Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
‘Kambing Hitam’ Pemerintah itu Bernama RUU Antiterorisme
Wacana pembahasan revisi Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) kembali menyeruak ke publik. Ini menyusul rangkaian serangan teror yang dilakukan teroris di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga : Jokowi Berangkatkan Kapal Ekspor Indonesia di Tanjung Priok
Hal ini sama dengan pertama kali kemunculan wacana revisi UU Terorisme tersebut yaitu saat peristiwa bom dan serangan di kawasan Sarinah Thamrin Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016. Namun hingga 2 tahun berlalu RUU ini tak kunjung selesai.
Presiden Joko Widodo pun mengancam akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika RUU Antiterorisme ini tak selesai pada Juni mendatang.
Baca juga : Jokowi Angkat 2 Staf Khusus untuk Keagamaan
“Artinya sudah 2 tahun untuk segera diselesaikan secepat-cepatnya dalam masa sidang berikut, yaitu di 18 Mei yang akan datang,” jelas Jokowi di Jakarta, Senin (14/5) seperti dilansir setkab.
Ancaman Jokowi ini dikritik Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Sebab menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara, molornya pembahasan RUU tersebut di DPR karena ulah pemerintah sendiri.
Baca juga : Dana Desa Rp187 Triliun, Jangan Sampai Kembali ke Jakarta
Kata Anggara, pemerintah tak kunjung memberikan jadwal pembahasan hingga kini semenjak Februari 2018 lalu.
"Janganlah (baca:terbitkan Perppu), tetap saja fokus pada pembahasan RUU terorisme. Kan mandek karena pemerintah juga belum menjadwalkan pembahasan," jelas Anggara kepada law-justice.co, Senin (14/5).
Ditambah lagi menurut Anggara poin yang alot hanya tersisa dua yaitu definisi terorisme dan pelibatan TNI.
"Namun pembahasannya harus melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Sebab pembahasan RUU tersebut selama ini tertutup dan sulit diakses drafnya. Hingga sekarang saja kami belum mengetahui draf terakhirnya."
Kritik yang sama terkait rencana penerbitan Perppu juga disampaikan Direktur Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru, Haris Azhar.
“Sudah tidak perlu berdebat soal Perppu. Masa kita tinggal 2 pasal mau kembali ke Perppu. Keputusan presiden ini seolah-olah mau menutup satu celah saja,” jelas Haris Azhar di Jakarta, Kamis (17/5).

ICJR dan Lokataru bersama sejumlah LSM menggelar konpers kritik rencana penerbitan Perppu oleh Jokowi. 
Haris menambahkan poin pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sudah dapat dikatakan final. Karena itu, hanya satu poin saja yang harus dibahas dan disepakati pada pembukaan masa sidang nanti.
“Jadi tolong jangan ada pihak-pihak negara yang berusaha menutupi kegagalan negara dengan mengatakan tidak ada proses legislasi. Prosesnya ini sudah dilalui dengan panjang dan berat,” tambah Haris.
Menurut Haris pemerintah termasuk di dalamnya TNI dan Polri tidak perlu meributkan lagi soal HAM dalam RUU Antiterorisme. Sebab poin tersebut sudah lewat dalam pembahasan sebelumnya.
“Pasal Guantanamo sudah diturunkan, tapi pasal perpanjangan penangkapan dan penahanan yang melampaui KUHAP itu ada. Masih bermasalah, tapi semuanya sudah tutup mata, tutup kuping, jalan terus dengan konsep yang melanggar HAM itu.”
Haris menegaskan satu-satunya jalan yang memnungkinkan untuk membenahi UU Antiterorisme yaitu dengan menempuh judicial review ke Mahkamah Konstitusi setelah RUU tersebut disahkan. Namun ia menegaskan pilihan menuntaskan RUU Antiterorisme yang sudah berlangsung 2 tahun ini jauh lebih baik ketimbang Jokowi menerbitkan Perppu.
Sebab Perppu tidak akan dapat dikontrol publik karena tidak ada proses yang melibatkan publik dalam proses penerbitan aturan tersebut.
Law-justice.co mendapat draf RUU Antiterorisme terakhir yakni 15 Maret 2018. Adapun sejumlah pasal yang berpotensi melanggar HAM dan bertabrakan dengan aturan lainnya sebagai berikut:
Pasal
Potensi Pelanggaran HAM
Kerangka hukum yang bertabrakan
Jakarta , Law-Justice.co- Wacana pembahasan revisi Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) kembali menyeruak ke publik. Ini menyusul rangkaian serangan teror yang dilakukan teroris di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
Pasal 14
Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Ada potensi pelanggaran hak atas hidup sebagaimana yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya Pasal 6(1)  
 
Pasal 6(2) sebagaimana yang dikutip:  “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.”
Konsiderasi ini kemudian akan bertabrakan dengan:  
a. Pasal 6(4) ICCPR – kemungkinan untuk mendapatkan pengampunan dan grasi dari Presiden  
b. Pasal 6(5) ICCPR – hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun dan perempuan yang sedang mengandung  
c. Pasal 6(6) ICCPR – moratorium hukuman mati. 
Jakarta , Law-Justice.co- Wacana pembahasan revisi Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) kembali menyeruak ke publik. Ini menyusul rangkaian serangan teror yang dilakukan teroris di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
(4) Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mencukupi, maka dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. 
(5) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
(6) Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi, maka dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Jakarta , Law-Justice.co - Wacana pembahasan revisi Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) kembali menyeruak ke publik. Ini menyusul rangkaian serangan teror yang dilakukan teroris di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
Penambahan waktu penahanan yang jauh berlebihan dari standar waktu yang diatur di KUHAP. Pada draf RUU ini, masa penahanan dari tahap penyidikan sampai perpanjangan penahanan oleh hakim adalah 20 hari. Sangat merugikan tersangka atas haknya untuk disidang dalam suatu peradilan yang cepat dan sederhana. Wewenang ini juga berpotensi tinggi melanggar hak asasi manusia mengingat masih terdapatnya praktik penyiksaan di lingkungan penegak hukum Indonesia. Wewenang ini sendiri telah berseberangan dengan asas accusatoir yang dalam hal ini mengenal prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocent). 
Masa penahanan dalam tahap penyidikan yang diatur dalam Pasal 25 Ayat 2, 3, 4, 5, dan 6, terlalu lama jika dibandingkan dengan masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. 
• Masa penahanan dalam KUHAP pada tahap penyidikan adalah 20 hari dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 30 hari.  • Masa penuntutan, masa penahanan yang diatur dalam KUHAP adalah 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari lagi.  Total masa penahanan dalam KUHAP adalah 170 hari atau sekitar kurang dari 6 bulan. 
Hal ini juga bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang.  
*Pasal 28
(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam hal waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan kepada Kejaksaan Agung paling lama 7 (tujuh) hari.
Penambahan waktu penangkapan jauh berlebihan dari standar waktu yang diatur di KUHAP, yaitu 30 hari. Lamanya penangkapan tidak tepat dan berpotensi tinggi melanggar hak asasi manusia mengingat masih terdapatnya praktik penyiksaan di lingkungan penegak hukum Indonesia.  
Masa penahanan dalam tahap penyidikan yang diatur dalam Pasal 19 terlalu lama jika dibandingkan dengan masa penangkapan yang diatur dalam KUHAP. Masa penangkapan dalam KUHAP hanya selama 1x24 jam.  
Masa penangkapan yang tidak manusiawi ini dapat melanggar Pasal 5 dan 9 DUHAM mengenai penyiksaan, penangkapan dan perlakuan dihukum secara tidak manusiawi dan sewenang-wenang. Termasuk juga bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang. 
 

 
Saling Tuding Pemerintah dan DPR
Desakan pengesahan RUU Antiterorisme dari pihak pemerintah diawali dengan beberapa pernyataan pejabat. Antara lain Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Wiranto dan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang menuntut pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Sementara Kapolri Tito Karnavian dan Badan Intelijen Negara (BIN) menilai perlu RUU Antiterorisme di DPR segera disahkan agar kepolisian memiliki payung hukum untuk mencegah kasus terorisme.
Desakan-desakan tersebut memunculkan kesan, bahwa DPR RI lah yang menghambat pengesahan RUU tersebut. Padahal seperti dijelaskan ICJR di atas pemerintah lah yang meminta penundaan sejak Februari lalu.
Menguatkan ICJR, sejumlah anggota dewan juga membantah jika parlemen menghambat pengesahan RUU Terorisme usulan pemerintah tersebut. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, RUU tersebut bisa disahkan pada masa sidang lalu jika pemerintah sepakat.
’’(RUU) ini sudah mau final. Bahkan pada masa sidang lalu pun sebetulnya bisa disahkan. Tetapi pemerintah yang menunda. Jangan kebolak-balik. Tetapi kalau dia mau membuat Perppu, ya silahkan itu haknya,’’ ujar Fadli Zon, Senin (14/5/2018).
Dua Anggota Pansus RUU Antiterorisme dari PPP dan PKS yakni Arsul Sani dan Nasir Jamil juga ikut membantah tudingan DPR menghambat pengesahan RUU Antiterorisme. Namun, keduanya mengakui memang ada perdebatan tentang definisi terorisme selama pembahasan.
Pemerintah menginginkan definisi terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror dan rasa takut menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau mengakibatkan kerusakan kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, publik atau fasilitas internasional.
Di sisi lain, sejumlah fraksi di DPR meminta definisi terorisme ditambahkan frasa motif politik dan ideologi. Penambahan frasa tersebut penting karena ada perluasan kewenangan penegak hukum yang dapat berdampak kepada publik.
Semisal perpanjangan waktu penangkapan dari saat ini 7 hari menjadi 14 hari dan bisa ditambah 7 hari lagi. Jadi totalnya terduga teroris untuk sampai ditetapkan menjadi tersangka teroris itu bisa ditahan 14 hari, bahkan bisa sampai 21 hari. Setelah dia ditetapkan menjadi tersangka, maka dia bisa ditahan yang jangka total waktu penahanannya itu sedikit lebih panjang dari KUHAP.https://law-justice.co/-kambing-hitam-pemerintah-itu-bernama-ruu-antiterorisme.html


Sumber: www.law-justice.co

0
1K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.2KThread41.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.