purwosoeAvatar border
TS
purwosoe
Pasca Reformasi, Pilkada 2018 Menjadi yang Paling Buruk

Oleh: Pradipa Yoedhanegara, Pengamat Sosial
Kontestasi politik dalam Pilkada serentak 2018 baru saja usai dilaksanakan kemarin, sejumlah lembaga survei politik sudah merilis secara resmi penghitungan suaranya, dengan memunculkan beberapa pemenang dalam kontestasi politik tersebut. Meski pengumuman secara resmi oleh KPU didaerah masing-masing belum diumumkan.

Sejak awal pendaftaran akan dilaksanakannya pilkada serentak di tahun 2018 ini, banyak dinamika politik terjadi di tingkat elite politik lokal hingga di tingkat elit politik nasional. Karena tampaknya, “Koalisi Politik pada pilkada 2018, lebih mirip dengan Kongsi dagang”.

Kelamin politik menjadi tidak jelas dan terlihat semakin abu-abu, manakala oposisi di sejumlah daerah, “malah terkesan main sabun dengan partai politik penguasa”, untuk memenangkan calon yang akan diusung dalam sejumlah kontestasi politik di banyak daerah.

Ibaratnya ini bentuk “Koalisi atau Kongsi Dagang Sapi”?? susah sekali untuk ditebaknya, karena tidak ada rumusan atau metodelogi yang jelas dinegeri ini, antara partai oposisi dan partai pendukung rezim dalam merumuskan kebijakan pilkada serentak. Untuk itu sebaiknya Oposisi pemerintah memperjelas kelamin politiknya ditahun politik ini, untuk tetap menjadi pihak oposisi atau menjadi pendukung rezim saat ini, agar tidak ada kesan abu-abu dimata publik.

Pilkada 2018 secara pribadi bisa saya bilang, “menjadi yang terburuk sepanjang perjalanan sejarah pemilu di masa reformasi”. Karena sejak awal ada banyak manuver intelijen dan instrumen negara yang sengaja digerakan oleh pemerintah pusat untuk memenangkan calon pilihan istana atau yang sudah mendapat restu dari pihak istana.

Dalam hal ini oposisi rezim tampaknya kecolongan, karena tidak mau belajar dari kesalahan pilpres 2014 dan pilkada-pilkada sebelumnya. Dalam politik itu memang tidak ada kawan ataupun lawan yang abadi, yang ada hanyalah persoalan kepentingan. Namun yang jadi pertanyaan kepentingan siapa yang sedang dibela oleh Oposisi saat ini, yang terkesan main sabun dengan partai penguasa disejumlah daerah? Benar kepentingan rakyat atau kepentingan penguasa yang memiliki syahwat untuk tetap berkuasa di 2019 nanti.

Pada pilkada 2018 ini perlahan tapi pasti, tembok hegemoni partai penguasa mulai terlihat rapuh dan hampir runtuh disejumlah daerah. Untuk itu pihak oposisi harus bisa secepatnya mempertegas sikap dan kelamin politik pasca pelaksanaan pilkada serentak ini, “supaya tidak lagi bermain di wilayah Grey Area”. Hal ini dilakukan agar mesin politik tetap memanas menjelang pileg dan pilpres pada bulan april 2019 mendatang.

Sangat penting untuk disikapi oleh pihak oposisi adalah, Pilkada 2018 ini bukanlah akhir dari perjuangan, tapi ini merupakan babak kualifilasi untuk menuju babak final dalam pileg dan pilpres 2019. Oposisi rezim harus mampu menjadikan pilkada 2018 ini sebagai ajang konsolidasi keseluruh akar rumput dan juga bahan evaluasi, agar cita-cita pergantian rezim di 2019 dapat terealisasi dengan baik.
Disejumlah daerah dalam pilkada 2018 partai penguasa (PDIP) kalah dan bertekuk lutut di hampir 75% daerah wilayah pemilihan secara nasional. Padahal mereka sudah menggerakkan seluruh instrumen kekuasaan, memainkan dan menggiring opini media, serta mungkin saja telah menggelontorkan dana yang tak terbatas untuk memenangkan calon kepala daerah yang di usungnya.

Partai penguasa tampaknya sedang dihukum oleh publik, dan di sini saya melihat ada semacam optimisme publik untuk mengganti rezim pada 2019 nanti. Berkaca pada pilkada jateng yang notabene adalah kandang banteng, Oposisi dengan Sudirman Said’nya yang baru turun kurang dari 6 bulan pasca penetapan calon oleh KPUD, berhasil meraih hampir 45% suara di jawa tengah.

Di Jawa Barat pemerintah pusat terlihat galau menghadapi oposisi, malah harus main dengan banyak kaki agar bisa tetap mengamankan daerah tersebut pada 2019 mendatang. Karena dari empat calon yang bertarung pasangan ASYIK yang punya jargon 2019 Ganti Presiden ini, memperoleh suara yang sangat signifikan dan diluar dugaan banyak pihak. Hal tersebut bisa menjadi modal awal untuk pergantian rezim di 2019.

Bahkan didaerah yang menjadi basis kekuasaan partai penguasa seperti kalbar, kaltim, sumut dan sejumlah daerah lainnya partai penguasa tidak bisa banyak bicara. Suara mereka tergerus habis, khusus untuk sumut malah partai penguasa harus mengimpor calon gubernurnya dari pulau jawa untuk bertarung dalam pilgub sumut tersebut, yang pada akhirnya harus menelan pil pahit karena kalah dalam pilgub sumut.

Secara pribadi, pilkada 2018 ini terbilang paling buruk, karena sejak awal masih banyak jutaan DPT bermasalah disejumlah daerah, kemudian masifnya fitnah dan kampanye hitam terhadap calon yang di usung oleh oposisi, hingga banyaknya kertas suara yang sudah di coblos untuk memenagkan kandidat tertentu di Jawa Tengah, maraknya bagi-bagi sembako dan money politik di Sumut, sampai beredarnya video seoarang anggota KPPS yang memerintahkan mencoblos pasangan tertentu di Jawa Barat, “hingga persoalan netralitas aparat dan pemerintah pusat”.

Meski Pilkada 2018 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah pasca reformasi, namun secara pribadi saya ingin mengapresiasi para kandidat yang diusung oleh pihak oposisi. Sebab “mereka bukanlah kandidat yang memiliki masalah hukum seperti banyaknya kandidat partai politik lainnya”, yang tetap maju meski punya masalah hukum.

Ini point penting kemenangan Oposisi, yang sampai hari ini; “tetap mencalonkan orang yang memiliki integritas dan kompetensi untuk memimpin sebuah daerah dan berkompetisi disemua pilkada”. Yang jelas dalam pilkada kemarin, pihak yang menang dalam pilkada tidak menjadi pihak yang di muliakan, dan begitu juga pihak yang kalah tidak menjadi hina.
Mungkin terlalu premature untuk menyimpulkan pilkada 2018 ini, sebagai ajang pertaruhan dalam kontestasi pilpres di 2019 antara kelompok pro pemerintah vs oposisi. Tapi kesan yang yang terjadi di masyarakat, Pilkada 2018 merupakan bentuk perlawanan terhadap rezim yang berkuasa saat ini, yang banyak melakukan pengingkaran terhadap janji kampanye pada Pilpres 2014.

Sebagai pesan penutup, sebaiknya pihak oposisi untuk terus menghidupkan mesin-mesin politik, hingga masa pileg dan pilpres 2019 selesai. Karena respon terhadap pergantian rezim yang didengungkan kesejumlah daerah, tampaknya telah berhasil membuat calon-calon yang diusung oposisi meningkat perolehan suaranya secara signifikan. Dengan terus menghidupkan mesin politik dan relawan, maka 2019 Ganti Presiden akan menjadi kenyataan dan bukan sekedar wacana belaka.

Sumber : ObsessionNews.com


Baca juga artikel :
Spoiler for Politik di Era Digital:

Diubah oleh purwosoe 04-07-2018 06:15
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
2.2K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.6KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.