sabaracintaAvatar border
TS
sabaracinta
Politik Perang Gerakan LGBT


Perang tidak lagi didefinisikan sebagai bertemunya dua pasukan di medan laga. Perang bisa terjadi dengan melibatkan pihak ketiga, keempat, bahkan lebih dari itu. Dalam konsep perang modern, dikenal istilah perang asimetris dan perang proxy.

Strategi dalam perang asimetris tidak mendasarkan pada kekuatan senjata. Banyak faktor yang menyebabkan pihak-pihak keluar sebagai pemenang perang. Memainkan kekuatan opini publik, pengaruh massa, pengakuan luar negeri, penguasaan media massa, hingga menggunakan kosakata baru (new speak), menjadi senjata ampuh yang digunakan dalam perang asimetris.

Adakah kaitan kondisi sosial kita saat ini yang dipenuhi dengan pemberitaan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dengan perang asimetris? Jawabannya tentu ada. Bangsa Indonesia mengenal istilah LGBT baru beberapa tahun belakangan. Sebelumnya, masyarakat mengenal pria penyuka sesama jenis sebagai homo atau perempuan sebagai biseks. LGBT merupakan sebutan baru yang maknanya sarat dengan kepentingan.

Kita menyadari, saat ini ada paradigma yang berubah tentang lesbianisme dan homoseksualitas. Banyak faktor yang mengubah paradigma, salah satunya adalah globalisasi yang mendatangkan banyak cara pandang atas kondisi kekinian dan kedisinian (world view).

Kekuatan opini publik yang disuarakan banyak aktivis LGBT menjadikan cinta sesama jenis dianggap sebagai hal yang normal. Suara itu bahkan demikian berani disampaikan aktivis LGBT hingga menyerang pejabat negara, dan diwujudkan dengan mensomasi pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan.

Padahal, konstitusi dan regulasi di Tanah Air secara tegas menentang adanya hubungan cinta sesama jenis. Hubungan itu terlarang karena pada hakikatnya bertentangan dengan naluri kemanusiaan.

Aktivis LGBT sejatinya telah melakukan movement (pergerakan) yang tujuannya adalah pengakuan atas cinta sejenis dan eksistensi kelompok. Dia menjadi gerakan asimetris yang menggunakan pola "hit and run" karena mereka sadar berada di sebuah negara dengan populasi mayoritas adalah penentang homoseksual dan lesbian.

Sejauh ini, bisa diamati pola gerakan yang bisa dipetakan adalah penggunaan media massa, media sosial, akademisi, bahkan lembaga politik. Kita tidak mengetahui pasti siapa di balik kelompok LGBT ini, apakah negara-negara asing yang tengah memainkan perang proxy untuk menciptakan distabilitas bangsa dan negara.

Mengapa disebut perang proxy? Bisa saja negara-negara asing mendonorkan dana ke aktivis LGBT untuk memberangus kelompok lain yang dianggap sebagai lawan dan ancaman. Hal seperti ini biasanya dilakukan agar ada penyangkalan bahwa aktor sesungguhnya dari berkembangnya isu LGBT di Tanah Air adalah negara lain.

Motivasinya bisa banyak agar negara bisa bernegosiasi dengan Pemerintah Indonesia, atau untuk menghindari negara dituduh sebagai pelaku dan tidak bertanggung jawab atas dampak yang terjadi setelah isu LGBT merebak dan meresahkan banyak pihak.

Lebih dari itu, LGBT pada hakikatnya adalah penyakit kejiwaan yang harus dicari obatnya. Selain tentu saja, negara kita tidak mengenal adanya pernikahan sejenis. Dalam Undang-Undang Pornografi, misalnya, hubungan sejenis dianggap sebagai penyimpangan dan abnormal. Konstitusi kita juga secara tegas menolak perikehidupan yang hanya mendewakan nafsu.

Orientasi seksual tidak hanya urusan hak, tetapi juga soal norma hukum, susila, dan agama. Dengan demikian, fenomena homoseksualitas, di samping bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan, merupakan tindakan ilegal dan inkonstitusional.

Melindunginya adalah tindakan salah, dan mengampanyekannya merupakan tindakan melawan hukum. Masalah homoseksual tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan HAM dan demokrasi liberal karena pada hakikatnya LGBT merupakan kelainan seksual.

Dalam konteks perlindungan anak, gerakan LGBT ini sungguh berbahaya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya akun Twitter yang melakukan kampanye LGBT dengan memasang foto dan video anak-anak yang telah terpapar virus penyuka cinta sejenis.

Jika tidak segera ditangani, hal ini akan menciptakan kerusakan tatanan sosial yang telah mapan. Anak akan tersingkir dari keluarga karena sudah terpapar virus homoseksual dan lesbian. Secara faktual, mereka yang sudah diketahui sebagai penyuka sesama jenis biasanya dikucilkan dan tidak diakui oleh keluarga.

Anak-anak sangat rentan untuk menjadi korban dari orang-orang yang memiliki perilaku seks menyimpang karena mudah diperdaya. Karenanya, di samping langkah preventif, perlu ada penindakan hukum yang keras terhadap pelaku yang memperdaya, membujuk rayu, dan menjadikan anak sebagai korban orientasi seks menyimpang. Upaya pencegahan juga mencakup semua aktivitas yang memungkinkan anak terpapar orientasi seks menyimpang, baik sebagai korban atau pelaku.

Di samping preventif, proses rehabilitasi diperlukan untuk mereka yang sudah telanjur menjadi bagian dari kelainan tersebut. Harus ada penyadaran bahwa homoseksual adalah kelainan sehingga perlu direhabilitasi. Sesulit apa pun proses rehabilitasi, upaya itu tetap harus dilakukan agar jumlah pelaku homoseks tidak membesar. Apalagi, menyasar ke anak-anak.

Negara harus tegas terhadap pihak-pihak yang mendukung dan mengampanyekan tumbuh suburnya praktik homoseksualitas di masyarakat, apalagi bersembunyi di balik jargon kebebasan dan hak asasi manusia. HAM yang berlaku di Indonesia bukan tanpa batas. HAM dibatasi oleh hukum, norma susila, dan juga agama sebagaimana jelas diatur oleh konstitusi kita.

KPAI tentu mengapresiasi perlawanan balik dari banyak pihak terhadap gerakan LGBT. Salah satunya adalah seperti yang telah dikumandangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui rekomendasi mukernas yang secara jelas menolak LGBT, beberapa waktu lalu. Melawan LGBT tidak cukup dengan gerakan moral, tetapi melalui gerakan politik yang disuarakan partai.

Selain itu, demi kepentingan perlindungan anak, KPAI mendesak intelijen negara untuk menyusup ke aktivis LGBT yang telah berani menyerang para pejabat negara di media sosial. Ungkap siapa aktor utama di balik merebaknya isu LGBT yang kini kian meresahkan.

Sudah tentu, perang asimetris dan proxy yang dilancarkan gerakan kelompok LGBT jangan sampai meruntuhkan tatanan sosial dan masyarakat Indonesia yang sudah 70 tahun lebih hidup dalam kemapanan. n

Asrorun Niam Sholeh, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

sumber: http://www.republika.co.id/berita/ko...g-gerakan-lgbt
0
5.1K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.9KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.