afifahafra79Avatar border
TS
afifahafra79
Sangat Menyentuh, Kisah Bunda Aminah, Dan Indahnya Sebuah Pengabdian

Di saat banyak ada sebagian para penceramah, guru, motivator ataupun trainer sibuk melakukan personal branding, menjadi terkenal, populer dan namanya bergema kemana-mana, rasanya saya perlu membagi kisah ini. Kisah seseorang yang bagi Agan dan Sista mungkin dianggap "nothing", tetapi bagi saya, dia adalah sosok yang sangat inspiratif. Saat saya sedang down, malas, capek, letih... saya biasanya akan mencoba mencari sosok yang mampu membangkitkan kembali semangat saya. Dan, sosok beliau adalah salah satunya.
Sebut saja namanya Aminah, Bunda Aminah. Ya, saya layak memanggilnya Bunda, karena beliau memang sudah hampir seusia dengan ibu saya. Saat ini, Bunda Aminah berusia awal 60-an. 
Siapa sih, Bunda Aminah? Beliau adalah tetangga saya di rumah lama. Sebelum pindah ke rumah sekarang, saya sempat satu jamaah masjid dengan beliau. Beliau sosok yang istimewa di masjid. Ya, beliau adalah guru mengaji kami, para ibu muda maupun sepuh yang menjadi jamaah masjid tersebut. Teristimewa saat Bulan Ramadhan, Bunda Aminah biasanya mendampingi kami bertadarus. Membenar-benarkan bacaan yang salah, setia menyimak, dan dengan sabar menjawab rentetan pertanyaan-pertanyaan kami.
Di mata jamaah, Bunda Aminah begitu mulia. Tetapi, ternyata hanya segelintir orang yang memahami betapa beliau adalah sosok yang berilmu. Sehari-hari, beliau ternyata "hanya" seorang penjual kerupuk. Maaf, bukannya saya sedang merendahkan profesi penjual kerupuk, ya? Sama sekali tidak. Hanya saja, di mata masyarakat kebanyakan, penjual kerupun memang sekadar profesi yang tidak membanggakan.
* * *

"Kerupuuuuk, kerupuuuk!" 
Suatu hari, ketika saya baru saja pindah ke rumah tersebut, pagi-pagi benar, terdengar suara beliau yang cempreng.
"Bu, beli kerupuknya, Bu..." beliau menawari saya sembari tersenyum.
"Nggeh, Bu... tumbas kalih bungkus," ujar saya. Beli dua bungkus.
"Gangsal ewu, Bu Dokter," ujarnya. Lima ribu harganya. Saya dipanggil sebagai Bu Dokter bukan karena saya bertitel dokter. Saya menjadi Bu Dokter bukan karena ijazah, tetapi "ijab syah" alias dinikahi suami yang berprofesi sebagai dokter. Sebenarnya saya agak enggan dipanggil Bu Dokter. Tapi, bagaimana lagi, di kampung memang lazimnya begitu.
"Maturnuwun, Bu."
Saya menatap gunungan kerupuk  keranjang besar yang dia pasang di boncengan sepeda ontel-nya. Dalam hati, saya mencoba menghitung, berapa omzet si ibu dalam sehari. Saat itu, saya belum tahu jika beliau adalah seorang Ustadzah.
"Biasanya berapa lama Anda berkeliling menjual kerupuk, Bu?" tanya saya.
"Jam 2 pagi saya sudah bangun, Bu Dokter. Lalu shalat tahajud, dan jam 3 ke pasar untuk kulakan kerupuk. Nanti pulang dulu, shalat subuh dan bersih-bersih rumah serta memasak. Jam setengah tujuh berjualan sampai sekitar menjelang asyar. Nanti pulang, shalat, makan, baru mengerjakan yang lain, seperti cuci baju, menyeterika dan sebagainya."

Saya tercenung mendengar cerita beliau. Apalagi ketika tahu bahwa untuk menjual kerupuk dari jam setengah tujuh hingga sekitar jam 14, dia menempuh jarak belasan kilometer, mengayuh sepeda tuanya. Berapa keuntungan berjualan kerupuk? Perkiraan saya, hanya sekitar 20-30 ribu sehari.
"Saya butuh uang untuk membantu suami saya yang kerja serabutan. Anak kami 6 orang, dan ada yang kuliah."
Betapa berat beban Sang Ustadzah, batin saya.

Tetapi, seberat-beratnya beban, ternyata beliau masih sempat hadir di masjid setiap untuk mengajari ibu-ibu mengaji. Tak ada perasaan berat. Justru orang-orang seperti saya, yang banyak kesempatan, dimanja dengan fasilitas, penghasilan cukup, terkadang merasa berat bahkan hanya untuk sekadar melangkahkan kaki untuk belajar di majelis-majelis keilmuan. 

* * *


Saat itu Bulan Ramadhan. Jadwal tadarus dipindah ke waktu malam, lepas shalat tarawih hingga sekitar jam 10 malam. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tetapi Bunda Aminah belum juga datang. Akhirnya, saya mencoba berinisiatif menggantikan beliau mengajari ibu-ibu. Alhamdulillah, jelek-jelek begini, saya pernah belajar membaca Al-Quran model Qiroati secara privat ke Ustadzah dari Yayasan Raudhatul Mujawwidin, Semarang.
Tadarus sudah hendak ditutup, ketika kami melihat sosok itu datang. "Bunda Aminah!" teriak kami, girang.
"Aduuuh, maaf. Usai shalat maghrib dan berbuka, saya lelah sekali dan ketiduran. Sungguh menyesal, bangun-bangun sudah jam sembilan lebih. Maaf, saya terlambat. Tadi sempat isya dan shalat tarawih dulu sebentar, baru ingat bahwa saya harus hadir ke tadarusan ini."
Kami semua maklum. Meskipun bulan Puasa, Ustadzah Aminah tetap saja berjualan kerupuk. Panas menyengat beliau terjang tanpa kenal lelah.
Itulah sepenggal kisah tentang Ustadzah Aminah, sosok yang sangat menginspirasi. Sosok yang meski hidup dalam keterbatasan, namun berkomitmen penuh untuk mengabdi sebagai seorang guru mengaji.

Ini ceritaku,  sebuah kisah sejati. Sekarang, mana ceritamu?
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.