Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Pemutusan Saluran Air di Sentul City Langgar Resolusi HAM PBB
 PT. Sukaputra Graha Cemerlang (SGC) sebagai pengelola air bersih di kompleks perumahan Sentul City, Bogor, Jawa Barat, telah mengabaikan seruan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pemutusan saluran air warga terus berlanjut hingga kini.
Baca juga : Sulitnya Menyelesaikan Konflik Air di Indonesia
Juru Bicara Komite Warga Sentul City (KWSC) Deni Erliana mengatakan, terhitung sejak Komnas HAM berkirim surat kepada PT. Sentul City (induk perusahaan PT. SGC) dan Pemerintah Kabupaten Bogor, sudah ada 20-an warga yang saluran airnya diputus. Pemutusan dilakukan karena warga dianggap tidak membayar tagihan air serta Biaya Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan (BPPL), sebagaimana yang diinginkan oleh perusahaan.
“Mereka mengabaikan rekomendasi dari Komnas HAM. Pemutusan terus berlangsung sampai hari ini,” ungkapnya, Selasa (17/4/2018).
Baca juga : Datangi KPK, Warga Sentul City Laporkan Dugaan Korupsi Air di Pemda Bogor
Terhitung sejak 13 Maret 2018, ketika Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta mengabulkan permohonan banding PT. SGC dan Pemda Bogor atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung tentang izin Sistem Penyelenggaraan Air Minum (SPAM), perusahaan pengembang itu gencar menyurati warga. Isinya berupa seruan agar warga segera melunasi tunggakan air dan BPPL. Jika tidak, saluran air akan diputus secara sepihak.   
Menyikapi pengaduan warga, pada Kamis (12/4/2018), Komnas HAM kemudian meminta PT. SGC agar tidak memutus saluran air, sebab warga sedang melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Komisioner Koordinator Sub komisi penegakan HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan, pihaknya ingin semua orang menghormati proses hukum yang tengah berlangsung.
Baca juga : Komnas HAM Minta PT. Sentul City Hormati Proses Hukum
“Agar tidak ada yang dirugikan haknya,” kata dia.
Peneliti HAM yang berkerja untuk Human Rights Watch (HWC) Andreas Harsono menjelaskan, persoalannya kemudian adalah kewenangan surat dari Komnas HAM yang sifatnya memang tidak memaksa. Sehingga sulit sekali berharap PT. SGC mematuhi rekomendasi tersebut.
“Agak repot memang. Kecuali kalau surat dari pengadilan atau kepolisian. Itu punya daya paksa,” kata Andreas, ketika dihubungi law-justice.co.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa tidak ada aturan yang bisa membenarkan pemutusan saluran air bersih bagi warga negara. Mengacu pada Resolusi 64/292 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Juli 2010, disebutkan bahwa air dan sanitasi merupakan hak dasar yang harus dipenuhi negara terhadap warganya.
“Hak asasi manusia atas air sangat diperlukan untuk memimpin kehidupan dalam martabat manusia. Ini adalah prasyarat untuk realisasi hak asasi manusia lainnya,” bunyi resolusi itu, sebagaimana dikutip dari laman resmi PBB.
Catarina de Albuquerque, utusan PBB untuk urusan Hak atas Air dan Sanitasi mengatakan, pemutusan saluran air karena ketidakmampuan untuk membayar adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM.
“Pemutusan karena tidak membayar hanya diperbolehkan jika dapat ditunjukkan bahwa penduduk sebetulnya mampu membayar, tetapi tidak membayar. Dengan kata lain, ketika ada ketidakmampuan sejati untuk membayar, HAM melarang pemutusan tersebut,” ujarnya.
“Di Sentul City,” lanjut Andreas, “orang-orang ini tidak membayar karena berbagai macam alasan. Sebagian besar karena protes tarif air. Itu juga tidak boleh diputus.”
Kuasa hukum warga sentul city, Gita Purba, menjelaskan, warga tidak pernah menunggak dan rutin membayar air. Pihaknya hanya enggan membayar tarif air yang ditentukan oleh PT. SGC karena tidak sesuai dengan ketetapan Pemda Bogor. Air di sana dipatok oleh perusahaan dengan harga Rp 9.200 per meter kubik. Sementara Pemda bogor telah menetapkan tarif bagi perumahan kelompok rumah mewah dengan harga Rp 4.900 per meter kubik untuk 10 meter kubik pertama, Rp 6.100 per meter kubik untuk 10 meter kubik kedua, dan Rp 7.300 per meter kubik untuk penggunaan selanjutnya.
Selain itu, warga enggan membayar BPPL sebab dianggap cacat secara hukum. PT. Sentul City sampai hari ini belum menyerahkan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) ke Pemda Bogor. Tarif BPPL dipatok dengan harga Rp 2000 per meter persegi setiap bulannya. Warga keberatan karena tidak pernah diajak berembuk soal penetapan tarif, yang naik hampir dua kali lipat setiap tahun.   
“Masalahnya, iuran air dan BPPL itu disatukan. Jika warga menolak membayar salah satunya, saluran air akan diputus. Air dijadikan alat untuk menyandera,” kata Gita.
Andreas mengaku heran, mengapa sampai hari ini pengelolaan air di sana masih diserahkan oleh perusahaan swasta. Pasal 5 Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bersih guna memenuhi kebutuhan pokok. Karenanya, sumber daya air harus dikuasai dan dikelola oleh negara. Pengambilalihan oleh swasta hanya diperbolehkan jika negara secara jelas tidak mampu untuk menjadi pengelola.  
“Saya enggak yakin mereka (Pemda Bogor dan PDAMD) belum mampu untuk mengelola air. Seberapa sulit sih mengurus air di sana? Sentul City enggak besar-besar amat,” ujarnya.
Upaya warga membawa persoalan air itu ke ranah hukum sudah tepat, menurut Andreas. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, itu meyakini, kalaupun warga kalah di tingkat kasasi Mahkamah Agung, peluang untuk menang di pengadilan internasional cukup besar. PBB disebut memiliki perhatian khusus terhadap hak atas air.   
“Semua negara anggota PBB harus memastikan ketersediaan air untuk warganya,” kata Andreas. 
Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara memastikan, pihaknya kini tengah berkoordinasi untuk mengambil langkah lanjutan, jika memang benar masih terjadi pemutusan air. Salah satu langkah konkretnya adalah dengan berkunjung secara langsung ke Sentul City, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa, hingga berkoordinasi dengan Pemda atau aparat penegak hukum setempat.
“Kami meminta pada semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tidak melakukan tindakan yang berpotensi menghilangkan hak asasi, termasuk di dalamnya hak atas air,” ujarnya.
Proses hukum sudah sejak dulu berlangsung. Gugat menggugat antar warga, pengembang, dan Pemda Bogor dimula dari Pengadilan Negeri Cibinong, Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat, Pengadilan Tata Usaha Bandung, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Jakarta, hingga Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.
Saat ini, tinggal bagaimana negara hadir di tengah konflik itu, karena persoalan air tidak pernah menjadi urusan pemerintah daerah semata. Resolusi PBB secara de facto mengamanatkan pemerintah pusat, mau tidak mau, harus turun tangan mengambil sikap.

Sumber: www.law-justice.co
0
1.2K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.4KThread41.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.