Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nasbungdiehardAvatar border
TS
nasbungdiehard
Gerakan Ramai-Ramai Tinggalkan Jokow
Jakarta, Aktual.com – Di tengah-tengah kerumunan puluhan orang di depan Istana Negara, terdapat sebuah spanduk agak menarik perhatian dibandingkan puluhan spanduk lainnya. Bertuliskan ‘Trisakti & Nawacita Omong Kosong’, spanduk berukuran 4×1 meter ini pun sangat mencolok pada siang itu.

Spanduk tersebut merupakan salah satu spanduk yang mewarnai unjuk rasa yang dilakukan oleh sejumlah aktivis asal Pro Demokrasi (Prodem) di depan Istana Negara, Jakarta, 16 Maret 2018 lalu.

Dalam aksi itu, salah satu pentolan Prodem, Agus Edy Santoso atau yang akrab disapa Lenon pun menyatakan penyeselannya karena pernah mendukung Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) edisi lalu. Untuk mempertegasnya, Agus Lenon bahkan menyebutkan tobat nasuha.

Sehari berselang, giliran Komunitas Relawan Sadar (Korsa) yang menyatakan menyesal pernah mendukung Jokowi.

Kedua relawan ini menilai Jokowi gagal menepati janji kampanye, gagal dalam menghentikan utang luar negeri, dan gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Penyataan terkait hilangnya kepercayaan terhadap Jokowi sendiri ini bukanlah yang pertama. Beberapa pihak pun telah menyatakan hal serupa sejak beberapa tahun lalu.

Istri dari mendiang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, Suciwati pun mengemukakan hal yang sama pada tahun lalu. Suciwati pesimis Jokowi mampu menuntaskan kasus pembunuhan suaminya, termasuk mengungkap dokumen hasil TPF yang kini disebut-sebut hilang.

Padahal, Suciwati ingat betul saat kampanye Pilpres dahulu, Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus tersebut.

“Soal harapan, pesimis kalau saya ya sama Presiden Jokowi,” katanya usai menjadi pembicara dalam diskusi publik dengan tema ‘Munir, Demokrasi, dan Perlindungan Pembela HAM’ di Unika Atma Jaya, Jakarta, 5 September 2017 silam.

Penarikan dukungan oleh orang-orang yang pernah menjadi relawan atau tim sukses Jokowi juga pernah dilakukan oleh Ferdinan Hutahean pada beberapa tahun lalu. Ferdinan kini ‘membelot’ ke Partai Demokrat.

Ketika dihubungi Aktual, Agus Lenon, pendeklrasi taubat nasuha dalam unjuk rasa yang dilakukan sejumlah aktivis Prodem pada beberapa waktu lalu enggan berkomentar lebih jauh. Ia lebih merekomendasikan Aktual untuk menanyakan hal tersebut kepada rekan-rekannya yang lain di Prodem.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Majelis Prodem, Syafti Hidayat menyatakan, unjuk rasa itu memang diadakan untuk mengingatkan Jokowi terhadap janji-janji yang dilontarkannya pada empat tahun lalu.

“Banyak janji yang enggak dipenuhi, jadi kita minta Jokowi memenuhi janjinya,” kata pria yang akrab disapa Ucok ini kepada Aktual, Jumat (23/3) lalu.

Ditunggangi Lawan Politik?

(Teuku Wildan)

Munculnya gelombang kekecewaan dan penarikan dukungan dari kelompok yang pernah menjadi relawan Jokowi di Pilpres 2014 pun tak menjadi soal bagi PDIP.

Politisi PDIP, Maruara Sirait menyebut hal ini sebagai hal yang biasa dalam sebuah demokrasi. Menurutnya, datang dan perginya dukungan dari sebuah kelompok merupakan hal yang tak terhindarkan.

Ia menyebutkan beberapa partai politik yang kini menjadi partai koalisi pemerintah, pun awalnya merupakan partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).

“Dulu juga Golkar dan PPP mendukung Prabowo, enggak apa-apa. Ini kan demokrasi, sangat dinamis,” ucap pria yang akrab disapa Ara ini ketika ditemui Aktual, Jum’at (23/3) lalu.

Ia mengaku, jika partainya sama sekali tidak memiliki kekhawatiran terhadap penarikan dukungan terhadap Jokowi oleh beberapa elemen aktivis. Menurutnya, hal ini merupakan pilihan yang harus dihormati, alih-alih dipandang sebagai ancaman.

“Ini bukan soal khawatir, ini soal pilihan,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Ara tampak enggan menjawab soal ini. Ketika ditanya tentang signifikan atau tidaknya peran relawan non parpol dalam kontestasi Pilpres, ia hanya menekankan pada aspek pilihan saja.

Pada waktu yang terpisah, politisi PDIP lainnya, Darmadi Durianto justru menuding aksi-aksi tersebut sebagai manuver lawan politik Jokowi dan PDIP.

“Kemungkinan hanya mengatasnamakan relawan Jokowi. Bisa saja itu bentukan lawan yang ingin mendilusi nama Jokowi,” ujar Darmadi.

“Ini bukan relawan Jokowi. Settingan lawan mengatasnamakan relawan Jokowi. Relawan Jokowi itu pasti militan dan tetap setia,” tambahnya.

Hal senada pun dinyatakan oleh politikus asal Golkar, Idrus Marham. Saat ditemui Aktual, ia mengakui jika penarikan dukungan dari Prodem dan Korsa tidak akan mengganjal langkah Jokowi dalam Pilpres mendatang.

Dalam pandangannya, penarikan dukungan ini justru sangat mungkin diwarnai oleh adanya motif kepentingan tertentu. Idrus menjelaskan, penarikan dukungan ini sebagai ekspresi dari Prodem dan Korsa karena tidak mendapat jatah kekuasaan.

“Rakyat juga akan memberi penilaian, orang yang tadinya mendukung lalu menarik dukungannya, apakah dia obyektif atau karena kepentingannya tidak tercapai lalu kemudian marah-marah?” ucap Menteri Sosial ini.

Mendapat tudingan demikian, Ucok pun berang. Secara obyektif, lanjutnya, dari 66 janji Jokowi yang dilemparkan pada 2014 lalu, masih banyak yang belum terpenuhi.

Menurutnya, rakyat tidak hanya akan melemparkan kesalahan ini kepada Jokowi saja, melainkan juga akan menagih janji kepada para relawan-relawan.

“Gue sebagai relawan jokowi itu ditagih sama rakyat, gimana sih listrik mahal, gimana sih kerjaan susah? Itu masyarakat yang kita ajak-ajak untuk milih Jokowi, kita kan malu,” jelasnya.

Dalam pandangan rakyat, jelas Ucok, tidak ada cara pandang abu-abu. Ia menambahkan, rakyat hanya tahu kondisi dalam pemerintah Jokowi lebih susah atau lebih enak jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

“Kenyataannya makin susah, itu kan jadi beban buat kita. Kita tekan lagi makanya ke jokowi supaya memenuhi janjinya,” tegasnya.

“Gue pulang kampung saja enggak berani, enggak berani gue. Malu ditagih sama orang kampung sana,” tambah Ucok.

Ucok pun membalas tudingan Idrus dengan menyebutnya sebagai pihak yang tidak tahu menahu tentang internal relawan Jokowi.

“Idrus Marham itu enggak ngerti relawan Jokowi karena pilpres 2014 Golkar bergabung dengan koalisi merah putih mendukung Prabowo-Hatta,” tegasnya.

Nawacita Omong Kosong?

(Teuku Wildan)

Ucok merupakan Koordinator Lapangan (Korlap) dalam unjuk rasa yang telah disebutkan di atas. Sama halnya dengan Agus Lenon, ia pun pernah mendukung Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2014 silam.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari beberapa kalangan, pendiri Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) ini merupakan salah satu orang pertama yang mendukung Jokowi untuk nyapres empat tahun lalu.

“Gue pendiri Bara JP melalui kongres relawan Jokowi sedunia di Bandung, Juni 2013. Terus gue pernah bertugas di rumah transisi Jokowi-JK sebagai Deputi Kesra, yang menangani kelautan, kehutanan sama pertanian,” sebut Ucok.

Sama halnya dengan Agus Lenon, Ucok pun sangat menyesalkan banyaknya janji Jokowi yang belum terpenuhi. Menurutnya, janji-janji Jokowi adalah hutang yang harus dibayarkan kepada masyarakat Indonesia.

Berdasarkan penelusuran Aktual, setidaknya 66 janji manis yang dilontarkan Jokowi selama masa kampanye Pilpres 2014 silam.

Ucok pun membeberkan sejumlah janji yang gagal ditepati oleh Jokowi, di antaranya adalah tetap membuka keran impor komoditi pangan seperti beras dan daging, utang yang makin menumpuk dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5%.

“Kalau jokowi enggak bisa memenuhi janjinya, dia jangan nyalon lagi jadi Presiden di 2019. Janji dia sendiri enggak ditepatin, apalagi yang lain?” ujar Ucok.

Ucok mengungkapkan, dalam program yang dirancang di dalam rumah transisi Jokowi-JK, memang tidak diadakan program menteri, melainkan hanya ada program Presiden saja. Ia menyatakan, menteri-menteri yang ada di dalam Kabinet Kerja hanya diposisikan sebagai pelaksana saja.

Dalam praktiknya, lanjutnya, Jokowi hanya mengambil alih tugas dan pekerjaan menteri atau bahkan pejabat yang levelnya di bawah menteri. Dengan demikian, Ucok menegaskan jika sejatinya semua tindakan atau dinas kerja Jokowi yang selama ini menghiasi media massa hanyalah sebuah pencitraan belaka.

“Pencitraan itu, karena Jokowi memang enggak ada kerjanya. Jadi kerjaan menteri diambil sama dia, kerjaan lurah diambil sama dia, lalu kerjaan dia apa?” paparnya.

Selain 66 janji yang belum dipenuhi Jokowi, Ucok juga menekankan pada 245 program infrastruktur Jokowi. Dari ratusan proyek infrastruktur yang diklaim sebagai program andalan pemerintah itu, hanya beberapa yang sudah terlaksana.

“Selama ini Jokowi kita lihat pencitraan aja, enggak ada dia kerjanya. Pakai kaos lah, pakai sandal jepit lah, masuk ke got lah,” imbuh Ucok.

Kondisi ini menyimpulkan bahwa program pemerintah hanyalah sebuah akal muslihat atau tipu-tipu saja. Ucok pun mengaku khilaf karena telah mendukung Jokowi lantaran adanya program Nawacita dan konsep Trisakti yang dijadikan slogan.

“Nawacita itu omong kosong, di mana Nawacita dan Trisakti kalau dia bergantung pada bantuan asing? Dari 245 program infrastruktur Jokowi, itu hanya beberapa yang selesai. Selama 4 tahun lho ya, jangan main-main,” tandasnya.

Hal tersebut pun diamini oleh anggota Komisi V DPR RI, Nizar Zahro. Ketika dihubungi Aktual, Nizar mengakui jika program Nawacita memang telah gagal total.

Berdasarkan catatannya, dari 245 program infrastruktur, baru 20 yang sudah terlaksana.

“Bayangkan dari 245 proyek nasional itu, hanya 20 proyek yang jalan dari 245 yang diberi legalitas dengan Perpres,” jelasnya kepada Aktual, Kamis (22/3).

“Tidak mencapai 10% kan. Itu sudah gagal,” imbuh politisi Gerindra ini.

Hal lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah makin meroketnya posisi utang Indonesia. Per Februari 2018, utang Indonesia memiliki utang sebesar Rp 4.100 triliun dengan tempo bayar 10 tahun.

Menurut Nizar, catatan utang ini sangat berlawanan dengan konsep Trisakti yang digembar-gemborkan Jokowi pada 2014 silam.

“Itu saja menandakan, untuk menjalankan APBN ini pemerintahan Jokowi selalu mengandalkan utang, baik untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur atau memenuhi gaji pegawai, dsb,” jelasnya.

Masih dari kubu non koalisi, Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB), Afrianysah Noor pun mengemukakan hal serupa. Dengan keras, ia menyebut program Nawacita sebagai program tipu-tipu saja.

“Mau meningkatkan kekuatan nasional tapi membangun dengan utang. (Bukannya) Menyiapkan lapangan kerja malah import tenaga asing,” ucapnya saat dihubungi Aktual.

“Tampang sederhana enggak jaminan. Joko Widodo ini memang orangnya supel cuma pencitraan saja,” imbuhnya.

Hal ini disebutnya menjadi alasan yang sangat logis bagi para sejumlah aktivis untuk meninggalkan Jokowi. Bagi pria yang akrab disapa Feri ini, sejumlah aktivis ini masih memiliki sikap yang tegas terkait kondisi masyrakat yang semakin susah.

“Sangat wajar dan mereka masih punya nurani ketimbang yang kejar jabatan. Yang sudah menduduki posisi memang mikir perut saja,” kata pria yang akrab disapa Feri ini.

Tidak hanya oleh oposisi, banyaknya janji Jokowi yang belum terpenuhi selama empat tahun pemerintahannya pun diakui oleh orang-orang yang berada di lingkungan pendukungnya.

Ketua Umum Badan Relawan Nusantara, Edysa Ginting pun menyatakan jika pemerintah Jokowi-JK memang sangat jauh dari konsep Trisakti yang dilontarkan oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.

Meskipun sempat menjadi salah satu kelompok relawan pendukung Jokowi, Eky enggan menutup mata atas realitas yang ada.

“Kita ini elemen waras, bukan elemen pemuja dewa. Kita akan melihat itu secara obyektif, karena amanat rakyat itu yang paling penting, bukan kekuasaan semata,” ucap Eky.

Badan Relawan Nusantara sendiri diakui pria yang biasa dipanggil Eky ini, belum memutuskan untuk mundur sebagai pendukung Jokowi.

“Saya ini masih kader dari partai pendukung Jokowi, tapi saya juga enggak bisa menutup mata kalau saya lahir sebagai akivis, bukan dari pengusaha atau pejabat. Itu komitmen pribadi,” jelas Eky terkait posisinya.

Sementara itu. Politikus Golkar, Idrus Marham pun menyatakan hal yang sama. Idrus mengaku jika memang banyak janji Jokowi yang belum terlaksana hingga kini.

“Keberhasilan dari pembangunan yang dimotori Pak Jokowi memang sepenuhnya belum tercapai. Kita jujur, belum semua,” ucap Menteri Sosial ini.

Jokowi Lebih Rangkul Partai?

(Teuku Wildan)

Memasuki tahun politik ini, Jokowi justru lebih tampak menunjukkan kemesraannya dengan sejumlah partai politik. Seolah sedang bersafari, ia kerap tampak berduaan dengan pimpinan parpol pendukung pemerintah.

Mulai dari Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pada 2 Januari 2018 lalu. Saat itu Cak Imin yang notabene adalah anggota Komisi I DPR RI justru mendampingi Jokowi saat peresmian Kereta Bandara.

Sebulan berselang, tepatnya pada 3 Februari 2018, giliran Ketum PPP M. Romahurmuziy yang menemani Jokowi seharian penuh. Saat itu, Romi, demikian sapaan akrabnya, menemani Jokowi mulai dari peresmian lapangan tenis indoor dan outdoor di Senayan, Jakarta hingga Peringatan Haul Majemuk Masyayikh di Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jatim.

Bulan berikutnya, Jokowi disambangi oleh sejumlah petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pertemuan yang berlangsung selama 90 menit ini pun dilakukan di Istana Negara, Jakarta, pada 1 Maret 2018.

Yang menghebohkan dari pertemuan ini adalah adanya pembahasan untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres yang akan datang. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Ketua Umum PSI, Grace Natalie usai pertemuan tersebut.

“Jadi hari ini kita lebih ke silaturahmi, sekaligus Pak Jokowi memberikan tips-tips agar PSI bisa mencapai target menang pemilu 2019,” ujar Grace.

Pertemuan ini sempat heboh lantaran membicarakan pemenangan Jokowi di Istana Negara yang notabene merupakan fasilitas negara.

Belakangan, Jokowi pun melakukan olahraga pagi bersama Ketum Golkar, Airlangga Hartarto di Kebun Raya Bogor, Bogor, Jawa Barat, 24 Maret 2018. Dalam pertemuan ini, Jokowi secara terang-terangan jika salah satu topik pembicaraannya dengan Airlangga adalah soal calon wakil Presiden (Cawapres).

Sekjen PBB, Afriansyah Noor pun memandang hal ini memiliki korelasi dengan penarikan dukungan sejumlah aktivis pada Jokowi. Menurutnya, dari berbagai pertemuan tersebut, Jokowi lebih mengutamakan parpol dibandingkan dengan aktivis.

Pria yang akrab dipanggil Ferry ini berpendapat, saat ini Jokowi lebih dekat dengan parpol lantaran dirinya mengetahui jika parpol adalah jembatan untuk nyapres lagi.

“Parpol yang usung Joko, aktivis hanya alat dia saja,” ujarnya.

Ketua Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI), Yudi Suyuti memiliki pandangan tersendiri mengenai Jokowi. Sebelumnya, ia merupakan relawan Jokowi sejak Pilkada Solo 2010 hingga Pilgub DKI Jakarta 2012.

Dalam Pilgub DKI Jakarta, Yudi sempat membentuk Pemerintah Masyarakat Jakarta Baru (PMJB) dan Sentral Pemberdayaan Masyarakat (SPM) sebagai organisasi pendukung Jokowi-Ahok yang saat itu menjadi salah satu pasangan calon yang bersaing dalam Pilgub DKI Jakarta 2012.

Menurutnya, perubahan Jokowi sudah dimulai setelah menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Ia mengatakan, sejak itu Jokowi sudah mulai tidak konsisten dengan janjinya yang ingin menjadikan masyarakat sebagai mitra pemerintahannya dalam membangun ekonomi kerakyatan.

Yudi mengisahkan, saat itu Jokowi berjanji akan membuat Badan Usaha Milik Rakyat Jakarta (BUMRJ) dengan memberikan permodalan pada rakyat tanpa bunga atau nol Persen bunga. Jokowi pun disebutnya sempat menyampaikan akan mengeluarkan Surat Jaminan Gubernur untuk permodalan.

“Tapi kenyataannya tidak bisa direalisasi. Sebetulnya tidak perlu janji saat kampanye, kalau tidak mampu. Supaya kami tidak mendukungnya dari awal,” ucapnya saat dihubungi Aktual.

Lantaran telah mencium perubahan dalam diri mantan Walikota Solo ini, Yudi dan beberapa kawannya pun menarik dukungannya terhadap Jokowi sampai saat ini.

“Perubahannya adalah Jokowi lebih percaya pada kelompok Konglomerat Taipan. Dibandingkan Tim pemenangan yang benar-benar bersama rakyat,” jelas Yudi.

Hal serupa pun diungkapkan oleh peneliti politik asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. Menurutnya, saat ini Jokowi memang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan Pilpres 2014.

Siti mengatakan, hal yang ditonjolkan Jokowi dalam 2014 adalah sebagai pemimpin yang sederhana, pro rakyat, lahir dari wong cilik, dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi lebih menonjolkan sisi elitis ketimbang sisi wong cilik-nya.

Perempuan yang menyandang gelar Profesor di bidang politik ini mengemukakan, pendekatan di Pilpres yang lalu memang tidak dapat digunakan lagi oleh Jokowi dalam persiapan Pilpres yang akan datang.

“Karena dulu belum berkuasa, pendekatannya dengan semua, dengan wong cilik, dan bagaimana menganalogikan dirinya dengan wong cilik, dengan kesederhanaan yang berlimpah ruah, kan gitu,” jelas Siti ketika dihubungi Aktual, Sabtu (24/3) lalu.

“Nah ini semua politik pencitraan, makanya sebetulnya yang kita perlukan ada masyarakat yang punya rasionalisasi dalam memilih,” tutupnya.
Nebby/Wildan
http://www.aktual.com/gerakan-ramai-ramai-tinggalkan-jokowi/

emoticon-Wakaka emoticon-Wakaka

Tobat nastak tobat
Jangan ngibul terus
Nanti Sorga mu pun ngibul

Apa mau nunggu sampe 2030


Gerakan Ramai-Ramai Tinggalkan Jokow

0
2.5K
31
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.