Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lanank.jagadAvatar border
TS
lanank.jagad
Meneropong Orbit 123 Derajat Bujur Timur
Tiga tahun lalu, ketika satelit milik Indonesia Garuda-1 bergeser dari orbit 123 BT (derajat bujur timur), Indonesia sudah menyadari risikonya. Negeri ini bisa kehilangan orbit tersebut.

Posisi satelit milik Asia Cellular Satellite yang dikelola oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) itu sangat strategis, berada di atas garis khatulistiwa.

Selain berguna bagi sistem pertahanan dan keamanan, slot orbit satelit Garuda-1 bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih luas, misalnya telekomunikasi.

Awal Desember 2015, Presiden Jokowi memerintahkan untuk mengambil alih slot tersebut, supaya tidak diisi negara lain. Indonesia masih punya waktu, karena masa pengelolaan slot orbit yang diberikan ITU (International Telecommunication Union) tersebut habis pada 2017.

Satelit pengganti pun dipersiapkan. Satelit militer dari Airbus Defence and Space (ADS) Menjadi pilihan. ADS terpilih setelah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI melakukan tender yang diikuti oleh Orbital Sciences Corp dari Amerika Serikat, Loral Space Systems, dan produser satelit dari Rusia.

Nilai proyek satelit ADS ini lebih dari 500 juta dolar AS. Harga itu belum termasuk biaya peluncuran dan asuransi yang totalnya bisa mencapai sekitar US $300 juta dolar AS. Total jenderal, proyek bisa mencapai 1 miliar dolar AS, atau sekitar Rp13 triliun.

Mencermati kepentingan nasional keberadaan satelit ini dinilai sebagai kebutuhan mendesak. Kemkominfo selaku administrator telekomunikasi, kebagian tugas menginformasikan penujukkan ADS ke ITU. Dan itu sudah dilakukan.

Selanjutnya Kemkominfo telah menunjuk Kemhan sebagai operator satelit ini. Dalam Proyeksi dan Kegiatan Kemhan Tahun 2016, disebutkan bahwa komponen paket satelit militer Indonesia terdiri dari satu unit satelit geostationer (GSO) dan tiga unit satelit non geostationer (NGSO).

Rencananya, satelit komunikasi militer ini akan beroperasi di ketinggian 36.000 Km, beroperasi di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-. Karena sifatnya geostationer yang standby di atas langit nusantara, fungsi utama satelit ini sebagai penunjang peran komunikasi. Satelit ini siap melayani kebutuhan akses selama 24 jam dalam kurun waktu 15 tahun.

Satelit geostationer ini dipersipkan untuk mengisi slot orbit East Asian Geo 123 BT. Pola operasinya mengikuti orbit di Bumi. Dalam 24 jam, satelit berputar 14 kali di seluruh Indonesia (melingkar dekat katulistiwa).

Bila sesuai jadwal, ADS akan merampungkan proyek ini pada akhir tahun 2018. Selanjutnya kebutuhan roket peluncur baru disiapkan. Pada 2019, satelit ini harus sudah mengorbit.

Segala sesuatunya seperti sudah dipersiapkan dengan matang. Kemenhan menuturkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016-2017 telah dianggarkan sekitar Rp1,3 triliun untuk uang muka pembelian satelit tersebut.

Benarkah proyek ini berjalan sesuai rencana? Ternyata tidak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, Kemenhan terkesan mengajukan rencana pembelian satelit militer itu secara mendadak. Penjelasan dan kelengkapan yang seharusnya disiapkan untuk melakukan proses pengadaan barang dan jasa belum ada.

Hal serupa disampaikan oleh Komisi I DPR. Ihwal satelit itu ternyata hanya sepintas dibahas di DPR. Perwakilan rakyat hanya tahu ada kendala dalam pengadaan satelit militer tersebut. Namun, apakah proyek tersebut tetap dilanjutkan atau dihentikan, tidak ada yang tahu.

Kepastian bahwa proyek itu dibatalkan datang dari ADS. Sesuai informasi yang diterima Kompas.id, ADS menyatakan, kontrak dibatalkan karena Indonesia tak kunjung bayar uang muka.

Bagaimana nasib orbit 123 BT selanjutnya? Ternyata Kemenhan telah melibatkan penyedia solusi data dan komunikasi data satelit, Avanti Communications Group (ACG), untuk mengatasi hal itu.

ACG lalu memindahkan satelit Advanced Relay and Technology Mission atau Artemis miliknya, sebagai satelit 'floater sementara ke dalam slot orbit 123 BT. Artemis resmi menggantikan Garuda-1.

Perjanjian sewa satelit tersebut, secara paralel dibarengi dengan pemasangan antena stabilised parabolic Ku-band dengan kubah radar, dan sistem komunikasi satelit (SATCOM) di empat kapal perang landing platform dock, Diponegoro Class (SIGMA) dan Bung Tomo Class.

Sudah selesaikah pengamanan orbit 123 BT? Ternyata belum. Avanti malah melayangkan gugatan kepada pemerintah Indonesia. Gugatan yang diajukan lewat London International Court of Arbitration pada Agustus 2017 itu, menyebutkan Indonesia melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa kontrak Artemis.

Avanti menutut Indonesia membayar ganti rugi senilai 16,80 juta dolar AS. Jumlah ini senilai kekurangan pembayaran sewa kontrak yang disepakati yaitu 30 juta dolar AS, atau sekitar Rp405 miliar. Pemerintah baru membayar sebesar 13,20 juta dolar AS.

Kenapa pemerintah mangkir untuk membayar kekurangan kontrak tersebut. Tidak ada informasi yang jelas. Yang pasti, Kementerian Keuangan tak bisa mencairkan anggaran untuk pembiayaan tersebut.

Berbagai media menyebut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah melakukan kajian pada tahun lalu. Hasilnya, penggunaan satelit tersebut dinilai tak memadai sehingga berujung pada masalah administrasi.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak membantah soal gugatan ini. Ia menyatakan saat ini pemerintah dalam tahap menyelesaikan gugatan tersebut, secara nonyudisial.

Batalnya pembelian satelit ADS dan gagal bayar sewa Avanti, sesungguhnya tidak melulu persoalan uang. Ada perencanaan strategis yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Ada pula unsur wibawa pemerintah yang tercoreng akibat gugatan tersebut.

Bila benar orbit 123 BT sangat strategis untuk keamanan nasional, Kemenhan selayaknya bisa memberikan alasan kuat bahwa pengganti satelit Garuda-1 adalah sebuah keharusan dengan segala ongkos yang harus ditanggung, dalam rencana strategis yang memadai.

Kemenhan juga mesti melakukan koordinasi antar-kementerian dan lembaga yang lebih baik, agar perencanaan belanja Kemenhan dianggap layak.

Cara nonyudisial yang ditempuh Kemenhan untuk menyelesaikan gugatan Avanti saat ini, bisa saja membuahkan hasil, mengingat Avanti saat ini tengah mengalami kesulitan keuangan yang serius.

Kalaupun kasus dengan Avanti bisa diselesaikan, sepertinya tidak banyak membantu pemerintah Indonesia untuk mempertahankan slot orbit 123 BT. Sebab, ITU memberikan batas waktu, bila sampai Januari 2018, slot tersebut tidak terisi, Indonesia akan kehilangan slot orbit 123 BT ini.


Sumber

Satelite berhenti beroperasi 2015, seharusnya sudah di antisipasi sejak awal, karena masa beroperasi satelit adalah 15 tahun sejak satelit diluncurkan tahun 2000.

Dan membangun satelit itu memerlukan waktu ±3 tahun.

Seharusnya 2 tahun atau 3 tahun sebelum 2015 pemerintah sudah memikirkan bahkan mengerjakan soal satelit pengganti tsb.
0
1.1K
10
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.