"Puput."

Aku menyahut acuh tak acuh. "Hmm."

"Aku punya teka-teki," katamu sambil mendekatkan diri padaku dengan suara berbisik.

"Wih, apa tuh?" tanyaku sambil mengangkat kepala.

"Tarian apa yang sehat?"

Dahiku berkerut. Pertanyaan yang nggak masuk akal. Teka-teki macam apa itu. "Bukannya semua tarian sehat, ya? 'Kan dia gerakin tubuh gitu, Refa."

"Ck. Ini bukan momen yang tepat buat jadi kritis, put." Kamu mencibir sebal.

"Oh, iya. Aku nggak tahu kalau gitu."

"Dih, cepet banget nyerahnya."

Aku menghela napas. Oke, mari hargai usaha yang telah kamu lakukan. Aku yakin kamu pasti sudah berusaha dengan keras. "Apa jawabannya, sayang?"

"Vegetarian, HAHAHAHA. Ayo, ketawa."

...

Kamu memandangiku lamat-lamat, menantikan respon yang akan ku beri. Lidahku kelu. Oke, aku bisa menangkap maksud yang ingin kamu sampaikan. Tapi, sebentar, aku akan menarik napas sekali lagi. Tenanglah, Puput. Kontrol emosimu.

"Put, kok kamu nggak ketawa? Aku usaha, lho. Masa kamu biarin aku ketawa sendiri," tuturmu. Raut wajahmu berubah jadi cemberut.

"Ada teka-teki lain nggak?"

Kamu berdecak. Tidak menjawab pertanyaanku. "Puput dingin banget sekarang, ih."

"Ngga kok, Refa. Cukup antartika aja yang dingin, antarkita mah jangan."

...

Aku dan kamu saling beradu pandang. Senyumku mengembang sembari menaikturunkan alisku yang tipis, sedangkan kamu hanya diam menatapku. Tidak ada gerakan lain di wajah selain hidung kamu yang kempas-kempis.

"Tuh, kan."

Kamu tersenyum kecut. "Iya, Put, sekarang aku ngerti alasan kamu respon begitu tadi."

"Jadi, kita... damai?" tanyaku memastikan.

"... damai dan riang."

Ah, dasar.
Sana.
Jangan terlalu riang, nanti aku meriang; merindukan kasih sayang (kamu).
Astaga, Put, hentikan kebucinanmu dan segera habisi sepiring pecel lele yang tak kunjung habis ini.

Sebuah percakapan dipenghujung senja beberapa tahun yang lalu, saat kau masih bersamaku.

Aku merindukanmu