Karena tak ada lagi, sepertinya, yang dapat kulakukan untuk mengambil dia kembali.

Kami tidak bermusuhan, tetapi juga, sepertinya, tak akan pernah lagi dapat berkomunikasi.

Sesungguhnya aku tak mau kehilangan dia, bahkan sebagai teman. Meski aku sempat mengharapkan sesuatu yang, sepertinya, di luar jangkauan.

Apa yang sedang dia kerjakan sekarang? Ingin kutanyakan langsung kepadanya, tetapi nanti aku dicuekinya, lagi.

Apa gunanya teknologi? Kalau tak dapat bantu kembalikan relasi kami.

Hanya sepencet dua pencet kini, gagasan-gagasan bisa meluncur ke sana ke mari.

Aku duduk saja di sini. Memandang jendela, yang ada salju di luarnya. Di Uppsala University.

Sudah persis sepekan lamanya sejak kami terakhir berjumpa. Sebentar, sepekan lebih sehari ternyata.

Sore itu di kantor, kumasuki ruangannya. Itu pun setelah mondar-mandir berkali-kali banyaknya. Keringat dingin mengalir Kamis sore itu. Hanya karena aku khawatir, kalau sore itu aku datang lagi kepadanya, akan diabaikan lagi aku olehnya. Bagiku tak masalah dicuekin demikian. Dia perempuan aku laki-laki. Aku tak pernah rasakan menstruasi. Namun kutebak, rasanya tak nyaman sekali. Mungkin itu memengaruhi. Bisa jadi tak semua sikapnya dia niati. Tak semua ucapannya dia tujukan sesuai dengan yang kuyakini.

Yang jelas sore itu di kantor kami, disuruhnya aku pergi. Mungkin aku mengganggunya, kuharap tidak. Namun sepertinya memang demikian. Hanya saja aku heran, apa yang telah kulakukan? Aku butuh evaluasi, bukan dari orang lain, aku mau dia sendiri yang bicara.

Namun saat ini? Apa masih bisa kami bicara?