Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Pilihan Model ‘Hybrid Multiplexing’ Lebih Realistis
 Salah satu isu yang masih menjadi ganjalan dalam penggodokan [url=http://rancangan%20undang-undang%20%28ruu%29%20penyiaran/][color=#b20202]Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran[/color][/url] di DPR RI adalah pilihan model penyelenggaraan pelaksanaan siaran digital. Single multiplexing (single mux)-kah  atau multi multiplexing (multi mux)? Atau mungkin jalan tengah yang belakangan mengedepan sebagai konsep: hybrid multiplexing?
Sistem hybrid multiplexing adalah campuran antara sistem single mux dan multi mux. Berbagai kebaikan yang ada di masing-masing sistem diambil dan dikombinasi. “Dengan demikian dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Negara maupun para pelaku usaha industri penyiaran sama-sama diuntungkan," kata ketua DPR Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu. Ia juga mengkleim model ini telah mendapat dukungan baik dari pemerintah maupun para pimpinan fraksi di DPR.
Frekuensi yang ada sangat terbatas jumlahnya. Ia merupakan kekayaan alam kita yang harus memaslahatkan rakyat banyak. Ini sesuai pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Tifatul Sembiring (foto: P. Hasudungan Sirait)
Pengusung konsep single mux berprinsip negara yang harus menguasai frekuensi. Artinya, negara yang menjadi regulator dan penyedia mux untuk setiap penyelenggara siaran. Sampai saat ini TVRI yang bersebutan lembaga penyiaran publik (LPP) merupakan satu-satunya badan pemerintah penyelenggara siaran televisi.
Di mata penyokong konsep single mux, termasuk Asosiasi Televisi Siaran digital Indonesia (ATSDI), model multi mux berpotensi menciptakan kartel yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri; kurang lebih seperti keadaan di masa TV analog sekarang ini.
Jika menganut konsep multi mux maka hak penguasaan frekuensi ada di tangan  pemerintah dan perusahaan-perusahaan  penyiaran swasta yang memiliki lisensi.
“Banyak yang salah paham selama ini. Mereka berpikir bahwa multi mux itu hanya akan menguntungkan stasiun-stasiun TV besar. Itu tentu keliru,” kata Corporate Secretary kelompok MNC, Syafril Nasution.
Sejak 2007
Sebenarnya sejak 2007 pemerintah Indonesia telah berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur TV digital. TVRI sendiri sebagai lembaga penyiaran publik sudah merevitalisasi diri untuk menyahuti peralihan dari sistem analog ke digital. Salah satu langkahnya adalah meremajakan sarana dan prasarana seperti transmisi siaran (pemancar). Hasilnya cukup menjanjikan.
Pada 13 Agustus 2008, misalnya, Wakil Pesiden Jusuf Kalla meresmikan uji coba siaran tv digital di studio TVRI Jakarta. Lantas, pada 20 Mei 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merilis secara resmi siaran televisi digital pertama. TVRI kala itu sudah memiliki 4 saluran siaran digital plus.
Peremajaan dilakukan di 30 stasiun penyiaran, yakni 1 stasiun nasional di Jakarta dan 29 stasiun daerah yang berlokasi di ibu kota provinsi, kabupaten kota, dan daerah perbatasan.Total wilayah operasionalnya  34 provinsi. Hingga 2017, TVRI telah membangun 35 pemancar digital di 28 stasiun yang menjangkau 63 kota di seluruh wilayah Indonesia.
Program penyiaran tv digital yang telah diprakarsai TVRI ini ternyata kemudian mandeg. Terkesan memang disengaja demikian. Akirnya pelaksanaan migrasi total ke tv digital pun tertunda lama.
Begitupun, pada 28 Agustus 2016 saat perayaan HUT TVRI ke 54, direksi dan dewan pengawas serta para kepala stasiun dearah dari 29 provinsi, melaporkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) kesiapan LPP TVRI untuk mewujudkan digitaliasi siaran. Mereka juga menyatakan siap melaksanakan analog switch off (ASO), migrasi dari siaran analog ke digital sesuai ketentuan pemerintah.

TVRI jauh dari siap (foto: P. Hasudungan Sirait)
i tahun 2013 pemerintah memang mengeluarkan road map untuk memulai ASO atau mematikan total tv analog. Sesuai ketentuan global yang dikeluarkan International Telecommunication Union (ITU), bebas ASO seharusnya sudah terjadi sebelum Juni 2016. Saat ini lebih dari 98% negara-negara di dunia telah bermigrasi ke digital. AS sudah ASO pada 2009, Jepang (2011), Korea, Cina dan Jepang (2012), dan Brunei (2014). Sedangkan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina  pada 2015.
TVRI Tak Siap
Kembali ke konsep single multiplexing (single mux)-kah  atau multi multiplexing. Jika  single mux yang dipilih berarti TVRI akan menjadi penyedia mux bagi seluruh perusahaan televisi di Indonesia. Lalu, bagaimana kesiapan mereka?
Saat ini TVRI  jauh dari siap untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab yang maha berat itu. Infrastruktur, SDM, dan anggaraan mereka sangat tidak memadai.
“Biaya perawatan alatnya minim. Sumber daya manusia juga tidak mendukung. Kalau saat ini TVRI tidak akan mampu memainkan peran itu. Kalau mau ya mereka musti dikuatkan dulu dengan mengalokasikan anggaran yang besar,” kata [url=http://tifatul%20sembiring/][color=#b20202]Tifatul Sembiring[/color][/url], mantan Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2009-2014.
Selama ini TVRI mengalami brain drain. Artinya sumber daya manusia yang berkualitas di sana lekas berpaling  untuk mencari kehidupan yang lebih baik. “Kalau ada satu orang yang menonjol di TVRI, dia pasti akan ditarik ke swasta. Dibajak. Berapa sih gaji orang itu di TVRI?”
Selama ini direktur utama TVRI  selalu dijabat oleh para kepala-kepala stasiun daerah yang mengelola stasiun sederhana dengan perlengkapan seadanya. “Stasiun-stasiun di daerah itu hanya siaran dari pukul 4 sore sampai habis maghrib; setelah itu dia relay Jakarta saja. Mereka nggak punya duit untuk membuat program-program berkualitas. Dan alatnya sederhana saja.”
Keraguan terhadap TVRI seharusya tidak perlu ada jika saja pemerintah serius membenahi LPP tersebut selama ini, termasuk dengan mengalokasikan anggaran yang cukup ke stasiun berjangkauan terluas yang siarannya bisa ditangkap di setiap pelosok negeri.
Meskipun sudah meremajakan sarana dan prasarana, kualitas siaran TVRI masih kalah dibanding stasiun TV swasta. Masalah utamanya adalah anggarannya masih cekak betul. Dibandingkan dengan lembaga penyiaran publik seperti NHK (Jepang), ABC (Australia), atau BBC (Inggris) yang anggarannya RP.6-9 trilyun per tahun, TVRI sangat bersahaja.
 “Program TV NHK, misalnya, merupakan yang terbaik di seluruh Jepang. Adapun TVRI, anggarannya terbatas, pegawainya sebanyak itu, uang lembur nggak dikasih, THR nggak ada, nggak ada kerja, nongkrong-nongkrong aja jadinya,” lanjut Tifatul.
“Saya sudah berusaha menaikkan anggaran TVRI sampai 1,2-1,3 triliun rupiah. Eh, diturunkan lagi! Itu pun ada ‘bancakan’ [bagi-bagi ke sana-sini]. Ma’af ya,  saya nggak nuduh siapa-siapa. Tapi saya dengar dibancak lagi.”
Memaksakan TVRI sebagai penyelenggara tunggal siaran digital memang merupakan sesuatu yang impossible untuk saat ini.
Hybrid, bukan single 
Jelas, sistem single mux akan sulit diterapkan sebab TVRI  jauh dari siap menjadi  penyedia mux bagi seluruh perusahaan televisi. Pada sisi lain, di mata sejumlah pengelola  televisi swasta,  konsep single muxberpotensi menciptakan praktik monopoli.
“Agar tidak kembali ke zaman Orde Baru yang semua dikontrol oleh pemerintah dan agar tidak ada monopoli dalam penguasaan frekuensi maka yang paling tepat adalah multimux,” kata  Corporate Secretarykelompok MNC, Syafril Nasution.
Hal senada juga disampaikan Ishadi SK. Sesepuh Trans-TV  ini menilai penerapan konsep single muxberpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.
“Jadi, kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dilakukan oleh lembaga yang dimiliki oleh pemerintah,” demikian keterangan tertulis dia, seperti dilaporkan detik.com. Senin (25/9/2017).
Kalau yang single dan yang multi tidak cocok maka jalan keluarnya adalah mengawinkan keduanya untuk mengambil unsur-unsur terbaiknya. Jadi, hybrid. Inilah wacana, seperti dikatakan Ketua DPR Bambang Soesatyo,  yang lebih berkembang sekarang.
Ogah berbagi iklan
Para pemain kakap cukup menikmati keadaan pertelevisian kita sekarang. Mereka tidak sudi kalau pasar diramaikan oleh wajah-wajah baru sebab itu bisa mengurangi keberuntungan mereka. Status quo pun mereka pertahankan. Akibatnya RUU Penyiaran terus saja terkatung-katung sehingga Indonesia menjadi satu dari sangat sedikit negara yang sistem televisinya masih saja analog.
Katakanlah model hybrid akan menjadi pilihan. Jika kelak siaran digital sudah berjalan, niscaya bakal banyak perusahaan televisi baru yang mengurus izin siaran. Artinya bakal kian bertambah  pemain di industri ini; padahal kue iklannya  tidak akan berubah banyak. Apa yang akan terjadi? Tentu mereka akan lebih jor-joran lagi dengan melakukan segala cara kalau  regulatornya masih saja lemah seperti sekarang.
Concern mereka ini hanya kue iklan. Mereka tidak mau berbagi. Apalagi harus berbagi karena dipaksa oleh negara lewat peraturan. Padahal yang punya frekuensi negara,” kata Tifatul Sembiring.
Seorang praktisi di sebuah televisi swasta mengakui bahwa kekhawatiran soal kue iklan sebagai salah satu faktor penghambat pembahasan RUU Penyiaran.

TVRI Medan (foto: Berita Sumut)
Saat ini yang bertarung head-to head dalam perolehan kue iklan masih perusahaan besar-besar: kelompok Hary Tanoesoedibyo  (MNC), Eddy Kusnadi Sariatmadja (Elang Mahkota Teknologi, Emtek), Chairul Tanjung (Trans TV), Bakrie (ANTVTV One),  dan beberapa pemain lain seperti Metro TVNET, dan 14 kanal lain.
Sebagai gambaran, belanja iklan per tahun di Indonesia rata-rata Rp. 17-18 triliun rupiah. Sekitar 70% iklan itu masuk ke televisi, 15% ke platform digital,  dan sisanya, 15% , ke media cetak, radio, dan yang lain.
Iklan ke platform digital mulai merangkak naik, apalagi pemain asing pun agresif terutama melalui GoogleYoutube, dan Facebook. “Mereka ini sudah sudah menguasai 80% iklan digital,” kata seorang praktisi televisi swasta.

Sumber: www.law-justice.co

0
581
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.4KThread41.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.