nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Suara Bersampul Merah
            

            Suaraku tak terdengar, lebih tenang dari bisik angin, atau lebih diam dari denting waktu yang sekarat. Sungguh, keberanianku sudah mati ketika aku pertama kali hidup. Dan dia, hampir tiga tahun tak mengerti bisikku serta wujud hadirku.
            Sekarang, aku hanya termangu, menatap lamat-lamat langit malam. Gemintang dan rembulan melahap temaram, merundung pilu yang tak kunjung menyingkir dari jiwa.
            Buku bersampul merah, lusuh, dirampas dari sang pemilik. Hanya empat halaman yang berisi tulisan, terlukis manis dengan tinta merah.
            Kubuka halaman pertama,
            “APAKAH AKU SUDAH MATI?!”
            Dengan gemetar, rindu yang menggebu, aku akan menjawab setiap pertanyaannya, kuukir rupa dari rasa dalam bait hampa yang percuma.
            “Sungguh, kau tidak mati. Rasaku pun tak pernah mati atau sekadar sekarat. Aku selalu mendekapmu, menjaga kau agar tetap hidup.”
            Sesak menghantam dada, kutatap dengan sendu jawabanku yang pertama. Kubuka halaman selanjutnya.
            “AKU SUDAH MATI?!”
            “Sudah kukatakan, kau masih hidup.
Dan, maaf, aku hanya ingin bertanya, apa kau baik-baik saja? Langit malam di tempatku sangat indah. Bagaimana di tempatmu?"
            Lalu, kubuka perlahan halaman ketiga.
            “SUDAH MATI?”
            “Tidak. Dan aku hanya menyesal membendung semuanya. Karena kau tidak pernah paham, maka aku selalu diam. Aku tidak mempunyai keberanian bersuara, hanya merampas bukumu yang kumampu. Dan sekarang, kau masih hidup. Aku masih bisa mendengar bentak kasar dari suaramu yang bergetar, masih seperti dulu, aku hanya diam. Menjijikan, aku yang sudah menjadi bangkai, kau masih hidup. HIDUP!”
            Dan halaman keempat, ungkapan yang kutulis empat tahun yang lalu.
            “AKU MENCINTAIMU, ARDI.”
            Kututup sudah buku ini. Air mata rasanya tak terbendung, sudah gagal kutahan. Aku berbaring di atas rumput yang basah karena embun, kutatap langit gemerlap, angin malam berhembus, dan bayangmu memeluk. Dan wujudku, termangu di tempat ini, halaman belakang rumah. Namun, khayalku merampas semua bayang-bayang kejadian empat tahun lalu, ketika aku duduk di bangku SMA dan menjadi teman sekelasnya selama tiga tahun.
***

            Pagi ini seperti biasanya, tidak ada senyuman tergurat di parasnya. Namun, aku masih candu menatapnya.
            “Aku akan menusuk matamu!”
            Aku hanya menggeleng dan berhenti menatapnya. Ingin segera menghilang dari pijakanku saat ini, terkubur malu yang mencekat kerongkongan.
            “Bisu! Diamkan saja kakimu! Biar aku yang pergi.”
            Mataku hanya memandang punggungnya, tegap, dan menghilang. Bisikku berusaha terucap, “Aku tidak bisu!” Percuma, dia tidak mendengar.
            Hanya aku dan Ardi yang selalu datang pagi ke sekolah. Sekarang, aku hanya termangu, sepi, dan sendiri. Menatap tas miliknya yang ditinggal sang pemilik. Selama beberapa detik aku bergulat dengan pikiran, menerawang isinya. Aku pun bangkit, gemetar mengiringi langkah kaki, dengan cepat kuhampiri tas itu dan kubuka. Buku bersampul merah, dan aku tertarik. Dan ya, bodohnya aku, aku langsung mengambilnya.
            Aku kembali menuju bangkuku, memikirkan apa yang baru saja kulakukan. Pikiranku mengira-ngira, rasanya Ardi sama sepertiku, tidak mempunyai teman di kelas. 
            Masih ada setengah jam sebelum bel masuk. Aku hanya membisu di bangku ini, sendirian. Kini, buku bersampul merah ini akan menjadi temanku. Kubuka lembarannya, menatap lamat-lamat isinya. Hanya ada tiga halaman yang berisi tulisan dengan tinta merah, dalam setiap lembar terdapat satu kalimat pertanyaan yang tertambat manis, tanpa jawaban.
            “APAKAH AKU SUDAH MATI?”, “AKU SUDAH MATI?”, dan “MATI?”
            Aku tergagap, tidak tahu masalah apa yang merundung hidupnya. 
            Yang kutahu, “AKU MENCINTAIMU, ARDI.” Kutulis kalimat pernyataan yang mustahil terucap, angan-angan yang selalu terbang tanpa bersuara, dan sekarang tertulis.  
            Aku menatap sekitar, tidak ada manusia, tidak ada suara. Aku tersenyum, dan dia harus tahu, aku mencintainya.                 Perasaanku sudah membusuk tak tersentuh. Sejak pertama kali masuk SMA dan sekelas dengannya aku sudah mengaguminya. Dan sekarang, sudah tahun ketiga, dia masih tidak memahami arti tatapku. 
            Terlihat dari luar Ardi menuju pintu kelas, di belakangnya beberapa orang berjalan satu arah dengannya. Kelas pun mulai ramai, gelak tawa dan obrolan ringan mulai memenuhi gendang telinga.
            Ardi duduk di bangkunya, membuka perlahan tasnya dan terlihat bola matanya mencari sesuatu. Aku perlahan menghampirinya, membawa barang yang sepertinya sedang dicari olehnya.
            “Kau mencari sesuatu?”
            “Suaramu tidak bisa lebih kencang? Bisu?”
            Aku hanya menunduk, kutunjukkan buku bersampul merah yang baru saja kuambil.
            “Apa ini? Kau mencurinya? Menggelikan sekali.” Ucapnya sambil tertawa kencang.
            “Ardi…”
            Dia mulai beranjak, menarik tanganku dan membawaku keluar kelas.

            “Kenapa kau selalu menatapku?” Tanyanya ketika sampai di taman belakang sekolah.
            Aku hanya menatapnya seperti orang bodoh. Keberanianku memang sudah mati, satu kata dariku tidak berhak bersuara.
            “Dan lagi, mengapa kau menatapku?”
            “Mengapa kau selalu sendirian?” Bisikku lirih.
            “Dengar! Kau tak perlu balik bertanya. Aku benci semuanya. Dan kau! Apakah kau semacam penguntit? Aku semakin menggila ketika matamu menatapku. Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin mati, itu saja. Dengar! Semuanya sudah sirna. Orang tuaku, hatiku, otakku, seluruh hidupku. Mari tuntaskan, kau ingin aku kehilangan buku bodoh itu? Baiklah, ambil saja! Hanya satu yang masih tersisa, nyawaku. Dan aku pun membencinya.” Tegasnya dengan napas yang memburu. Lalu pergi.
            Aku hanya bisa menatapnya, berdiri di taman ini dengan segumpal perasaan bodoh, menyaksikan dia yang berlalu dan membuat jarak yang tidak bisa terlampaui olehku.
            Aku berjalan menuju kelas, mengingat setiap kata yang terucap olehnya. Semua ini seolah kejadian yang akan membeku, tersendat dalam pikiran, dan tak akan hilang.
            Ketika aku masuk kelas, Ardi masih belum sampai. Beberapa menit kemudian guru matematika datang, namun Ardi masih tak terlihat. Dan dari luar, terlihat salah satu teman sekelasku yaitu Rendi berlari menuju kelas. Dia berdiri di ambang pintu, menatap guru matematika yang sedang menjelaskan lalu menatap semua orang di kelas. Napasnya memburu, keringat tampak bercucuran membasahi kemeja putihnya.
            “Ardi, tergelatak di kamar mandi!” Seru Rendi panik.
            Semua orang saling tatap. Tidak sampai satu menit semuanya berhamburan keluar kelas, termasuk aku.
Dan ketika sampai di kamar mandi, sosoknya tergeletak dengan darah yang menetes dari pelipisnya. Seseorang berkata bahwa dia membenturkan kepalanya ke tembok beberapa kali sebelum akhirnya tersungkur.  Dan aku seperti biasa, diam. Ketika yang lain berteriak dan menangis, aku hanya menatap tubuhnya. Matanya tertutup, mulutnya bungkam, mungkin tak akan lagi ada bentakan kasar darinya. Aku hanya berpikir, jika esok hari dia sudah lenyap, apakah aku akan merindukannya? Yang jelas, dia tidak pernah mengetahui bahwa aku sungguh mencintainya.
            “Dia sudah meninggal.” Ucap salah seorang yang memeriksanya.
            Lamunanku pecah. Kulanjutkan diam, meski getaran hebat menghantam raga, aku selalu bisu. Semuanya sirna, Ardi tak pernah tahu isi hatiku. Aku memeluk buku bersampul merah, dan kemudian kuhentakkan kaki dan lari menjauh.
***

            Dan malam ini masih gulita, meredam rindu yang tak bersuara. Dan aku masih membisu, membuka halaman terakhir buku bersampul merah itu.
            “Kau sudah tiada, aku mengakuinya sekarang. Aku hanya merasakannya, ketika kau tidak menjejakkan kaki di pijakan yang sama sepertiku, aku ingin menghilangkan langkahku dan terpuruk dalam sesal. Ardi, rasaku tak pernah memudar untukmu, hidup dan selalu seperti ini. Aku tahu kau sangat benci padaku, dengan setiap kekasaranmu terhadapku, aku semakin diam dan kagum. Ardi, aku masih bisu sekarang. Dan suaraku, apakah kau peduli? Ardi, Ardi, Ardi, suaraku terjebak sampul merah ini.”
            Kututup buku ini, mengembangkan senyum penuh harapan baru. Karena aku tahu, hidup bukan hanya tentang suara yang harus terucap, namun sesederhana rasa yang terkurung di balik sampul merah ini.
*TAMAT*




Sumber Gambar:
https://ae01.alicdn.com/kf/HTB14NenR...pg_640x640.jpg 
 
2
1.5K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.