"AAAAAAAAAARGGGGGH!!!"

Seisi kelas terkejut melihat Nanang tiba-tiba berteriak. Meski berada dalam ruangan berpendingin, Nanang bercucuran keringat seperti barusaja melihat hantu. Benar-benar aneh. Dengan nafas tersengal ia memindai sekelilingnya. Terakhir ia meraba-raba mukanya sendiri.

"Nanang? Kamu kenapa?"

Pak Surya sama sekali tidak ia gubris. Sikap aneh terus ia pertontonkan sampai badannya diguncang teman sebelahnya. Pak Surya putuskan mendekat untuk memeriksa. Tapi belum ada sepuluh langkah, Nanang bangkit meninggalkan kelas. Semua orang merasa heran.

Hampir setengah jam dan entah di mana Nanang selama itu. Ketika kembali, Nanang berdiri di depan pintu kelas seperti anak yang ketahuan berbuat nakal dan takut mendekati orangtuanya yang hanya ingin bertanya baik-baik.

"Kamu tidak apa-apa, Nang?"

Nanang diam.

"Kamu boleh pulang kalau kamu mau."

Nanang tetap membisu tetapi ia akhirnya masuk, melihati lagi seisi kelas dan begitu juga sebaliknya.

"Heh, gile, ngape lu?" teman sebelahnya langsung mendesak begitu Nanang duduk. Dan Nanang masih belum bisa menjelaskannya.

"Ini kamu, wak?" bisik Nanang membalas temannya Toro. Toro tak sempat menjawab karena Pak Surya memergoki mereka. Namun tidak seperti biasanya, Pak Surya hanya diam-cukup gampang ditebak di mana beliau memperlakukan Nanang secara khusus atas keanehannya hari ini-dan keduanya tidak menghabiskan jam kuliah di luar kelas.

"Ngape lu?" Toro nekad mengganggu Nanang lagi. "Mimpi ape lu bisa ampe tereak begono?"

"Mimpi?"

"Lha, pan elu ketiduran bodoh."

"Tidur?"

Toro bingung bukan main. Apa bisa orang lupa dengan hal yang belum lama ia lakukan sendiri. "Etdah, gile lu."

Setelah itu Nanang tak meladeni Toro lagi. Nanang hanya menatap ke depan selagi Pak Surya menjelaskan tentang kurva ini-kurva itu. Kelas selesai dan empat orang langsung mengerubunginya seperti wartawan mengejar politikus. Semuanya perduli meski cara mereka tak ada yang bisa dibilang halus.

Nanang masih saja heran melihati mereka, yang ia kenal pertamakali ketika ospek itu. Ia miliki jawaban tapi untuk mengatakannya butuh keberanian tertentu. Waktu tidak dapat diputar kembali. Dan Nanang tak mau dianggap gila karena mengaku telah 'dikembalikan' ke masa lalunya.

Mengulang waktu dengan kesadaran serupa memberi keleluasaan mengubah apapun. Itulah kenapa Nanang seperti turis di tempat wisata, tersenyum melihat sekelilingnya dan membuat teman-temannya heran untuk berkali-kali.

Para mahasiswa/i mulai keluar dari ruang kelas yang hendak mereka lewati. Nanang ambil waktu di belakang temannya. Kemudian, empat orang mahasiswi berpapasan dengannya. Nanang memperhatikan salah satu dari mereka. Klise, namun pada pertemuan pertama mereka untuk keduakalinya itu, perasaan itu masih sama.

'Apa kabar kamu?'

Seperti cuaca, perasaan berubah cepat tanpa bisa diterka. Nanang berlari ke kamar mandi, mengunci dirinya di sana dan melihat kembali layar ponsel yang masih bergetar itu. Nyatakah itu semua?

"Halo, Nang."

Suaranya tidak salah lagi. Meski Nanang sudah menahan sebisa mungkin, sepertinya percuma karena laki-laki itu juga orang yang cukup peka.

"Halo, Nang, kenapa kamu? Pilek?"

"Ayah?"

"Kamu kenapa? Kamu pilek? Kamu sakit, Nang?"

"Yah."

Cara Nanang bicara membuat laki-laki itu semakin cemas. Apalagi ketika Nanang terisak dan meminta maaf atas segala kesalahannya.

"Ya Allah. Nak, istighfar kamu, Nak. Kenapa kamu?! Jangan aneh-aneh, Naak! Istighfar kamu! Istighfar!

Begitu sulit untuk tenang sementara nafas berat menanggung rasa. Ingin dikatakannya jika ia begitu merindukan laki-laki itu.

Nanang setelah lega kemudian mencari alibi yang paling masuk akal soal tangisnya tadi dengan mengaku soal nilai UAS yang berantakan. Lalu mereka berbincang dengan waktu yang lama.  Nanang  bersikeras ingin mendengar cerita apapun sementara laki-laki itu sudah berkali-kali ingin menyudahi pembicaraan.

***