Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Sumarsih Sediakan Tumpeng di Setiap Hari Ulang Tahun Wawan
 Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan kelahiran Jakarta, 15 Mei 1978, adalah anak sulung dari pasangan Maria Catarina Sumarsih dan Arief Priyadi. Pemuda pemberani ini adalah salah satu dari 17 korban yang ditembak mati dalam peristiwa Tragedi Semanggi I, Jumat, 13 November 1998.
Setelah 20 tahun reformasi bergulir, cerita tragedi kemanusiaan  yang tak kunjung tuntas ini, dituturkan kembali oleh Ibunda Wawan, Sumarsih kepada reporter law-justice.co Hartanto Ardi Saputra dan Januardi Husin di rumahnya yang teduh di kawasan Jakarta Barat. Berikut kisahnya:
 “Anak saya Wawan itu, hobinya membaca buku,” ujar Sumarsih membuka percakapan. Di ruang tamu, tampak lemari kaca berisi tumpukan buku, sebagian besar adalah buku koleksi Wawan.
Sejak kecil, Wawan mendapat julukan kutu buku. Kegemarannya membaca sudah terlihat saat masih duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar Bunda Hati Kudus, di Grogol.
“Bahkan Wawan itu kalau ke toilet bawa buku atau koran sambil baca,” kenang Sumarsih.
Dari segi pendidikan, Wawan juga termasuk murid yang berprestasi. Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di Bunda Hati Kudus, Wawan mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikan di sekolah favorit yakni di SMA Negeri 78 Jakarta Barat.
Namun ia memilih SMA Pangudiluhur Van Lith di Muntilan, Kabupaten Magelang, untuk melanjutkan pendidikannya. “Ia ingin hidup mandiri,” ujar Sumarsih.
Selama kurang lebih tiga tahun Wawan hidup di kota Muntilan, Sumarsih kerap mengunjunginya tiap akhir pekan. Ia dan ibunya memiliki cara unik untuk melepas kerinduan yaitu dengan jalan bersama mencari makanan kesukaan Wawan seperti, sate dan nasi goreng.
Tiap kali memesan makanan,  Wawan dan sang ibu hanya memesan satu porsi saja. Makan dalam sepiring berdua menjadi ritual yang menguatkan hubungan antara ibu dan anak.
Lulus SMA, Wawan  ingin melanjutkan kuliahnya di Universitas Atma Jaya di Yogyakarta. Namun Sumarsih enggan berpisah lagi dengan anaknya.
“Wan, ibu kan sudah terlalu lama jauh dari kamu, kamu kuliah di sini saja, kan di Jakarta juga ada Atma Jaya,” cerita Sumarsih. Wawan  akhirnya mendaftar dan diterima menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya di Jakarta.
Relawan Kemanusiaan yang Tidak Mau Hanya Diam di Rumah
Suasana yang kondusif di awal perkuliahannya membuat Wawan terjun ke berbagai kegiatan organisasi kampus. Selain menjadi Tim Relawan Kemanusiaan (TRK), ia juga aktif di majalah mahasiswa Warta Kampus, Forum Diskusi Ilmiah, Computer Club, hingga menjadi Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Ekonomi. Di lingkungannya, Wawan dikenal punya solidaritas yang tinggi terhadap sesama rekannya.
Wawan baru berusia 18 tahun saat jadi mahasiswa tahun 1996. Saat itu, suasana pergerakan mahasiswa masih adem ayem saja. Beberapa aksi mahasiswa belum dimobilisasi secara massal.
Namun, suasana berubah pada tahun berikutnya, ketika terjadi penculikan lima mahasiswa dan aktivis pergerakan yang sering mengkritik pemerintahan Orde Baru. Beberapa di antaranya sampai hari ini masih dinyatakan hilang. Situasi itu membuat pergerakan semakin terkonsolidasi dari berbagai daerah. Namun penculikan terus berlanjut hingga 1998.
Sebagai PNS di lingkungan sekretariat DPR RI, Sumarsih mengisahkan, saat itu mulai banyak anak-anak pejabat anggota dewan yang menolak untuk kembali memilih Golkar pada Pemilu 1998.
Mereka tidak ingin untuk terus mendukung Golkar, yang jelas-jelas sebagai mesin politik pemerintahan Orde Baru (Orba). “Padahal orang tua mereka dari fraksi Golkar,” ujarnya.
Begitu juga dengan Sumarsih. Kala itu, seorang PNS diwajibkan menjadi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia, underground Golkar. Itu artinya, ia harus sejalan dengan visi dan misi pemerintahan Orba.
“Kami dapat fasilitas tempat tinggal, walaupun dulu masih membayar lima ribu rupiah sebulan. Saya hanya berpesan kepada Wawan, harus pandai menempatkan diri, karena ibunya adalah PNS di pemerintahan.”
Saat itu, Wawan mengiyakan. Namun karena aktif di TRK, Wawan meminta izin untuk membantu mengurus urusan logistik dan perawatan para demonstran. Ia terus aktif dalam setiap unjuk rasa sebagai seorang relawan kemanusiaan.

Tragedi penembakan empat mahasiswa Trisakti yang sebelumnya terjadi, membuat Sumarsih sangat kuatir dengan nasib putranya. Terlebih lagi, sempat beredar isu bahwa Wawan termasuk dalam daftar lima orang yang ditarget oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) untuk disingkirkan. Alasannya, Wawan bertugas mendata setiap tindak kekerasan yang menimpa mahasiswa dan aktivis, termasuk korban kekerasan kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Tidak yakin dengan keselamatan anaknya, Sumarsih lalu meminta Wawan untuk menghentikan segala kegiatannya di kampus. Bahkan sempat mempertimbangkan untuk berhenti kuliah. Namun hal itu akhirnya diurungkan, karena Wawan meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja.
“Masak sih bu, Wawan enggak boleh ke kampus. Sementara teman-teman mahasiswa dari berbagai kampus, ngumpulnya di Atma Jaya. Bahkan ada yang dari luar Jakarta. Masak tuan rumah malah enak-enakkan di rumah,” ujar Sumarsih, menirukan kata-kata Wawan ketika meminta izin untuk turun ke jalan pada 13 November 1998.
Sumarsih akhirnya mengizinkan, asal hanya bertugas sebagai relawan kemanusiaan. Wawan setuju. Maka sejak pagi ia sudah berada di kampus Universitas Atma Jaya. Di rumah, Sumarsih memasak empal dan sayur asem, kesukaan Wawan. Makanan yang tidak pernah disentuhnya, karena keburu ditembak saat sedang menolong seorang rekannya.
Mencari Keadilan
Sumarsih sedang berada di rumahnya, ketika salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan berita ada korban tertembak di kampus Atma Jaya. Waktu itu waktu menunjukkan pukul 17.45.
Seorang rekan Wawan bernama Ivonne menelepon dan menanyakan keberadaan Wawan. “Wawan di kampus,” kata Sumarsih. Perasaannya was-was.
Duapuluh menit kemudian datang telepon dari Sandyawan Sumardi mengabarkan, bahwa Wawan adalah salah satu mahasiswa yang ditembak. Tangis Sumarsih pun pecah.  
Sumarsih dan Arief langsung meluncur ke Rumah Sakit Jakarta. Sesampainya di sana, mereka menemukan anaknya sudah terbujur kaku.
Keesokan harinya, Sabtu (14/11/1998), setelah prosesi misa arwah, Sumarsih dan keluarga berniat langsung menguburkan. Namun saat itu sudah banyak intel yang berkeliaran, meminta agar jenazah Wawan diautopsi. Sumarsih menolak.
Para intel itu mengatakan bahwa jenazah Wawan hanya akan bedah sedikit untuk mengambil peluru yang masih bersarang di tubuhnya. “Akhirnya saya setuju, dan jenazah Wawan dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo,” tutur Sumarsih.
Setelah di autopsi, jenazah Wawan dimandikan di RS Carolus. Di sana, Sumarsih melihat sendiri bahwa jenazah putra semata wayangnya dibedah dari tenggorokan hingga perut. Hatinya miris dan sedih.
Setelah melihat kondisi anaknya, Sumarsih bersikeras ingin mendapatkan hasil autopsi. Ia mendatangi dr. Budi Santoso yang mengautopsi Wawan.
Kepada Sumarsih dan Arief, dr. Budi mengatakan bahwa Wawan ditembak dengan peluru tajam standar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ditembak hanya dengan satu kali tembakan, tepat mengenai jantung Wawan. “Tapi dia bilang, baru pertama kali melihat jenis peluru seperti itu,” ucap Sumarsih.
Salinan hasil autopsi itu tidak diberikan kepada keluarga Wawan. Namun, Sumarsih tidak menyerah untuk mendapatkannya. Ia datang menemui Kabag Sidik Pomdam Jaya Kolonel Wempy Happan di Lenteng Agung. Wempy juga mengatakan tidak dapat memberikan, dan menyuruh keluarga Wawan untuk menemui Komanda Pomdam Jaya Hendardji Soepandji.
“Pak Hendardji bilang, hasil autopsi tidak bisa diberikan sebelum digunakan sebagai bukti di persidangan,” kata Sumarsih.
Setelah hampir putus asa, Sumarsih akhirnya mendapatkan hasil autopsi dari seorang rekan di tengah rapat dengan pendapat dengan Komisi III DPR RI dengan Pansus Trisakti-Semanggi I-Semanggi II pada 9 Juli 2001.
Berbeda dengan tragedi Trisakti dan Semanggi II, peristiwa Semanggi I sidangnya tidak  pernah kunjung digelar hingga hari ini. Tidak satu pun yang dihukum karena menghilangkan nyawa 17 orang.
Menyadari itu, Sumarsih sangat percaya bahwa penembakan mahasiswa dan aktivis yang terjadi pada masa reformasi 1998 tidak sekedar kecelakaan atau kesalahan prosedur kerja, seperti yang dikemukakan oleh Panglima ABRI kala itu, Jendral TNI Wiranto.
Sumarsih bersama keluarga korban dan jaringan aktivis HAM kemudian membentuk Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan (JSKK) pada 2005, yang tidak pernah absen melakukan aksi unjuk rasa di depan istana merdeka, Jakarta Pusat. Aksi itulah yang saat ini dikenal dengan Kamisan, karena diselenggarakan setiap hari Kamis.

Tuntutan dalam setiap aksi Kamisan adalah mendorong terealisasikannya Pengadilan HAM ad hoc, sebagaimana amanat UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kekerasan sepanjang periode reformasi, mulai dari penculikan mahasiswa dan aktivis (masih ada 13 orang yang belum ditemukan), penembakan empat mahasiswa di Universitas Trisakti, kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang menelan ratusan korban jiwa, serta peristiwa Semanggi I dan Semanggi II.
Sumarsih dan semua orang yang terlibat di JSKK percaya bahwa kejadian tersebut tidak terjadi sendiri secara spontan. Namun menjadi satu rangkaian peristiwa yang terstruktur dan saling terkait satu sama lain, sehingga harus ada pihak-pihak dari pejabat tinggi negara yang bertanggung jawab.
“Kalau saya, yang sudah meninggal ya sudah. Tapi hukum harus tetap ditegakkan. Jika tidak, pelanggaran HAM akan terus terjadi di Indonesia,” kata Sumarsih menimpali.
Bagi Sumarsih, ia akan terus memperjuangkan pengadilan HAM untuk kasus Wawan. Meski pesimis dalam melangkah, ia ingin tetap optimisme dalam berharap.
“Sebetulnya, pengangkatan Pak Wiranto menjadi Menkopolhukam secara tidak langsung adalah jawaban, apakah pemerintahan Jokowi-JK ini akan menyelesaikan pelanggaran HAM reformasi. Seharusnya jangan mengangkat orang pernah bermasalah,” tegas perempuan, yang menggunakan hak pilihnya pertama kali pada Pemilihan Presiden 2014.
Hari itu, ketika law-justice.co mengunjungi Sumarsih, bertepatan dengan hari ulang tahun Wawan. Perempuan berambut putih itu menitikkan air mata ketika menyadari, seharusnya Wawan sudah berusia 40 tahun saat ini.
“Sejak meninggal, kalau ulang tahun Wawan saya selalu bikin tumpeng dan makanan kesukaan Wawan. Saya taruh di kamar Wawan di atas,” ucap Sumarsih.
Wawan di Mata Sandyawan Sumardi
 “Wawan itu anak muda yang rendah hati. Tidak banyak bicara, tapi bekerja dengan konsisten. Dia selalu siaga dalam hal kerja-kerja kemanusiaan. Dia memang selalu ingin berada di barisan paling depan ketika sedang melakukan kerja-kerja kemanusiaan,” kata Sekretaris Umum TRK, Sandyawan Sumardi.
Mundur ke 20 tahun yang lalu, Sandyawan bercerita, ketika itu, Jakarta tidak henti dirundung huru-hara. Ratusan aparat bersenjata lengkap dengan laras panjang berjaga-jaga mengamankan Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998 di gedung DPR/MPR.
Aparat juga berjaga-jaga di area kampus Universitas Atma Jaya yang beralamat di kawasan Semanggi, Setia Budi, Jakarta Selatan. Selain itu, ada juga pasukan Pam Swakarsa yakni masyarakat sipil yang dipersenjatai bambu runcing ikut berjaga membantu aparat.
Pagi itu, 13 November 1998, ribuan mahasiswa dari berbagai elemen organisasi dan rakyat telah berkumpul di kampus Universitas Atma Jaya. Mereka berencana menggelar aksi menolak sidang istimewa. Namun rencana ini dihadang aparat dengan mengepung massa aksi di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman.
Selepas menggelar ibadah Sholat Jumat, massa mencoba bergerak melakukan long march. Aparat yang berjaga segera merespon dengan membubarkan secara paksa kerumunan massa aksi dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
“Nah saat itu massa aksi dipukul mundur oleh aparat. Sebagian besar berlindung masuk ke dalam Universitas Atma Jaya,” ujar Sandyawan.
Saat kejadian, Wawan sedang menjalankan tugas kemanusiaan sebagai Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK).
Pada pukul 16.30 WIB, aparat yang mengepung kampus Universitas Atma Jaya mulai beringas.  Bertubi-tubi tembakan gas air mata menghujam ke arah demonstran. Suara tembakan terdengar silih berganti.
Tiba-tiba ada salah satu mahasiswa dari universitas lain yang tersungkur di halaman parkir kampus Universitas Atma Jaya. Darah mengalir dari bagian tubuh yang terkena peluru.
Wawan sebagai tim TRK langsung meminta izin kepada aparat yang berjaga untuk memberi pertolongan pertama dan mengevakuasi korban tembak.
Aparat tersebut mengizinkan Wawan untuk memberi pertolongan pada mahasiswa yang tertembak. Ia pun bergegas menghampiri korban tembak.
Saat tiba di lokasi penembakan, ia sempat mengibarkan bendera kecil berwarna putih sebagai peringatan kepada semua pihak bahwa ia bertugas sebagai relawan kemanusiaan. Namun tak diduga sebuah tembakan peluru justru mengenai tepat di dada kiri Wawan. Ia pun ikut tersungkur ke tanah.
Dalam kesaksiannya, Sandyawan menjelaskan bahwa sepanjang perpindahan dari rumah sakit tersebut mobil ambulans yang membawa Wawan mendapat hadangan. Sejumlah orang yang tergabung dalam  Pam Swakarsa dengan sengaja menghalang-halangi mobil ambulans dengan cara dipukul dengan bambu. Aparat bahkan ikut menembaki kendaran tersebut.

Sumber: www.law-justice.co

0
684
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.2KThread41KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.