Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Membongkar Pelanggaran Jaminan Sosial di Perusahaan Media
Ika Ningtyas, 33 tahun, sudah bekerja sebagai kontributor Tempo sejak 2008. Sampai saat ini, memasuki masa baktinya yang kesepuluh tahun, status kerja tidak kunjung berubah. Masih sebagai kontributor atau koresponden untuk daerah Banyuwangi dan Situbondo, Jawa Timur. 
Baca juga : Kacang "May Day" Bagi Jurnalis
Dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja media seharusnya memiliki hubungan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan perusahaannya. Kalaupun mengacu pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), perusahaan media hanya dapat mengontrak pekerja maksimal 2 tahun dengan 1 tahun perpanjangan. 
Namun hal itu tidak berlaku bagi Ika dan kawan-kawannya sesama kontributor daerah untuk media yang berpusat di Jakarta. Menurut ika, setiap tiga tahun, wartawan-wartawan itu hanya disodorkan perpanjangan kontrak sebagai kontributor. 
“Di Tempo korensponden atau kontributor daerah hanya dianggap kemitraan,” kata Ika kepada law-justice.co, Rabu (1/5/2018). 
Karena statusnya hanya sebagai mitra kerja - mirip seperti status pekerja ojek online dengan perusahaan penyedia aplikasi - kemudian berimbas pada pemenuhan hak-hak pekerja yang semestinya ditanggung oleh perusahaan. Sampai 2012, Tempo tidak pernah bersedia membayar Jaminan Sosial untuk para kontributornya di daerah. 
Baru setelah ada desakan dari Serikat Pekerja Kontributor Tempo (Sepakat), Tempo bersedia turut serta membayar salah satu Jaminan Sosial bagi kontributornya, yakni iuran BPJS Ketenagakerjaan. Itupun dengan catatan, kontributor daerah harus membuat minimal 30 berita setiap bulannya. Tempo tidak membedakan daerah-daerah mana saja yang dikenakan kuota tersebut.
Bagi Ika, itu angka yang tidak realistis. Sebab tidak semua isu daerah menarik untuk diangkat. Selain itu, Tempo juga menerapkan sistem seleksi berita, sehingga Ika harus bersaing dengan ratusan wartawan lainnya, yang mungkin punya berita dengan kualitas isu lebih menarik dan diprioritaskan redaksi. 
“Saya menjadi salah satu kontributor yang sampai saat ini belum pernah mendapatkan hak untuk dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan itu. Dan sebagian besar memang tidak mampu memenuhi kuota 30 berita,” kata Ika, yang juga menjabat sebagai sekreteris Sepakat.
Ika dan kawan-kawannya di Sepakat merasa, syarat kuota minimal 30 berita itu justru menunjukkan ambiguitas hubungan antara kontributor dan Tempo sebagai perusahaan media. Di satu sisi, mereka tidak diakui sebagai  karyawan, tapi perusahaan menerapkan beban kerja. 
“Di Tempo, meskipun hanya diakui sebagai mitra kerja atau freelance, tapi sebenarnya hubungan kerja yang terjadi tidak demikian,” kata Ika. 
Ibu satu anak itu menjelaskan, perintah kerja dari redaksi tidak pernah berhenti. Mereka tetap diwajibkan untuk meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkup regionalnya. Selain itu, kontributor daerah juga sering diikutsertakan dalam liputan-liputan mendalam atau investigasi yang sering terbit di Majalah Tempo. 
“Dengan adanya perintah kerja, sebetulnya hubungan kami ini bukan kemitraan.”
Karena itu, Sepakat yakin, selama status mereka tidak diangkat sebagai karyawan tetap, hak memperoleh jaminan sosial juga tidak terwujud. Padahal, sebagai wartawan yang dibayar per berita, Ika dan kontributor lainnya memerlukan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Di daerah, wartawan justru rentan terhadap tindak kekerasan dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan pemberitaan. 
Pada 18 April kemarin, Sepakat sudah mengirimkan surat tuntutan kepada perusahaan, agar segera mengubah sistem hubungan kerja dengan kontributor di daerah. Mereka juga mendesak agar kontributor-kontributor yang sudah berkerja lebih dari tiga tahun, agar segera diangkat menjadi karyawan tetap. 
“Karena perusahaan menawarkan surat kemitraan baru sebagai perpanjangan kontrak. Maka kami mendesak beberapa poin, termasuk soal hubungan kerja dan jaminan sosial,” ujar Ika. 
Law-justice.co sudah menghubungi perwakilan manajemen Tempo, namun belum mendapat jawaban atas kasus ini.
Modus pelanggaran jaminan sosial
Nasib yang dialami Ika Ningtyas juga terjadi pada jurnalis dan pekerja media di perusahaan lain. Pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan media nasional, namun perusahaan media asing yang berdomisili di Indonesia juga melakukan hal yang sama.

LBH Pers mencatat ada 4 modus pelanggaran jaminan sosial yang jamak dilakukan perusahaan media. 
Pertama, tidak mengikutsertakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kedua, mengikutsertakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan namun tidak membayarkannya.
Ketiga, mengikutsertakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, tapi hanya membayar salah satunya.
Keempat, pekerja tidak diikutsertakan pada program BPJS namun diikutsertakan pada asuransi swasta lain yang nilai tanggungannya lebih rendah dari BPJS.



Tabel LBH Pers
Pengacara Publik LBH Pers Ahmad Fathanah mengatakan data pengaduan yang sudah masuk ke lembaganya tercatat ada lebih 8 perusahaan media yang melakukan pelanggaran jaminan sosial terhadap 15 pekerja media. 
Pola pelanggarannya hampir sama yaitu BPJS Kesehatan dibayarkan, tetapi BPJS Ketenagakerjaan sempat tidak dibayarkan. Iuran BPJS Ketenagakerjaan kemudian baru dibayarkan setelah diadvokasi dan muncul desakan terhadap perusahaan.
Padahal menurut Fathanah, ketentuan kepesertaan pekerja sudah diatur jelas dalam UU BPJS. Aturan tersebut juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang melanggar mulai dari sanksi administratif hingga tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS:
Pasal 14 Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.
Pasal 15 (1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.

Melihat fakta tersebut, LBH Pers bersama Aliansi Jurnalis Independen dan Federasi Serikat Pekerja Media(FSPM) Independen kemudian membuat Forum Pekerja Media membuka "Posko Pengaduan BPJS 2018".  
“Posko Pengaduan BPJS 2018 diharapkan dapat membantu pekerja media yang memiliki masalah dengan jaminan sosial, baik yang di Ibu Kota maupun di berbagai daerah di Indonesia,” jelas Fathanah.
Pengaduan yang masuk nantinya akan diidentifikasi oleh Forum Pekerja Media. Setelah menemukan bukti yang kuat dan valid, Forum Pekerja Media akan menindaklanjuti laporan tersebut kepada Kementerian Tenaga kerja dan BPJS agar perusahaan tersebut diberikan sanksi.
“Sanksinya perusahaan bisa dicabut izinnya jika melakukan pelanggaran jaminan sosial. Baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.”
Pekerja media lemah
Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen mencatat pertumbuhan serikat pekerja media tidak sebanding dengan pertumbuhan perusahaan media di Indonesia. Dari 40 ribuan media yang dicatat Dewan Pers ternyata baru ada sekitar 40an serikat pekerja media. Itupun yang terpantau aktif sekitar 30an serikat pekerja.

Koordinator Advokasi FSPM-Independen, Ady Thea Dian Achmad mengatakan, sepanjang tahun 2017, mengatakan hanya ada 3 serikat pekerja media di berbagai daerah. Ketiganya adalah Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah, SPLM Sulawesi Utara dan Sindikasi. 
Itupun ketiga serikat ini hasil gabungan dari pekerja media dari berbagai perusahaan di wilayah tersebut. 
“Cara tersebut ditempuh mengingat sulitnya membentuk langsung serikat secara langsung di perusahaan media,” jelas Ady.
Padahal, Ady meyakini keberadaan serikat pekerja di perusahaan media dapat menjadi mitra bagi perusahaan dalam memajukan perusahaan media secara bersama-sama. 
“Serikat media bisa menjadi teman bagi perusahaan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang mampu memompa produktifitas pekerja yang dapat bermuara kepada keuntungan kedua belah pihak,” tambahnya.
Di sisi lain, FSPM-Independen juga menyerukan kepada pekerja media agar siap menghadapi perubahan lanskap industri media pada era digital. Terutama kesiapan menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat guncangan digital di industri media. 
“Kasus PHK yang menimpa ratusan pekerja media di MNC Grup yang terjadi pada tahun lalu bukan tidak mungkin terjadi pada tahun 2018 ini. Karena itu, perlu bagi pekerja media untuk memiliki wadah sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak mereka ketika dihadapkan pada kasus ketenagakerjaan,” tutur Ady.

Serikat pekerja yang terpantau masih aktifpada 2015. FSPM-Independen

Sumber: www.law-justice.co

0
892
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.2KThread41.1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.