alumina48Avatar border
TS
alumina48
Sidang Putusan Soal Larangan Cina Punya Tanah di DIY Ditunda
tirto.id - Sidang putusan soal Instruksi Wagub DIY tahun 1975, yang melarang nonpribumi punya tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditunda dengan alasan berkas putusan belum siap.

"Sebetulnya hari ini putusan ya, tapi Majelis Hakim mohon maaf hari ini putusan sudah diusahakan tapi belum siap, jadi kami tunda untuk putusan dua minggu lagi, Selasa tanggal 20 februari 2018," kata Hakim Ketua Cokro Hendromukti, Selasa (6/2/2018) di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Penggugat dalam perkara ini adalah Handoko, warga keturunan Tionghoa. Ia menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kepala Kanwil BPN DIY atas perbuatan melawan hukum berupa pemberlakuan Instruksi Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 perihal “Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi."


Sidang putusan dijadwalkan berlangsung hari ini, usai sidang kesimpulan yang dilaksanakan dua minggu lalu pada Selasa, 23 Januari 2018. Terkait penundaan ini, Handoko menilai seharusnya berkas putusan sudah selesai karena kasusnya cukup sepele.

"Cukup sepele harusnya sih sudah selesai untuk putusan, tapi hakim merasa belum selesai. Karena putusan ada di hakim saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tunggu saja, kita berdoa agar diberikan yang terbaik dan hakim memutus dengan hati nuraninya," kata Handoko.

Baca juga: Dalil Saksi Ahli Sultan Soal Dasar Larangan Cina Punya Tanah di DIY

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding, penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dilakukan dalam waktu lima bulan.

"MA beri batasan maksimal perkara di pengadilan lima bulan dari sejak mengajukan gugatan, jadi kalau lima bulan belum diputus akan dapat teguran dari MA. Ini sudah hampir lima bulan sejak gugatan masuk," ujar Handoko.

Sementara itu, Kasubag Sengketa Hukum Pemda DIY, Bogi Nugroho, selaku tergugat menyatakan tetap menghormati putusan hakim dan proses hukum yang berlaku.

"Kita tunggu saja besok, kita hormati proses hukum saja. Jadi memang hakim belum menyusun [berkas] secara lengkap, masih memerlukan waktu lagi," kata Bogi.



https://tirto.id/sidang-putusan-soal-larangan-cina-punya-tanah-di-diy-ditunda-cEne

Komen TS: sultan jogja pasti punya alasan khusus kenapa non pribumi atau cina di larang memiliki tanah jogjakarta

Lanjut cerita lain

TAHUN lalu di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, sempat geger dengan kabar bahwa Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X, disomasi seorang Tionghoa. Somasi itu berlatar belakang rasa diskriminasi yang dialaminya soal kepemilikan tanah.

Semuanya berawal dari panggilan Badan Pertanahan Negara (BPN) Kulonprogo kepada Zaelous Siput Lokasari, seorang Tionghoa yang hendak melakukan balik nama kepemilikan tanah seluas 2.125 meter persegi di Triharjo, Kulonprogo.

Tanah itu dibeli atas nama istrinya seharga Rp605 jutaan setahun sebelumnya. Namun seperti tersambar petir, Siput mesti kecewa dengan pernyataan BPN Kulonprogo bahwa sedianya dirinya sebagai etnis Tionghoa, dilarang punya hak milik tanah

Siput membela diri bahwa meski dia Tionghoa, tapi toh dia juga warga negara Indonesia (WNI) dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) resmi Indonesia. Dia merasa didiskriminasi yang di kemudian hari, melakukan somasi pada Sri Sultan HB X.

Ini kenapa sebenarnya? Apakah memang ada diskriminasi atau rasisme di DIY oleh Sultan? Rasa penasaran membawa penulis ingin mengulik sejarahnya.

Dari berbagai sumber, disebutkan bahwa memang pasca-kemerdekaan, ternyata etnis Tionghoa tidak diperbolehkan punya tanah sebagai hak milik. Mereka hanya punya hak pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB) – aturan yang masih eksis sampai sekarang.

Semua itu tak lepas dari benang sejarah di masa revolusi fisik kemerdekaan, tepatnya pada 1948. Saat masih panas-panasnya Agresi Militer II Belanda (19 Desember 1948), mayoritas warga Tionghoa justru berpihak pada Belanda.

Ini pula yang kemudian jadi pertimbangan Sri Sultan HB IX, ayah dari Sultan HB X. Pada 1950 setelah Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia secara umum dan Yogyakarta pada khususnya, terdengar akan adanya isu eksodus warga Tionghoa keluar Yogya.

Mereka takut terjadi “pembalasan” dari masyarakat pribumi, lantaran saat Belanda masih menduduki Yogya, golongan Tionghoa cenderung pro-Belanda dengan memberikan berbagai bentuk sokongan. Namun dengan bijak, Sultan HB IX coba merangkul dan berpesan agar mereka tidak perlu takut.

“Tinggal-lah di Yogya. Tapi maaf, saya cabut satu hak Anda. Yaitu hak untuk memiliki tanah,” tegas Sultan HB IX.

Jadilah masyarakat Tionghoa sejak saat itu hanya punya HGB untuk tempat tinggal mereka. Maka kalau ada sebidang tanah yang dibeli Tionghoa dari pribumi, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu, status tanah itu bakal dialihkan pada negara.

Hal itu bertahan sampai sekarang, sampai pada kasus Siput di atas, di mana dia melakukan somasi pada Sultan HB X meski sang raja sekaligus gubernur merasa tak bukan dirinya yang menetapkan aturan itu.

Komnas HAM juga turut berperan dalam keberanian Siput menggugat Sultan HB X mencabut aturan itu. Sultan HB X sendiri mengaku sempat kaget disomasi.

“Ke aku somasinya? Ya enggak tahu, belum baca aku. Ya enggak apa-apa (disomasi),” jawab Sultan saat ditanya wartawan soal surat somasi Siput kepadanya yang sebelumnya belum diketahuinya.

Sebenarnya aturan itu belum tertulis secara resmi hingga pada 1975. Kala itu Wakil Gubernur DIY Paku Alam VIII mengeluarkan Surat Instruksi dengan nomor K898/I/A/1975 kepada bupati dan wali kota, agar tidak memberikan hak milik tanah kepada warga nonpribumi.

Meski bukan produk undang-undang (UU), namun Wagub sebagai salah satu pemimpin Provinsi DIY berhak mengeluarkan aturan sendiri, karena memiliki UU Keistimewaan. UU Keistimewan ini juga yang berdampak tidak berlakunya UU PA (Pokok Agraria) di Yogyakarta.

Namun menurut penggugat, justru disebutkan Sultan HB IX pada 1983 sudah menyatakan UU PA berlaku di Provinsi DIY. Ditambah dengan keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) 1984 yang ditandatangani Paku Alam VIII yang menurut mereka, otomatis harusnya Surat Instruksi 1975 tak lagi berlaku.

Pergub itu pada Pasal 3 berisi bahwa dengan berlakunya peraturan daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ini yang jadi pegangannya untuk melakukan somasi pada Sultan HB X yang bahkan, mengancam akan membawa kasus ini sampai ke Pengadilan Internasional.

https://news.okezone.com/read/2017/02/25/510/1627879/news-story-merangkul-tapi-tegas-sikap-sultan-hb-ix-terhadap-masyarakat-tionghoa#lastread


Diubah oleh alumina48 07-02-2018 07:35
0
2.3K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.6KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.