Ilustrasi pasangan selingkuh. | Pormezz /Shutterstock
Apapun alasannya, orang yang berselingkuh dalam suatu hubungan monogami cenderung disalahkan. Lewat sebuah riset, para peneliti mengajak kita menelaah lebih jauh alasan mengapa seseorang memulai afair.
Studi yang dipublikasikan Archives of Sexual Behavior menemukan, orang yang merasa ditantang secara negatif oleh hubungan mereka bisa bersikap lebih terbuka terhadap perselingkuhan. Dengan kata lain, seseorang yang merasa diabaikan atau disakiti oleh pasangannya lebih cenderung berselingkuh daripada orang yang benar-benar bahagia dengan hubungan mereka.
"Secara keseluruhan, penelitian kami menunjukkan perilaku menyakitkan menghilangkan hasrat akan pasangan, mengalihkan perhatian setidaknya untuk sementara pada hubungan baru yang tampaknya lebih menjanjikan," ujar peneliti Gurit Birnbaum, Ph.D., profesor di Baruch Ivcher School of Psychology.
Dalam studi pertama, peserta yang punya pasangan diminta ikut survei daring. Pertanyaan yang diajukan adalah seberapa sakit hatinya mereka karena pasangan akhir-akhir ini, seberapa tertarik mereka secara seksual kepada pasangan, dan seberapa sering mereka berfantasi atau menggoda dengan orang lain.
Hasilnya, peserta survei yang menyatakan merasa terluka karena pasangan juga cenderung kurang tertarik pada pasangan mereka. Alhasil, mereka cenderung berfantasi bahkan saling goda dengan orang lain.
Untuk studi kedua, para peneliti meminta pasangan menggambarkan secara rinci, waktu pasangan mereka telah menyakiti perasaan atau sekadar berbicara tentang keseharian dalam hidup mereka bersama.
Kemudian, mereka diminta menilai seberapa tertarik mereka pada pasangan, dan menilai apakah mereka tertarik pada foto pasangan potensial lain. Ternyata orang yang baru mengingat kenangan buruk dengan pasangan cenderung menganggap pasangan mereka tidak menarik. Akibatnya mereka cenderung merespons foto lawan jenis lain secara positif.
Dalam eksperimen ketiga dan keempat, para peneliti menempatkan peserta dalam situasi lebih realistis dengan orang-orang yang mungkin menarik bagi mereka.
Studi ketiga merupakan situasi di mana lawan jenis berpenampilan menarik akan meminta bantuan dari salah satu peserta yang sudah berpasangan. Mereka juga meminta peserta dari jenis kelamin sama meminta bantuan peserta.
Ternyata, orang cenderung membantu lawan jenis. Ini menegaskan bahwa orang cenderung membantu sosok yang mereka sukai. Apakah mereka sekadar membantu atau menggodanya juga?
Lewat studi keempat, peneliti mengungkap bahwa mereka mungkin melakukannya. Terutama jika mereka tidak bahagia bersama pasangan.
Para peneliti meyakinkan peserta dalam hubungan monogami bahwa ada sesuatu yang salah dengan hubungan mereka. Mereka kemudian memperkenalkan para individu kepada pewawancara keren dan mencatat interaksi mereka. Hasilnya, menunjukkan kualitas hubungan yang kurang dimanifestasikan pada aksi saling menggoda bahkan dengan orang yang baru dikenal.
Perilaku pasangan yang cenderung menyakiti perasaan mengikis hasrat yang dimiliki seseorang pada pasangannya. Sepanjang hidup, orang akan menghadapi hal dan situasi yang membahayakan bagi hubungan.
Para ahli telah menggambarkan beberapa respons yang bisa menyembuhkan sakit hati. Misal sikap memaafkan dan perilaku yang meningkatkan keintiman lain.
"Masalahnya, orang sering kali defensif merespons ancaman hubungan. Mereka cenderung menjauhkan diri alih-alih mencoba memperbaiki hubungan," tulis Birnbaum.
Studi ini menunjukkan, ketika ancaman internal terhadap hubungan muncul, pasangan mungkin jadi lebih rentan merasa tertarik, menggoda calon pasangan alternatif. Keterarikan secara seksual kepada pasangan alternatif bisa jadi sarana mengatasi perasaan terluka.
Daya tarik ini, bagaimanapun bisa mengganggu kemampuan atau kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku yang menyelamatkan hubungan.