Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • Bisnis
  • Neoliberalisme Membunuh Trisakti & Nawacita! Jokowi Perlu Duet dengan Rizal Ramli

magettengAvatar border
TS
magetteng
Neoliberalisme Membunuh Trisakti & Nawacita! Jokowi Perlu Duet dengan Rizal Ramli


Neoliberalisme Membunuh Trisakti & Nawacita! Jokowi Perlu Duet dengan Rizal Ramli

Tragis. Setelah membangun selama 50 tahun PDB/kapita Indonesia baru mencapai US$ 3.800 . Padahal beberapa negara lain di Asia yang dulu ditahun 1960 masih sama-sama miskin dengan kita, sekarang maju pesat dengan PDB/kapita yang jauh diatas Indonesia. Seperti Malaysia PDB/kapitanya 3 kali lipat kita, Taiwan 6 kali lipat kita, Korea Selatan 7 kali lipat kita bahkan Singapura 14 kali lipat kita.
 
China (RRC) yang pembangunannya sangat terlambat dibandingkan kita, baru membangun di awal tahun 80an dan penduduknya 1,3 milyar orang, mereka maju dengan pesat sekali. Sekarang PDB/kapitanya mencapai 2 kali kita. Teknologinya sangat maju antara lain telah mampu membuat dan mengekspor kereta api cepat.

Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah, selama 32 tahun kita berada dibawah kekuasaan Orde Baru yang sangat kuat dengan tim ekonomi yang solid dibawah pimpinan Widjojo Nitisastro yang mengendalikan sepenuhnya ekonomi Indonesia. Widjojo sering dipuja puji oleh berbagai kalangan sebagai ekonom handal tetapi kenyataannya telah membawa ekonomi kita tertinggal dengan negara-negara tetangga Singapura, Malaysia dan macan Asia seperti Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Bahkan di akhir masa kekuasaan Orde Baru, ekonomi kita jatuh dalam krisis dan dijerumuskan lebih dalam lagi oleh IMF sampai-sampai pertumbuhan ekonomi kita menjadi minus 13% ditahun 1998. Malaysia yang menolak campur tangan IMF malah dapat keluar dari krisis ekonomi dan menjadi eonomi yang stabil dan lebih maju dari kita.
 
Neoliberalisme Membunuh Trisakti & Nawacita! Jokowi Perlu Duet dengan Rizal Ramli
Ternyata puja puji bagi Widjojo cs itu tidak sesuai dengan kenyataan prestasinya melainkan hanya rekayasa citra. Banyak ekonom dididalam kelompoknya serta anak cucu muridnya yang berdalih bahwa apabila kita membandingkan kemajuan ekonomi Singapura yang amat pesat dengan ekonomi kita yang lambat, mereka mengatakan bahwa Singapura negara kecil dengan penduduknya yang sedikit sehingga tidak bisa dibandingkan dengan kita negara yang sangat besar dengan penduduk yang sangat besar jumlahnya. Sehingga tidak bisa dibandingkan atau istilahnya tidak apple to apple.


Padahal justru Singapura yang sangat kecil itu yang luasnya hanya 700 km persegi atau lebih kecil dari luas Kabupaten Bekasi itu tidak punya apa-apa. Tidak punya Sumber Daya Alam yang sangat kaya ber-limpah-limpah seperti kita. Tidak ada tambang emas, tembaga, nikel  alumunium, bauksit, timah, perak, dll. Tidak ada kebun karet, teh, kopi kopra, dsb. Mau menanam kelapa sawit tidak bisa karena tidak ada tanahnya. Mau menanam padi, jagung, tebu, ternak ayam, kambin, dsb; tidak bisa karena tidak ada tanahnya. Sehingga semua kebutuhan makanan harus impor. Biaya hidupnya tinggi. 


Namun para pemimpin dan ekonom Singapura memutar otak. Mengolah kecerdasannya dan bekerja keras untuk mengubah kehidupan bangsanya yang di tahun 1960 masih sama_sama miskin dengan Indonesia. Para pemimpin dan ekonom Singapura itu juga berpikir kalau tanahnya yang sangat sempit itu digunakan untuk mengembangkan perekonomian tradisional seperti pertanian dan perkebunan, menanam padi, tebu, cabe, sawit, kelapa dsb, maka tanahnya akan habis dan perekonomiannya tidak akan bisa menghidupi rakyatnya. Makanya mereka meninggalkan pertanian, tidak menyentuh perkebunan, melainkan mengembangkan pelabuhannya menjadi sangat modern sehingga bisa menjadi pelabuhan samudra yang menjadi pusat persinggahan dan transit ekspor impor kapal dari Asia Tenggara menuju Eropa dan sebaliknya.


Pelabuhan yang sangat besar dan modern itu selain bisa bongkar muat dengan cepat juga dilengkapi dengan semua kebutuhan perlengkapan dan perbengkelan perkapalan, termasuk ketersediaan spare parts dan industri perlengkapannya. Mereka juga mengembangkan pelabuhan udara yang sangat besar dan modern yang bisa menampung transit pesawat-pesawat udara yang besar untuk transit jarak jauh ke Eropa dan Amerika dengan pelayanan yang cepat, efisien dan nyaman. Mereka juga mengembangkan industri kilang minyak, mengolah minyak mentah menjadi minyak yang siap pakai. Sehingga sampai saat ini Indonesia setiap hari mengolah minyak mentahnya lebih dari 500 ribu barrel kesana dan mengimpor nya kembali hasilnya dalam bentuk minyak yang siap dikonsumsi dengan harga yang tinggi. Sungguh suatu pemborosan yang luar biasa bagi kita dan suatu kebodohan ekonomi yang luar biasa.


Selain itu, Singapura membangun dirinya sebagai pusat keuangan dan bisnis Asia Tenggara. Selain membangun gedung-gedung dan fasilitas lainnya yang mendukung, mereka juga membangun hukum, regulasi yang kredibel, etika bisnis, proses perijinan yang cepat, dapat dipercaya dan menyelesaikan perkara sengketa dengan cepat dan adil dan yang paling penting adalah membersihkan dirinya dari korupsi baik didalam birokrasinya maupun didunia swastanya. Mereka juga menjadikan dirinya pusat pariwisata di Asia Tenggara. Beraneka ragam daya tariknya, dari Universal Studio, golf, racing mobil Formula 1, Singapore Air Show yang rutin diadakan sampai tempat-tempat rekreasi di taman-taman. Mereka juga membangun rumah-rumah sakit yang modern dan sangat lengkap sehingga masyarakat kelas atas diseluruh Asia Tenggara berobat ke Singapura.


Akhirnya dengan segala upayanya itu ekonominya tumbuh RATA-RATA 8% pertahun SELAMA 39 TAHUN dari 1960 - 1999. Oleh karena itu sekarang telah menjadi negara maju dengan PDB/kapita mencapai US$ 52.960 jauh meninggalkan Indonesia yang tanahnya sangat luas, Sumber Daya Alam nya sangat kaya, punya hutan, laut dsb. Indonesia yang etelah membangun 50 tahun dan disesatkan dengan puja puji dari IMF dan World Bank, sekarang PDB/kapitanya hanya $ 3800 (1/14 Singapura).

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Mengapa bisa demikian?[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Karena tim ekonomi Orde Baru dibawah pengarahan Widjojo Nitisatro hanya membangun perekonomian tradisional yang bernilai tambah rendah. Hanya mengandalkan sumber daya alamnya yaitu antara lain gas , minyak dan hutan.
Manufacturing dan otomotif juga berkembang namun tidak mendalamkan struktur industrinya sehingga bahan bakunya masih banyak yang tergantung impor. Otomotif pun tidak membangun merek sendiri seperti Malaysia, yang independen dari raksasa otomotif dunia. Padahal Indonesia mempunyai pasar yang luar biasa besarnya.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Sangat ironis ketika minyak sudah hampir habis, ketika sekarang kita menjadi net importir minyak, itupun masih lebih dari 500 ribu barrel setiap hari minyak kita harus dikilang di Singapura karena kapasitas kilang kita sangat kecil. Ketika gas alam di Badak dan Arun sudah habis dijual dalam bentuk LNG yang bernilai tambah rendah. Ketika jutaan hektar hutan sudah habis digunduli, ternyata kita hanya mampu menghasilkan PDB/kapita US$ 3800. Sedangkan PDB/kapita Singapura14 kali kita yaitu US$ 52.960.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Darmin Nasution dan Sri Mulyani Indrawati dan menteri-menteri ekonomi lainnya yang seharusnys bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi agar bisa memajukan negara Indonesia ternyata hanya bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang melempem cuma 5%. Memang tidak mungkin mengharapkan mereka yang merupakan murid-murid dari Widjojo Nitisastro cs yang telah membuat Indonesia tertinggal jauh dari Sngapura dan negara-negara maju Asia lainnya untuk bisa memajukan negara kita dengan cara membuat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Mereka akan tetap menggantungkan diri kepada perekonomian tradisional yang berbasis kepada bahan mentah atau setengah jadi seperti batubara, CPO, LNG dsb, yang bernilai tambah rendah. Apabila harga komoditi di dunia internasional sedang rendah maka ekonomi kita ikut anjlok. Bila nanti harganya naik ekonomi kita baru bisa bangkit kembali. Mereka hanya menunggu naik nya harga komodii tanpa mampu berinovasi menggerakkan sektor-sektor lain yang bisa menjadi motor penggerak ekonomi.  Apalagi kalau mereka diharapkan bisa menggerakkan sektor manufaktur yang bernilai tambah tinggi atau sektor pariwisata yang relatif membutuhkan investasi kecil tetapi memberikan multiplier efek yang besar.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Tidak mungkin mereka mampu membangun industri petrokimia yang bernilai tambah tinggi dan produknya sangat dibutuhkan masyarakat. Sebagai contoh, 40% komponen mobil itu dibuat dari hasil industri petrokimia seperti ban, jo , dashboar , bagian dalam atap mobi , bagian dalam pintu, dll. Produk Petrokimia juga dibutuhkan oleh industri tekstil, cat, bahan peledak, jacket, tas, helm, bahan plastik dll. [/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Sedangkan saat ini untuk bahan plastik saja harus impor lebih dari Rp 100 trilyun setiap tahun. Bahan baku industri petrokimia itu adalah gas alam yang kita miliki banyak sekali namun sekarang ini hanya diekspor dalam bentuk LNG yang bernilai tambah rendah dan di Badak serta di Arun telah dikuras sampai habis.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Konyolnya lagi LNG kita itu diekspor ke Taiwan, Malaysia dan Korea Selatan namun hasil produk petokimia mereka itu yang harganya sudah menjadi ber-kali-kali lipat kita impor kembali ke Indonesia. Jadi kita jual bahan mentahnya dengan harga murah dan kita beli kembali barang jadinya yang harganya sudah sangat mahal ditambah ongkos transport dan asuransi. Suatu kebodohan ekonomi yang luar biasa.[/size][/size]


Neoliberalisme Membunuh Trisakti & Nawacita! Jokowi Perlu Duet dengan Rizal Ramli

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Selain ketidakmampuan Darmin Nasution, Sri Mulyani dan menteri-menteri ekonomi lainnya membangun dunia industri dan sektor-sektor lain yang bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, khususnya Sri Mulyani sebagai Menkeu sangat patuh secara dogmatis dengan konsep-konsep Neoliberal dari IMF dan World Bank, khususnya soal austerity atau pengetatan anggaran.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
IMF yang telah gagal di-mana-mana. Di Argentina, di Indonesia dan di Yunani. Sampai sekarang diikuti dengan kaca mata kuda oleh Sri Mulyani. Itupun ditambah lagi oleh Sri Mulyani ditengah ekonomi yang lagi lesu ini, dia selalu mengejar-ngejar pajak sampai se-kecil-kecilnya. Deposito 200 juta mau dikejar. Setelah banyak protes akhirnya batasnya dinaikkan jadi 1 milyar. [/size][/size]


[size={defaultattr}][size={defaultattr}]Batas pajak UKM mau diturunkan dari omzet 4,8 Milyar dan pajakya mau tetap dikenakan 1% sampai bertentangan dengan Presiden Jokowi yang mau menurunkan sampai 0,25% dan akhirnya menjadi 0,5%. Akibatnya Indonesia yang selama 5 tahun ber-turut-turut sejak 2013 sampai dengan 2017 (termasuk masa jabatan Sri Multani 1,5 tahun) ekonominya hanya tumbuh rata-rata 5,1%. Sekarang, tahun 2018, kita akan memasuki tahun ke 6 dengan pertumbuhan ekonomi 5,1%. Padahal dalam situasi global yang sama sulitnya dengan kita Vietnam dan Filipina sudah ber-tahun-tahun tumbuh 6,5% setiap tahunnya.
Neoliberalisme Membunuh Trisakti & Nawacita! Jokowi Perlu Duet dengan Rizal Ramli
Persoalannya bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang rendah hanya 5% yang mengakibatkan banyaknya angkatan kerja baru yang tidak tertampung dan bisnis menjadi lesu tetapi juga sangat mahalnya harga sembako dibanding dinegara tetangga. [/size][/size]


[size={defaultattr}][size={defaultattr}]Inflasi memang rendah tetapi harga awalnya memang sudah tinggi dan daya belinya rendah. Masyarakat sangat sulit membelanjakan uangnya.Tahun 2016 saja ekspor tekstil Vietnam sebesar USD 23,8 Milyar hampir 2 kali kita yang hanya USD 12,1 Milyar. Di tahun yang sama ekspor gadget (ponsel pinta ) Vietnam mencapai USD 34 Milyar. Dan total ekspor Vietnam 2016 mencapai USD 177 Milyar lebih tinggi 22% dari pada Indonesia yang hanya USD 144 Milyar.[/size][/size]
[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Presiden Jokowi apabila tetap mempertahankan menteri-menteri ekonomi yang tidak berprestasi seperti ini, akan merugikan bukan hanya elektabilitas nya saja tetapi juga merugikan bangsa dan negara. Terutama masyarakat menengah ke bawah yang menjadi pemilih utamanya.[/size][/size]

[size={defaultattr}][size={defaultattr}]
Presiden Jokowi jangan silau dengan rekayasa internasional dengan gelar menteri terbaik sedunia dsb. Namun harus melihat kerja nyatanya dan kemampuan riilnya dalam menangani ekonomi. Banyak kepentingan asing yang ingin mengendalikan perekonomian Indonesia dan kita harapkan Presiden Jokowi tidak terkecoh. Oleh sebab itu, banyak kalangan masyarakat  meminta Jokowi berduet dengan Rizal Ramli untuk perbaiki ekonomi dan kondisi bangsa yang terbelah oleh ketidakadilan dan kemiskinan dan kesenjangan. Desakan banyak pihak itu rasional dan obyektif sebab rakyat makin miskin dibawah oligarki modal dan politik uang yang makin menjauhkan Indonesia dari cita-cita Proklamasi 1945.
 
11 Maret 2018
Abdulrachim Kresno[/size][/size]


[size={defaultattr}][size={defaultattr}]http://bit.ly/2p7qvXS[/size][/size]
0
530
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Bisnis
BisnisKASKUS Official
70KThread11.6KAnggota
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.