Kaskus

News

erryqueryAvatar border
TS
erryquery
Kematian Jamal Khashoggi Soroti Perselisihan Islam Ottoman-Arab Saudi
Dugaan pembunuhan wartawan, dan akibatnya, adalah pertempuran terbaru dari 300 tahun perang atas Islam Sunni. Hilangnya Jamal Khashoggi setelah memasuki Konsulat Arab Saudi di Turki telah menegaskan kembali perselisihan di antara republik dan kerajaan ini. Turki dan Saudi, Sunni dan Wahabi.

Oleh: Mustafa Akyol (Foreign Policy)

Penculikan, dan kemungkinan pembunuhan, dari jurnalis Arab Saudi terkemuka Jamal Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul pada 2 Oktober mengungkap despotisme buruk di belakang citra reformis putra mahkota kerajaan, Mohammed bin Salman. Namun, yang luput dari perhatian adalah cara skandal ini mengungkap persaingan yang sudah berlangsung lama antara kedua negara yang secara langsung pernah berperang: Turki dan Arab Saudi.

Spoiler for Kasus Jamal Khashoggi:



Landasan keretakan terletak pada versi-versi Islam Sunni yang berbeda-beda di negara-negara itu—versi-versi yang telah berevolusi dalam lintasan sejarah yang sangat berbeda dan yang telah menghasilkan pandangan yang kontras tentang Timur Tengah kontemporer. Jika krisis saat ini memaksa dunia non-Muslim untuk memilih di antara versi-versi agama ini, keputusannya seharusnya mudah. Keduanya memiliki kekurangan, tetapi berdasarkan tindakan mereka di masa lalu dan gagasan mereka untuk masa depan, hanya satu dari mereka yang layak mendapat dukungan internasional.

Ini adalah kisah abad ke-18. Dulu, sebagian besar dari yang saat ini disebut “Timur Tengah”, termasuk bagian yang lebih layak huni dari Semenanjung Arab, adalah bagian dari Kekaisaran Ottoman, yang diperintah dari Istanbul, yang dulu disebut Konstantinopel, oleh elit kosmopolitan terutama orang-orang Turki dan Balkan, termasuk orang Bosnia dan Albania. Hijaz, wilayah barat Semenanjung Arab yang mencakup kota-kota suci Mekah dan Madinah, dihormati karena alasan agama, tetapi itu adalah daerah terpencil tanpa makna politik atau budaya.

Pada tahun 1740-an, di daerah pusat paling terpencil di Semenanjung Arab, yang disebut Najd, seorang sarjana bernama Muhammad ibn Abd al-Wahhab muncul dengan tuntutan keras untuk pemulihan “Islam yang sejati.” Dia telah menghidupkan kembali Hanbalisme, yang paling dogmatis dari empat ajaran utama Sunni, dengan semangat untuk meninggalkan dan menyerang Muslim yang “murtad”, termasuk Syiah dan sesama Sunni seperti Ottoman. Ottoman ini salah karena adanya berbagai “inovasi” dalam agama—sebuah istilah yang sama dengan “klenik” dalam agama Kristen—seperti mistisisme Sufi dan pemujaan tempat-tempat suci.

Wahhab segera bersekutu dengan seorang kepala suku bernama Ibn Saud—pendiri dinasti Arab Saudi. Negara Arab Saudi Pertama yang mereka dirikan tumbuh dalam ukuran dan ambisi, yang mengarah pada pembantaian besar terhadap kaum Syiah di Karbala pada tahun 1801 dan pendudukan Mekah pada tahun 1803. Ottoman menghancurkan pemberontakan Wahhabi pada tahun 1812 melalui protektorat mereka di Mesir, dan Wahhabisme mundur ke gurun pasir.

Kegaduhan lain di Hijaz terjadi pada 1856 ketika Ottoman, berkat pengaruh sekutu Inggris mereka, memperkenalkan “inovasi” sesat lain: pelarangan perdagangan budak, yang dulu menjadi bisnis menguntungkan di pantai Afrika dan kota Arab Jeddah. Atas tuntutan para pedagang budak yang marah, Grand Sharif Abd al-Muttalib dari Mekah menyatakan bahwa orang Turki telah menjadi kafir dan tidak dilarang untuk membunuh mereka.

Seperti yang kita pelajari dari catatan sejarah negarawan Ottoman Ahmed Cevdet Pasha, dosa Turki termasuk “memungkinkan perempuan untuk membuka tubuh mereka, untuk tetap terpisah dari ayah atau suami mereka, dan memiliki hak untuk bercerai.”

Ini adalah perubahan yang diperkenalkan selama Tanzimat, gerakan reformasi Ottoman besar pada pertengahan abad ke-19 di mana kekaisaran itu mengimpor banyak institusi dan norma Barat. Tanzimat memungkinkan Kekaisaran Ottoman untuk akhirnya menjadi monarki konstitusional dengan parlemen terpilih—sesuatu yang masih tak terbayangkan dalam monarki absolut Arab Saudi.

Ini juga memungkinkan munculnya Republik Turki modern, di mana hukum sekuler menjadi norma, perempuan memperoleh hak yang sama, dan demokrasi mulai tumbuh.

Saat ini, diakui, kita berada pada titik yang sangat suram dalam demokrasi Turki, sebagai reaksi keagamaan terhadap sekularisme berlebihan gaya Prancis yang telah dibungkam oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk mendukung populisme yang sangat otoriter. “Model Turki” yang diwakili oleh partai Erdogan pada awal abad ini merupakan inspirasi bagi banyak Muslim, termasuk saya sendiri, sebagai sintesis Islam dengan demokrasi liberal.

Namun, dalam lima tahun terakhir, model ini telah runtuh secara dramatis, ketika Turki memenjarakan jurnalis, menumpas lawan, kebencian, paranoia, dan kultus kepribadian baru yang saya sebut “Erdoganisme.”

Namun Erdogan dan rekan-rekannya sesama Islamis masih menganut Islam Turki—yaitu, dibandingkan dengan elit Arab Saudi, mereka masih beroperasi dalam kerangka yang lebih modern yang mencerminkan interpretasi yang lebih ringan terhadap Islam Sunni. Dan ini menyoroti dua perselisihan politik utama yang muncul antara Turki dan Arab Saudi.

Yang pertama ini menyangkut Iran. Orang-orang Arab Saudi adalah pendukung dari front Sunni yang bersatu melawan Iran, yang memiliki kebencian terhadap rawafid, sebuah istilah hinaan untuk menyebut kaum Syiah, yang sangat tertanam dalam Wahabisme. Dan sementara militansi ini mungkin terdengar seperti musik untuk para elang di Amerika Serikat dan Israel, yang ingin mengucilkan Iran karena kepentingan mereka sendiri, telah meningkatkan sektarianisme beracun di kawasan itu, dengan contoh utamanya perang saudara di Yaman.

Sebaliknya, meskipun bertentangan dengan Iran selama bertahun-tahun selama perang sipil Suriah, Turki tidak mengecam Iran sebagai musuh, apalagi memicu pandangan anti-Syiah. “Agama saya bukan Sunni atau Syiah,” Erdogan telah berulang kali mengatakan . “Agama saya adalah Islam.” Ini adalah pendekatan yang tepat di wilayah yang tidak membutuhkan lebih banyak sektarianisme itu.

Erdogan percaya bahwa cara terbaik untuk menjinakkan pengaruh destabilisasi Iran adalah melalui diplomasi, seperti yang mantan Presiden AS Barack Obama lakukan, bukannya ancaman dan agresi.

Perselisihan kedua antara Turki dan Arab Saudi adalah soal Ikhwanul Muslimin, partai politik Islam utama di Mesir yang memiliki cabang di seluruh wilayah itu. Arab Saudi mengecam Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris dan mendukung kudeta militer brutal di Mesir untuk menentangnya pada tahun 2013. Turki, di sisi lain, mengecam kudeta itu dan mendukung Ikhwanul Muslimin, menjadikan Istanbul sebagai ibukota baru para pembangkang Arab, terutama mereka yang bersekutu dengan Ikhwanul Muslimin.

Sangat penting untuk memahami kontur dari sengketa ini. Ikhwanul Muslimin, sebuah partai politik yang tujuan utamanya adalah untuk memperkenalkan syariah, atau hukum Islam, dapat menjadi perhatian yang sah bagi orang Arab sekuler. Arab Saudi, bagaimanapun juga, telah menerapkan bentuk syariah yang paling kaku dan juga mempromosikan gerakan Salafi di sekitar wilayah itu, yang lebih regresif daripada Ikhwanul Muslimin dalam isu-isu seperti hak-hak perempuan.

Perhatian nyata Arab Saudi dengan Ikhwanul Muslimin bersifat politis—bahwa gerakan Islamis populer yang tidak mengakui otoritas absolut penguasa dianggap subversif. Jadi, mereka harus dihancurkan dengan kekerasan—sebuah argumen yang sekali lagi masuk akal untuk para elang di Barat, demi kepentingan mereka sendiri.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa hal yang menciptakan cabang teroris Ikhwanul Muslimin adalah represi kerasnya oleh para tiran Arab. Seperti yang dikemukakan ahli seperti Shadi Hamid, “normalisasi partai-partai Islam” sebenarnya adalah satu-satunya cara untuk membangun demokrasi Arab.

Para Islamis Turki yang kini mendukung Erdogan, yang telah lama terbiasa dengan demokrasi elektoral, benar dalam membuat argumen yang sama. Namun mereka juga perlu melihat bahwa demokrasi hampir tidak berarti apa-apa jika masih ada tirani mayoritas, yang tampaknya merupakan pendekatan Turki saat ini. Untuk membuat kemajuan di Turki, mereka harus meniru model Tunisia yang jauh lebih cemerlang, di mana kaum Islamis dan sekularis mampu membentuk konstitusi liberal bersama.

Sementara itu, model reformasi yang sesuai untuk Arab Saudi datang dari monarki konstitusional di wilayah itu, seperti Yordania dan Maroko, yang lebih bebas daripada kebanyakan negara Arab lainnya. Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman, yang tampaknya telah mencoba untuk menebar pesonanya ke Barat dengan reformasi populernya seperti mengizinkan perempuan untuk mengendarai mobil, harus memahami bahwa modernitas bukan hanya tentang perubahan sosial kosmetik, tetapi juga tentang ukuran kebebasan politik. Dan itu berarti tidak dengan sembrono membunuh pengkritik Anda.

Baca Sumber 

emoticon-Toast
anasabilaAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan anasabila memberi reputasi
2
1.1K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar Negeri
KASKUS Official
80.6KThread14.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.