau relakan diri terlibat hal yang gak dia suka? Hal demikian harusnya gak perlu ditanya.
###
Overheat © 2019 Mie Rebus/Gannza/Aldyal All Rights Reserved
Untuk aturan semesta di cerita ini (seputar gimana mekanisme kemampuan mereka bekerja, batasannya apa, penjelasan lebih detail seperti apa) akan ane jabarkan dan sebarkan hints melalui cerita dan karakter. Supaya gak terlalu banyak eksposisi juga.
Bila para sesepuh/mastah punya kritik dan saran, ane siap tampung
Diubah oleh aldyal 02-03-2019 18:39
0
532
Kutip
0
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•261Anggota
Thread Digembok