Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

arkianwidiAvatar border
TS
arkianwidi
Ketika Kita Pikir Buang Sampah Pada Tempatnya, Tugas Sudah Selesai


RW 08 Camar Pinguin (CaPing) Bintaro Jaya, langganan juara kedua lomba Kebersihan, Ketertiban, dan Kelestarian Lingkungan dua tahun berturut-turut. Prestasi yang membanggakan. Namun ternyata kemenangan hanyalah keberhasilan memindahkan sampah ke tempat lain. Dari temuan ini, CaPing mulai punya jawaban tentang merumuskan masa depan yang layak tanpa sampah. Ikhtiar pun dimulai

Kepak Camar Pingun di Tangerang Selatan: Gerakan Kota Tanpa Sampah

Dalam satu diskusi Rujak Center for Urban Studies “New Urban Agenda: Citizen Tactics!” beberapa waktu lalu, Adi Wibowo dari Lab Tanya mengisahkan. Berawal dari keingintahuan. Apakah dengan dinobatkan sebagai lingkungan teladan serta merta juga jadi lingkungan bebas sampah?.

“Di tempat kami tinggal, di klaster pemukiman Bintaro Jaya. Tiap tahun ada annual program, semacam penghargaan untuk kawasan bersih dan lestari. Klaster kami juara II dari 2014. Dua tahun berturut-turut. Kami iseng mendalami masalah lebih lanjut. Ingin tahu, apakah klaster yang bersih kemudian terbebas dari masalah sampah,” imbuhnya.

Adi dan kawan-kawan pun iseng mengamati apa yang disebutnya galeri seni di pagi hari. Bergantungan plastik-plastik sampah, berjejer di tiap pagar, beraneka warna dan ukuran.

“Dari jam setengah 7 hingga jam 10 pagi ada galeri gantungan sampah di depan rumah dengan berbagai macam warna dan bentuk. Kami iseng tiap pagi nimbangin, karena menarik. Kami timbang beberapa sampelnya. Kami hitung dan validasi dengan volume truk yang keluar-masuk tiap hari. Kurang lebih ada sekitar 3 ton sampah keluar dari lingkungan kami tiap hari,” jelasnya.

Dari situ diketahui, sekitar 2,4 juta kilogram sampah berhasil dipindahkan selama kemenangan (2014-2015). Sampah CaPing harusnya dikirim ke TPA Cipeucang. Tapi karena kelebihan tampung, sampah terpaksa ‘dititipkan’ di kota tetangga: TPA Rawa Kucing. Akibatnya, TPA Rawa Kucing terancam tak sanggup lagi menampung kiriman sampah. Satu menang, satu lagi dirundung malang.

“Selama 2 tahun juara lomba kebersihan, sekitar 2 juta kg sampah pindah dari lingkungan kami ke tempat lain. Yang kami cuma tahu pindahnya ke truk. Itu tidak dipahami sebagai sebuah masalah. Membuat kami kemudian memberanikan diri melakukan sesuatu,” tandasnya





Rumah Laboratorium Sampah

Menurut Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Kota Tangerang Selatan, Tangsel menghasilkan 800 ton sampah perhari. Hanya 18,75% mampu ditampung TPA Cipeucang. Dari yang bisa ditampung, hanya 30% bisa dikelola di sana. TPA Cipeucang berluas sekitar 34 hektar dengan jumlah sampah yang terus bertambah tiap tahun.

Hanya karena tiap pagi buang sampah pada tempatnya, sebut Adi, kita pikir kita sudah beradab. Tapi kita tidak pernah tahu mau dibawa kemana sampah kita. Ternyata belumlah selesai. Masih ada rangkaian pengelolaan yang belum kita ketahui.

“Secara tidak langsung dan tidak sadar ternyata kami telah zalimi tempat dan warga lain. Tempat di mana warganya kami kirimi sampah,” aku Ibu Puji Susilo Ketua RW 08 Caping Bintaro Jaya.

Sadar ‘bersih’-nya mereka menzalimi yang lain, bergegas RW 08 CaPing berbuat sesuatu di luar kebiasaan: bersungguh hidup mengurangi sampah rumah tangga.

Terprovokasi LabTanya, warga CaPing menerima tantangan ‘Simulasi: 7 Hari Mengurangi Sampah Rumah Tangga’. Suatu metoda riset sekaligus eksperimen sederhana warga memahami lebih luas dan mendalam tentang sampah lewat langkah-langkah praktis.

“Sebelumnya kita melihat sampah hanya sektoral, terbatas di tempat sampah. Padahal sampah tidak datang tiba-tiba. Ada peristiwa mengiringi yang kemudian berakhir menjadi sampah. Ada pra produksi atau pra konsumsi, “sebut Adi.

Maka kini warga CaPing belajar memahami sampah sebagai indikator. Karena begitu melihat sampah di keranjang, kita punya indikator masih ada masalah di rantai panjang keseharian yang bermula dari rumah kita .

“Mengajak warga menjadikan tiap rumahnya laboratorium riset. Warga mengamati siklus sampahnya dari barang masuk pintu rumah hingga berakhir ke keranjang sampah. Lalu, siapa saja yang terlibat. Kemudian bagaimana mengintervensi keseharian dengan melakukan sesuatu yang berbeda. Sehingga tidak ada lagi tempat sampah,” tuturnya.

Warga CaPing melakukan satu proses riset mandiri di tiap rumahnya. Mencatat semua, menimbang, bagaimana sampah bisa berkurang di keranjang. Atau bisakah kita hidup tanpa tempat sampah. Karena, menurut Adi, tempat sampah hanya membantu kita memproduksi sampah lebih banyak ketimbang mengurangi masalah sampah.

“Tiap hari menimbang. Sampah berkurang berapa banyak. Karena tiap rumah bisa pakteknya bisa berbeda-beda. Kasusnya juga berbeda tiap rumah. Yang menarik sampah bisa berkurang hingga 95%. Artinya sampai terpaksa keluar dari rumah cuma 5% saja,” bebernya.

Selanjutnya, secara alami, warga mulai berani bergerak keluar dari zona individual. Mulai berani berdakwah, mengumpulkan tetangga. Berbagi pengalaman sukses ternyata sampah bisa dikurangi. Di arisan mulai memprovokasi yang lain. suatu pengetahuan yang berkembang menjadi kekuatan pendorong gerakan-gerakan selanjutnya.

David Mathews dalam ‘Ekologi Demokrasi’ menulis, problem-problem yang dihadapi masyarakat selalu mempunyai sisi manusiawi dan tidak bisa dipecahkan tanpa bantuan yang berasal dari warga yang bekerjasama dengan warga lainnya.

Warga CaPing menempuh riset dan eksperimen mandiri, bersama bekerja saling bergandengan merumuskan solusi terbaik untuk tempat tinggalnya. Mereka mengamati siklus sampah domestik lewat laboratorium riset rumahnya. Tiap hari mencatat, mulai dari barang masuk pintu rumah hingga berakhir ke keranjang sampah.

Gerakan ini menjadi kekuatan pendorong geliat berikutnya. Komunitas berkembang menjadi satu keluarga. Warga rutin melakukan pertemuan. Menjalin koordinasi lewat musyawarah dan penguatan. Bergulir ide-ide menantang yang belum dipikirkan sebelumnya; gerakan belanja tanpa sampah, buka warung tanpa sampah.

Hipotesa pun terus diuji. Inisiatif terus berjalan, dan dicoba di banyak tempat. Secara alamiah, warga beranjak keluar dari zona individual. Komunitas Agar resonansi meluas getar lebih terasa lagi, mereka memadukan segenap potensi tetangga-tetangga lain. Membagi pengetahuan tentang sesuatu yang begitu dekat dengan keseharian. Menggedor kesadaran akan konsekuensi dari sesuatu yang kita konsumsi tiap hari.

Gerakan Kota Tanpa Sampah merupakan tindaklanjut pematangan gagasan hasil demokrasi warga ke tataran nyata. Inisiatif yang mengikusertakan seluruh elemen masyarakat dari berbagai latarbelakang, dimulai dari penanganan sampah, bekerja bersama mengurai satu demi satu problematika kota agar menjadi satu formula solusi yang menyeluruh.

Kala semangat gotong royong kembali mengemuka di peringatan 72 tahun Indonesia Merdeka, Gerakan Kota Tanpa Sampah juga turut mengaktualkan lagi semangat bahu membahu membangun Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Mengutip David Mathews dalam ‘Ekologi Demokrasi’ “Pekerjaan yang dilakukan warga bersama warga lainnya, pada intinya, adalah pekerjaan untuk menciptakan hal-hal esensial untuk menanggulangi berbagai masalah. Di manakah pekerjaan dilakukan? Briggs percaya komunitas adalah perkumpulan penting yang memutuskan dan melakukan, bukan karena semua sumber yang diperlukan bersifat lokal, tetapi karena “masyarakat tidak bisa bekerja tanpa sistem lokal yang efektif untuk bertindak mengatasi masalah masalah publik.”
Diubah oleh arkianwidi 30-11-2017 01:51
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
Citizen JournalismKASKUS Official
12.9KThread5.2KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.