Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • Buku
  • [COCBuku] Review Buku Glonggong - Junaedi Setiyono #AslinyaLo

soloclickerAvatar border
TS
soloclicker
[COCBuku] Review Buku Glonggong - Junaedi Setiyono #AslinyaLo


Judul: Glonggong

Penulis: Junaedi Setiyono

Penerbit: Serambi

Tebal: 293 hlm.

Tahun: 2007, C1

ISBN: 978-979-1275-48-4




"Nama Glonggong itu kusandang lebih dari dua puluh tahun. Selama itu, nasibku memang tak jauh-jauh amat dengan tangkai daun pepaya itu."

Ngayogyakarta Hadiningrat adalah latar tempatnya. Perang Jawa adalah latar konfliknya. Namun, bukan Pangeran Dipanegara tokoh utamanya. Melainkan Glonggong, bukan nama sebenarnya, seorang darah biru, priyayi yang tak pernah nyaman dengan kedudukan sosialnya itu. Dalam menjalani kehidupan ia teguh pada prinsip, kejujuran, kesederhanaan, dan kesederajatan dalam berkawan, serta kesetiaan pada junjungan hatinya, Ibu.

Novel ini beralur maju, satu babak roman berbentuk otobiografi yang Glonggong dedikasikan bagi sahabat Belandanya, Hendrik. Sepertiga awal buku, cerita dimotori oleh keadaan hubungan Glonggong dengan keluarganya, dan Ibu adalah sorotan utama. Keterasingannya pada sosok Ibu yang lebih banyak tenggelam dalam dunianya sendiri dan kesepian hatinya sebagai bocah terobati oleh benda bernama glonggong yang telah akrab dimainkannya sejak kecil, kawan-kawan yang merupakan golongan kawula tidak ia pandang rendah, justru ia nyaman dan merasa satu dengan mereka. Kemahiran bermain pedang glonggong kelak menghantarkan ia pada perjalanan panjang di tengah belantara Perang Jawa. 

Kemalangan pilin berpilin yang kemudian dialami oleh Glonggong dan Ibu serta kesetiaan seorang anak lelaki terhadap Ibunya hingga maut menjemput menjadi penutup dari sepertiga awal buku. Berikutnya, cerita dimotori berturut-turut oleh kemalangan Glonggong yang belum juga surut serta usahanya dalam mencari keberadaan Ayah dan kedua kakaknya yang berakhir tragis.

Sepertiga akhir buku, Glonggong menentukan jatidirinya. Menjadi bagian dari laskar Dipanegaran, menjalankan setiap misi dengan sebaik-baiknya meski pada misi yang kesekian ia mesti mengalami kegagalan. Adalah suratan takdir, di mana kegagalan ini rupanya adalah cara Tuhan membawa Glonggong pada banyak persinggahan yang akan mendamaikan ia dengan masa lalunya, dengan kenangan masa kecilnya yang mengambang, dan konflik dengan musuh bebuyutannya yang belum berpenyelesaian. Selain itu, ia dihadapkan pula satu kenyataan pahit, bahwa pendukung Dipanegara telah banyak berpindah haluan, dan laskar Dipanegaran itu kini serta Perang Jawa ini telah mendekati akhir.

Berbicara mengenai novel sejarah, keakuratan historiografi adalah tolok ukurnya, namun novel ini memang tidak ingin berbicara dalam skala besar. Tidak banyak detil mengenai Perang Jawa 1825-1830 atau paling tidak gambaran besar kisruh internal Keraton. Karena memang pusat cerita ada pada tokoh Glonggong dan kehidupannya. Yang mana, hal ini juga merupakan satu kekurangan tersendiri. Bagi pembaca yang masih awam mengenai sejarah tentu akan sedikit kesulitan mengikuti secara kronik mengenai muasal pecahnya perang atau esensi mengapa perang ini mesti terjadi selain daripada pengertian umum, yaitu mengusir Belanda dari tanah Jawa.

Adapun, kearifan lokal Jawa yang membalut novel ini dapat dengan mudah dipahami konteksnya dengan percontohan kejadian ataupun ia diposisikan sebagai subjudul pada bab yang bersangkutan. Pula, kerohanian Islam yang tidak sedikit bersliweran mengisyaratkan aneka ragam pandangan hidup adalah sebuah keniscayaan dalam suatu masyarakat. Meskipun untuk mencapai keutuhan pandangan itu sendiri mesti melalui lika-liku yang tak sedikit. Juga tak kalah menarik adalah tangkai daun pepaya bernama glonggong yang menjadi senjata dan nama panggilan tokoh utama, tidak dimaksudkan untuk membunuh lawan sehingga membuatnya lincah dan bebas dalam bertarung, alam pikirnya tak diisi dengan nafsu mengalahkan. Dengannya Glonggong menikmati setiap pertarungan.

Kelebihan lain novel ini adalah, gambaran pergolakan yang terjadi pada para bangsawan dalam menentukan sikap dan kubu. Memilih berpihak pada Keraton yang telah bersama Belanda atau berspekulasi menyambut ratu adil baru, yang keputusan akhirnya disulam oleh sifat dasar manusia yang tak mau merugi. Glonggong, bermodal tekad dan semangat menjadi satu pion kecil dalam pusaran politik yang hampir membangkrutkan Belanda itu.

"Aku hanya bisa memandang dari jauh roda kereta yang berderak dan kaki kuda yang berlari berderap, membawa pergi Kanjeng Sultan Ngabdulkamid."



Rating: 4/5
Diubah oleh soloclicker 28-09-2018 08:20
0
990
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.