Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

royani1975Avatar border
TS
royani1975
Cerbung#2, Cinta & Jodoh Untuk Adinda
Quote:

Cerbung#2, Cinta & Jodoh Untuk Adinda

Part : 2
 
Masih di dalam kamar Bagus, Adinda merenung. Tapi beberapa saat kemudia ia bangkit berjalan keluar kamar dan menutup pintu. Ia menghampiri dapur yang terletak di kamar samping tempat salat.

Membuka kulkas, mengambil sebotol minuman dingin dan menenggaknya. Terasa adem di tenggorokan, pikirnya. Sejenak Adinda dapat melupakan apa yang baru saja diingat di kamar sang kakak. Tak berapa lama dia mengambil makanan dan dibawanya ke kamar. Ia bermaksud menghabiskannya di sana, sebab di dapur kurang merasa nyaman.

Dengan tenang ia menyuapi mulutnya sambil menatap keluar jendela. Saat hendak mengembalikan piring tiba-tiba segerombolan anak datang memanggil dirinya.

‘’Din, main layangan yuk! Kamu sudah pulang ‘kan? Mumpung anginnya bagus nih,‘’ teriak Deni, bocah lelaki kurus kering berusia 9 tahun. Di sampingnya beberapa anak kecil telah siap dengan benda-benda persiapan permainan.

‘’Moh (tak mau), aku takut. Entar kalau ibu pulang gimana, ‘kan diomelin.’’ Adinda mengeluarkan kepalanya dari jendela, sementara anak-anak itu berdiri berjejer di seberang jalan. Rumahnya memang terletak persis di dekat jalan raya, jadi secara otomatis bisa tahu semua orang yang lewat. Apalagi dari kamar Adinda, terlihat jelas sekali bila mau memperhatikan, itu jika kamar sedang dibuka pintu jendelanya.

‘’Enggak kok, cuma sebentar aja. Lagian kita semua mau pergi sekolah Arab di Madrasah, iya ‘kan?’’ Deni berusaha meyakinkan hati Adinda.

Adinda diam mematung tampak seperti sedang berpikir, sementara tangannya masih membawa piring kotor.

‘’Ayolah!’’ ulang anak itu sekali lagi.

‘’Baiklah! Tunggu sebentar ya, aku ganti baju dulu.’’

Adinda segera meletakkan piringnya di dapur dan balik lagi ke kamar mengeluarkan sesuatu dari kolong tempat tidur. Sebuah kaleng besar seukuran cat tembok kecil terlilit benang di sana, bersama sebuah layangan yang cukup besar. Adinda tersenyum memandangi alat mainnya.

Selanjutnya ia melucuti pakaian yang tadi dikenakan, berganti kaus pendek warna biru, sedikit agak lusuh memang karena ia bermaksud akan dibuat bermain di luar rumah. Kemudian ia berjalan ke gudang, mengambil sebuah baskom plastik besar, memasukkan bekatul dan nasi aking yang tadi pagi telah direndam ibunya buat pakan ayam ternak. Adinda bermaksud memberi hewan peliharaan sang ibu.

‘’Cepat Din, lama amat sih. Entar keburu dicari ibu kami disuruh pulang ngaji,’’ teriak Deni kejauhan.

‘’Sabar ah, dikit lagi nih!’’ balas Adinda tak kalah dengan suara keras dari dalam kandang. Dan akhirnya karena terburu-buru, gadis itu lupa menutup pintu kandang. Ia berlari menghampiri ke arah anak-anak kecil itu.

‘’Lama amat sih? Katanya sebentar?’’

‘’Tadi aku kasih makan ayam dulu, entar ibu marah kalau tak diberi makan.’’ Jawab Adinda sambil menata layang-layangnya.

‘’Kita kemana sekarang?’’

‘’Ke sawah bekas tanaman kacang Uwakku saja tak jauh dari sini. Tempatnya bagus dan anginnya juga cocok banget.’’

‘’Ayok.’’

Akhirnya mereka pergi bersama. Tak terasa hari hampir sore, seluruh anggota keluarga Adinda kini sudah saatnya pulang lagi ke rumah. Begitu Wulandari sampai, betapa terkejutnya wanita itu mendapati lantai keramik teras rumah penuh dengan kotoran ayam. Lebih mengejutkan lagi pintu rumah juga lupa dikunci Adinda.

‘’Masyaallah Dinda!’’ pekik wanita itu membuat kaget suaminya yang berjalan di belakang.

‘’Ada apa sih Bune? Apa enggak capek ya, habis dari sawah langsung berteriak keras.’’ Kata Kusumo cuek. Ayah Adinda ini tak melirik sedikitpun pada istrinya yang berteriak. Ia justru berjalan menujuk kran air yang yang terletak di samping rumah.

‘’Lihat Yah, kelakuan anak gadismu. Gegara kamu manja, jadinya enggak bener hidupnya sekarang. Kemana dia?’’

‘’Enggak bener gimana? Kalo ngomong mbok ya diatur dulu, gitu-gitu juga masih anakmu.’’

‘’Lah terus gimana aku? Tak Ayah lihat ini kandang ayam dan rumah tak dikunci. Ini ada barang yang hilang enggak ya? Duh! Dan coba perhatikan semua lantai kotor. Parahnya kalau semua ayam itu masuk ke dalam, bisa susah aku.’’ Wulandari berjalan tergopoh-gopoh memasuki rumah.

‘’Ya, dibersihkanlah. Kamu jadi perempuan cerewet banget sih. Ngomel terus kerjaannya tiap hari.’’ Kusumo berjalan ke halaman ke bawah pohon jambu hijau, mengambil beberapa helai daun kering yang jatuh. Lalu mengeruk semua kotoran ayam yang tercecer di lantai.

‘’Memang sudah kebiasaan, kalapnya dulu yang didahulukan kok. Ibu macam apa sih, tak sabaran momong anak gadisnya.’’ 

Wajah Kusumo dilipat sambil membersihkan lantai. Dia mengambil kain pel, membasahinya dengan air, lalu balik lagi mengusap bekas kotoran ternak tersebut. Meski terlihat lelah sebab pulang dari sawah, tapi dengan penuh sabar ia tak menanggapi kemarahan istrinya.

Sementara Wulandari tengah berada di belakang menghitung jumlah ayamnya.

‘’Untung masih utuh ya, kalau hilang tak pukul tuh anak!’’ ucap Wulandari sambil menutup pintu kandang. ‘’Tapi ngomong-ngomong ke mana ya, perginya tuh anak? Ini sudah sore kok belum pulang.’’ 

Wulandari keluar dari kandang ayam. Matanya celingak celinguk memandang sekitar rumah. Tapi sepi. Adinda tak ditemukan.

Namun baru saja bergumam, Wulandari melihat bayangan Adinda masuk halaman rumah. Badannya kotor dan basah oleh lumpur. Rambutnya panjang terurai lepas dan berantakan, sementara di tangan gadis itu tergenggam layang-layang berikut benangnya.

‘’Hemmm… pasti ini anak main di kali sehabis main layang-layang. Kurang ajar emang nih anak.’’ Matanya menatap tajam ke arah tubuh Adinda.

‘’Bagus ya, sekarang sudah mulai berulah lagi!’’ Wulandari menghampiri Adinda dan langsung menjewer telinga gadis itu dan bertolak pinggang. ‘’Mana jilbabmu? Mana…?’’

‘’Kamu itu memang mbuh (tak tahu) kok Din. Udah besar dibilangin kalo keluar rumah pake jilbab dan bajunya tertutup. Masih juga ngeyel! Stress lama-lama ibumu ndidik kamu.’’

‘’Tapi ‘kan Dinda belum haid Bu. Jadi masih kecil, bebas pake baju apa aja.’’

Bagai disambar petir di siang hari bolong, seketika mulut Wulandari terkunci rapat tak bisa bicara. Wajahnya yang semula penuh amarah, kini pelan-pelan meluruh menjadi tatapan iba pada sang anak. Tak ingin kesedihannya terbaca Adinda, perlahan ia memelankan suaranya.

‘’Walau demikian tetap tak pantas Din. Kamu bukan anak-anak lagi. Sekarang berapa usiamu? Tujuhbelas tahun ‘kan seminggu lagi, ayo itung tanggalan!’’

Adinda diam tak menjawab. Di halaman rumah kedua kakak kembarnya terlihat pulang dan langsung menghampiri keduanya.
‘’Ada apa Bu? Dinda bikin ulah lagi ya?’’ tanya Bagas dengan tampang seramnya. Dia memang ganteng banget, namun sayangnya agak jutek dengan sang adik Adinda bila sudah menyangkut urusan kedisiplinan.

‘’Tuh adikmu Dinda. Dibilangin ngeyel. Katanya belum menstruasi jadi masih bebas memakai pakaian.’’

Bagas melirik Adinda dengan bola mata hendak keluar. Dahinya mengerut memperhatikan adiknya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Namun sama seperti sang ibu, Bagas yang semula pasang muka galak langsung luluh menatap Adinda.


‘’Kapan sih kau berubah Din?’’ tanyanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

‘’Sudah…sudah bukan dengan kekerasan ngomong sama dia. Sekarang kamu lekaslah mandi bersihkan badanmu segera.’’ Bagus melerai mereka, selanjutnya menggandeng lengan sang adik menuju kamar mandi.

‘’Pasti kamu juga belum salat ashar ‘kan? Dasar anak susah diatur kamu!’’ Bagas mengomel dari belakang mereka, sembari berjalan masuk ke kamarnya.

‘’Jangan diulangi lagi ya. Berapa kali Mas ngomong ke kamu, tak pernah didengerin. Lagian dirimu ini udah gede jangan main sama anak kecil. Entar kalo terjadi sesuatu pada mereka, kamu yang disalahin.’’ Bagus membukakan pintu kamar mandi.

‘’Tapi mereka yang ngajak Mas.’’

‘’Dan kamu tak bisa menolak?’’ Bagus menatap mata Adinda yang polos. ‘’Sudah cepetan mandinya gantian. Ini udah sore bentar lagi magrib.’’ Bagus menutup pintu dan berjalan mengambilkan baju ganti berserta handuk pada Adinda. 

Padahal saat itu ia juga terlihat tampak lelah. Tapi Adinda dia melakukan semuanya. Rupanya tadi selepas mengajar masih disibukkan memberi tambahan les murid-muridnya yang sebentar lagi akan ujian. Bagus bekerja sebagai guru di salah satu sekolah SMK, untuk mata pelajaran tehnologi dan informasi.

Memang pria ini terlihat sangat kalem. Bicaranya lembut banget, terutama kepada Adinda yang tergolong bengal, karena suka keluyuran dan mainnya sama anak lelaki bukan seumuran dia.Tak pernah sekalipun Bagus berlaku kasar pada sang adik. 

Justru yang ada selalu membimbing dan mengarahkan. Namun dasarnya Adinda tergolong cewek ndablek bin cuek. Diajak bicara keras seperti yang dilakukan Bagas dan ibunya saja tak masuk, apalagi yang pelan.


Namun meski demikian, Bagus bertekad ingin mengubah karakter Adinda agar lebih manis lagi dan layaknya seorang gadis. Meski untuk itu, dirinya harus mati-matian tak kenal rasa lelah menasihati. Dia tak ingin menyerah, karena Adinda adik cewek satu-satunya dalam keluarga itu.

Karena itu sepulang memberi les, dirinya mampir ke rumah tunangannya yang juga berprofesi guru namun dengan mata pelajaran dan sekolah yang berbeda. Yakni guru tata busana, namanya Novi. Orangnya manis dan keibuan, cocok sekali bila bersanding dengan Bagus kelak.

Iya, tadi Bagus mampir ke rumah ibu guru cantik itu, untuk mengambil pesanan baju buat Adinda yang dijahit sendiri oleh Novi.
Rencanya, dua tahun lagi akan menikah setelah dana tabungan Bagus terkumpul. Sementara ini hubungan mereka sudah diresmikan bulan kemarin, dengan bertunangan alias tukar cincin. 

Bagus memberikan baju gamis pada Adinda, punya maksud agar anak itu mau belajar bergaya selayaknya wanita, bukan mirip anak laki-laki.

***

Usai mandi dan salat Ashar, Dinda terlihat manis dan cantik. Ia berpakaian gamis warna merah jambu dengan motif bunga, pemberian Bagus yang tadi diberikan saat dia berada di kamar mandi. Sebenarnya dia kaget, saat mengetahui dan ingin membuang. Namun cemas hati Bagus kecewa, akhirnya dia memakainya.

‘’Nah, anggun kamu gitu kok, pake celana terus tiap hari, jelek.’’

‘’Tapi enggak biasa Mas, ribet!’’ balas Adinda sambil memutar-mutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan, membuat Bagus tersenyum geli dalam hati. Dalam hati ia mikir, nih anak terbuat dari apa ya hatinya, tak pernah kesal ataupun marah, sekalipun tiap hari dibejek-bejek saudara kembarnya Bagas dan sang ibu.

Diulang terus kesalahannya, tak mau mengubah. Tapi jika dia mau ikutan bersikap demikian juga tak tega. Adinda terlalu naïf. 

Pikirannya belum dewasa sama sekali. Pantas saja hingga sekarang ia belum mendapatkan tanda seperti yang umum terjadi pada anak seusianya.

‘’Kenapa memandang Dinda seperti itu, Mas?’’ suara Adinda membuyarkan lamunannya. Mata Bagus berubah lemah saat menatap adiknya.

‘’Kalau Mas capek, mengapa datang ke kamar Dinda. Aturan istirahat aja kok.’’

‘’Enggak, biasa saja.’’

‘’Makasih ya Mas bajunya cakep, Mbak Novi ya yang bikin?’’

‘’Kok tahu?’’

‘’Ya tahu sajalah. Adik siapa hayo?’’ bibir Adinda dimajukan kedepan, tampak lucu sekali.

‘’Entar mau dipakai ke masjid, ah.’’ Adinda tersenyum genit di depan sang kakak.

‘’Pasti mau pamer temenmu Laila ‘kan?’’ mata Bagus menyelidik.

‘’Kok tahu?’’ balas Adinda tertawa menggemaskan, dengan kalimat sama yang tadi diucapkan Bagas.

‘’Tahulah! Kelakuanmu dari dulu ‘kan begitu, tak pernah akur sama dia.’’ Bagus mencubit pipi Adinda, membuat gadis itu menjerit karena kaget.

‘’Auw…ih Mas Bagus!’’

Bagus tertawa.

‘’Abisnya Laila begitu sih jadi orang. Menjijikkan banget! Enggak di sekolah enggak di rumah suka ngeledek Adinda yang katanya tak normal.’’ Wajah Adinda tiba-tiba ditekuk. Matanya berkaca-kaca.

‘’Emang ngomong apa dia ke kamu?’’

‘’Katanya Adinda tak bakal dapet pacar apalagi suami, sebab enggak normal seperti gadis lain yang belum itu tuh….’’

‘’Bilang begitu ya?’’

‘’Iya, Mas. Mas Bagus enggak tahu, sebab Dinda tak cerita selama ini, tapi akhirnya Dinda keceplosan juga.’’

Bagus diam dan menundukkan wajahnya. Dahinya tampak berkerut memikirkan sesuatu.

‘’Kata dia lagi : Mengapa semua pria tak mau, sebab mengira Adinda tak bakal bisa hamil dan punya anak, karena mandul!’’

‘’Stop! Stop! Omongan darimana itu?’’ wajah Bagus memerah.

‘’Makanya kesel terus sama dia, dan bawaannya pengen ngerjain biar dia juga kesal kayak Dinda. Dinda takut Mas. Dinda pengen hidup normal seperti gadis lain.’’ Adinda menghambur dalam pelukan Bagus. Bulir bening meluruh jatuh di kedua sudut matanya yang bening, membasahi kulit wajahnya yang seputih pualam.

‘’Sudah tak usah didengerin. Nanti Mas cari jalan keluar terbaik buat kamu.’’ Tangan Bagus mengelus lembut kepala Adinda. 

Sejenak ruangan kamar Adinda menjadi hening.

‘’Oh, ya Din. Kau masih inget enggak Mas Tris?’’ tanya Bagus sambil melepaskan pelukannya setelah Adinda terlihat lebih tenang.

‘’Memang kenapa Mas?’’ balas Adinda pura-pura tak tahu, meski sebenarnya ia juga sedikit agak kaget menerima pertanyaan itu dari Bagus. Padahal tadi siang gadis itu telah memasuki kamar Bagus dan membaca isi pesan Trisno yang dikirimkan. Tapi dia belum mengatakan itu pada sang kakak.

Entah mengapa kali ini ada sesuatu sedang bergejolak di hati gadis manis itu, begitu Bagus menyebutkan nama Trisno. Jantungnya berdetak sangat keras.

‘’Dia sekarang udah enak, jadi dokter ginekolog dan mau berdinas di rumah sakit kabupaten.’’

‘’Tapi Mas Bagus juga enak sekarang, mendapat impian yang dulu dicita-citakan. Beda dengan Adinda. Dimarahin terus sama ibu gegara belajar menjahit.’’

Bagus tersenyum menatap wajah Adinda yang polos.

‘’Kok senyum sih?’’

‘’Sebab kamu itu lucu dan unik!’’

‘’Dih, ngomongin cita-cita malah ujungnya mengolok Dinda?’’ Muka Adinda dilipat lagi. Benar-benar menggemaskan.

Sementara di luar hari sudah menjelang petang. Suara adzan terdengar sayup-sayup dari masjid di ujung jalan. Memanggil semua jamaah untuk datang ke masjid menunaikan salat.

‘’Nanti diterusin lagi ya, kita ke masjid dulu.’’ Ucap Bagus yang mengambil ponselnya dari saku celananya. Begitu dibuka, alangkah terkejutnya ia. Rupanya sedari tadi telponnya berbunyi dan tak terdengar olehnya, karena tak sengaja kepencet nada deringnya dan mati, usai membaca semua pesan di wa sebelum datang ke kamar Adinda.

‘’Dari Trisno.’’ Ia berkata sambil menatap mata Adinda. ‘’Ya, Tris. Apa kamu sudah ada di sini. Kapan dan di mana kamu sekarang?’’

Dan kembali tubuh gadis itu bergetar, begitu mendengar nama Trisno disebut Bagus. Ada apa dengan Adinda? Mengapa bersikap demikian?

Bersambung….

 
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
3
2K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.