Keberagaman itu indah, let’s Rock dan teruslah menggelinding ( ̄¬ ̄)
TS
babygani86
Keberagaman itu indah, let’s Rock dan teruslah menggelinding ( ̄¬ ̄)
Rock adalah produk dialog antar budaya. Musik kaum putih Amerika berpadu dengan musik Afro-Amerika dan ditambah musik pengiring tarian rakyat Irlandia yang sangat melodius.
Quote:
Secara umum, 46,2 persen responden yang tinggal di Jakarta, Bandung, Denpasar, Surabaya, Tangerang, dan Yogyakarta menyukai jenis musik pop barat. Lalu diikuti pop Indonesia (26 persen). Apakah rock di peringkat 3? Ternyata tidak. Ia masih kalah dari K-pop (8,7 persen). Sedangkan musik rock hanya disukai 7,4 persen. Berdasarkan jenis kelamin, musik rock disukai oleh responden laki-laki. Itu pun hanya di peringkat tiga (14 persen) setelah pop barat (38,3 persen) dan pop Indonesia (26,1 persen).
Banyak yang tidak menggemari musik rock. Alasannya beragam: dianggap membosankan hingga berisik di kuping. Orang lebih menyukai Payung Teduh, Banda Neira, dan Marcel. Putu menyukai HiVi, Isyana, dan Gac. Sedangkan Titi menyukai Tulus, Raisa, dan Westlife. Kenapa sih semua orang terobsesi dengan matinya rock n' roll? Kekesalan macam itu wajar, terutama bagi para penggemar musik rock. Sudah sejak lama genre ini disebut akan mati. Tapi ternyata ia tak mati-mati. Tak pernah benar-benar hilang. Mungkin istilah yang tepat: mati suri berkali-kali, bangkit berulang kali.
Quote:
Mungkin rock memang tidak mati, tapi ia menua. Penulis seperti Bill Flanagan, Sam Leith, atau Carl Wilson, berulang kali menekankan bahwa rock hanya dinikmati oleh orang-orang tua. Leith bahkan dengan jenaka menyebut gig Sonic Youth, Half Man Half Biscuit, atau Mogwai, berisi banyak orang setengah tua dengan hoodie dan wajah seperti kentang panggang. Kita bisa menggambarkan situasi yang sama dalam konser-konser bintang rock, terutama mereka yang berasal dari era 70-an. Konser U2, Kiss, Skid Row, Bon Jovi, sampai Guns N' Roses, isinya kebanyakan adalah, menyitir Leith, orang-orang setengah tua dengan baju hitam dan wajah berseri atas nostalgia.
Dan asal kita ketahui saja bahwa di tahun 1950-an di Eropa, khususnya di Belanda, dikenal istilah Indo-Rock, Indonesia Rock, dan itu yang membawakannya adalah Tillman Brothers, 4 orang bersaudara, Andi Regi Ponton dan Lulu, yang ayahnya adalah Herman Tillman adalah orang Kupang dari Indonesia, dan dia dianggap grup Rock yang jauh lebih dahulu dibanding the Beatles sekalipun. Dan Andi adalah orang pertama yang memainkan gitar dengan menggunakan gigi, dengan memainkan gitar di belakang kepala atau di belakang badan, jauh sebelum Jimmi Hendrix, Jimmi Page, dan Ritchie Blackmore. Jadi Rock bukan barang asing di Indonesia, jika dibuka ruang dialog, Rock akan kembali jaya di Indonesia.
Quote:
Di era musik modern, nama-nama seperti Netral, Boomerang, Superman Is Dead, Koil, Burgerkill, Kotak, J-Rocks atau Andra and the Backbone menjadi grup band yang konsisten menghasilkan lagu rock Indonesia hits. Baik itu lagu hard rock maupun lagu slow rock Indonesia, musik rock jadi kian berkembang dari tahun ke tahun. Sebagian bahkan mampu menyarangkan hingga di atas lima album selama masa bakti di belantara musik. Hal ini tergolong cukup konsisten dan produktif, mengingat di industri musik nusantara tak banyak band yang mampu menjaga eksistensi, yang ada hanya lalu lalang di perorbitan kancah, hingga pada akhirnya mereka yang terlibat memutuskan untuk bubar di tengah jalan. Keberadaan mereka pun dianggap hanya ikut meramaikan gegap gempita di kancah musik lokal.
Koes Plus, band legendaris asal tanah Tuban, Jawa Timur ini tak hanya disegani di lanskap musik nusantara, melainkan produktivitas mereka dalam berkarya musik. Tak tanggung-tanggung mereka pernah mencatatkan rekor fantastis di Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan menorehkan jumlah sebanyak 953 lagu dalam 89 rilisan selama rentang waktu 1962-1987 (era Tonny Koeswoyo). Selepas kematian Tonny, Koes Plus pun tak berhenti berkarya dan konsisten dalam menelurkan karya-karya terbaru. Hingga kini, Koes Plus telah melesakkan lebih dari 1000 lagu dalam 100 album berbeda. Di Indonesia sendiri tak ada satu pun kelompok musik yang mampu melampaui torehan Koeswoyo bersaudara dalam urusan berkarya musik. Band yang terpengaruh oleh The Beatles itu telah melepaskan serangkaian album-album penting seperti Dheg Dheg Plas (1969), To The So Called the Guilties (1967) hingga Volume 2 (1970). Dan tentunya deretan single populer semacam “Pelangi”, “Bujangan”, “Andaikan Kau Datang”, “Kolam Susu” dan “Kisah Sedih di Hari Minggu”.
Keberagaman itu indah, selera beragam itu indah, jangan paksakan untuk seragam, jika kita masih ingin melihat indahnya pelangi, warna warni pelangi musik Indonesia. Jadi let’s Rock dan teruslah menggelinding.