Tentunya banyak sekali kejadian yang layak dicatat saat detik - detik pergantian tahun 2018 ke 2019 beberapa hari yang lalu. Salah satu yang paling mudah diingat, tentulah warna - warni kembang api meriah yang menghiasi langit malam, atau yang acapkali kita saksikan dilayar televisi, yang tentunya melaporkan detik - detik pergantian tahun di berbagai belahan dunia.




Perlu untuk diketahui, konon, pada awalnya, perayaan pergantian tahun hanyalah sekedar kelanjutan perayaan natal yang selalu tepat jatuh tanggal 25 Desember. Namun, lama - kelamaan menjelma - lah menjadi perayaan sekular yang dirayakan oleh siapa - pun & dimana - pun, tak hanya terbatas oleh umat nasrani saja. Di banyak negara, perayaan pergantian tahun dimeriahkan besar - besaran dengan pesta kembang api. New York, London, Paris, Rio de Janeiro, Sydney, dan Tokyoadalah beberapa kota didunia yang selalu semarak dengan pesta kembang api di malam tahun baru.




Barangkali, atraksi udara yang memanjakan mata ini tak akan pernah ada, jikalau saja tidak terjadi kecelakaan disebuah restoran di Cina, pada abad ke - 9. Seorang juru masak tidak sengaja mencampur tiga bahan bubuk hitam yang ada didapur, yaitu : garam peteratau KNO3 ( kalium nitrat ), belerang, dan arang kayu. Campuran ketiganya itu lalu meledak dan berbunga api saat kejatuhan alu batu.




Begitulah salah satu versi cerita ditemukannya bubuk mesiu dimasa dinasti Sung( 960 - 1279 ). Bubuk yang dimasukkan kedalam sepotong bambu, diberi sumbu, lalu dibakar hingga meledak sebagai petasan. Kalangan militer malah memberdayakannya menjadi peluru. Sejarah mencatat, Cina menggunakan ledakan mesiu saat menghadapi serbuan tentara Mongol pimpinan Khubilai Khan tahun 1279.




Dari Cina, budaya petasan ( dan peluru ) menyusup keArab dan Eropa, lalu di abad ke - 17 masuk ke benua Amerika. Tidak sekedar menjadi petasan ( yang meledak saat dibakar ) atau mercon ( yang menghasilkan semburat api ) tapi juga sebagai bahan peluru untuk senjata, meriam, bahkan roket.




Italiaadalah negara pertama Eropa yang membuat pabrik kembang api di abad ke - 18, lalu diikuti oleh Jerman. Bahkan, di kedua negara itu muncul sekolah kembang api. Pesta kembang api menjadi mode di saat raja - raja Perancis dan Inggris berpesta. Ratu Elizabeth I di Inggris dan Raja Louis XIV di Perancis dikabarkan sangat menyukai pertunjukan kembang api dan memamerkannya di taman istana Buckingham dan Versailles.




Bertahun kemudian, para ahli bisa membuat kembang api yang berwarna - warni : merah ( dari strotiumdan litium ), kuning ( dari natrium ), hijau ( dari barium ), dan biru ( dari tembaga ). Campuran kimia itu dibentuk kedalam kubus - kubus kecil yang disebut star. Kumpulan star dimasukkan kedalam tabung kertas atau plastik, lalu dimasukkan pula bubuk mesiu untuk menyalakan dan melontarkannya ke udara.



Kemajuan teknologi menjadikan bentuk kembang api makin bermacam - macam. Dari komet, bunga dahlia, pohon palem, planet saturnus, sarang laba - laba, hingga getah pohon. Tidak cuma untuk hiburan, kembang api juga bisa digunakan sebagai alat komunikasi darurat dilaut, dihutan, atau untuk menerangi garis pantai saat kapal mendarat.