selldombaAvatar border
TS
selldomba
Pedagang Mengeluh Pasar Rakyat Sepi
WARTA KOTA, PALMERAH - Hujan turun dengan deras saat Sutopo (52) termangu di depan kios kelontongnya di komplek Pasar Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Sambil terkantuk-kantuk, ia terus memandang ke arah jalan raya.

Istri Sutopo, Rusnawati (50), memilih untuk memindahkan sebagian dagangannya ke dalam kios.

Sudah lebih dari dua jam tidak ada satu orang pun yang berbelanja di kios suami-istri asal Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, itu.

"Mau tutup saja kiosnya. Kayaknya sudah tidak ada lagi orang datang. Jangankan hujan, cuaca terang saja pasar ini sepi," kata Sutopo setelah sebelumnya terkejut saat Warta Kota menyapanya, Selasa (24/10/2017) lalu.

Sutopo lalu bercerita mengenai kondisi para pedagang di Pasar Pesanggrahan yang kian terhimpit.

Beragam ekspresi pun terpancar dari wajah serta intonasi bicaranya, mulai dari ungkapan kemarahan, kesedihan, pasrah.

Namun di saat lain tiba-tiba ia tertawa sendiri, menertawakan kondisi yang ia hadapi kini.

Di sela perbincangan, Sutopo berdiri kemudian mulai mengangkat karung-karung beras dan menumpuknya di salah satu sudut kosong kios.

Pasar Pesanggrah­an merupakan salah satu dari lima pasar rakyat yang diprogramkan Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Selain Pasar Pesanggrahan, empat pasar rakyat lain yakni Pasar Manggis di Jakarta Selatan, Pasar Kebon Bawang di Jakarta Selatan, Pasar Kampung Duri di Jakarta Barat dan Pasar Nangka Bungur di Jakarta Pusat.

Jokowi melakukan peletakan batu pertama di Pasar Manggis pada Rabu (6/11/2013).

Pembangunan pasar-pasar dengan total anggaran Rp 50 miliar itu selesai pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.

Pasar rakyat saat itu digadang-gadang menjadi solusi untuk mengembalikan kejayaan pasar tradisional.

Tetapi tampaknya kenyataan yang terjadi tidak sesuai harapan. Pasar-pasar itu kini semakin sepi.

Para pedagang dilanda kegundahan akibat omzet mereka terjun bebas.

"Omzetnya sekarang turun banyak karena pembeli yang datang sedikit, itu-itu saja. Saya juga heran, pasar sudah dibangun lebih bagus malah orang-orang nggak mau datang. Sekarang ya harus banyak sabar saja," kata Sutopo di sela aktivitasnya mengangkat karung beras.

"Saya menyewa tiga kios di sini," imbuhnya seraya menunjuk tiga kios yang telah digabung menjadi satu.

Menurutnya, omzet yang ia dapat tidak sebanding dengan biaya pengeluaran untuk sewa tiga kios.

Satu kios berukuran 2x2 meter, biaya retribusinya Rp 275.000 per bulan.

Belum lagi tagihan listrik yang harus dia bayar.

Tidak kuat

Sutopo menuturkan, sepinya pembeli justru terjadi setelah pasar yang terletak di Jalan Garuda RT 07/14, Kelurahan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, diresmikan Basuki Tjahaja Purnama pada 26 Agustus 2016 lalu.

"Tidak lama setelah diresmikan, sebagian pedagang malah pindah karena sepi sekali. Belakangan memang ada beberapa pedagang yang masuk, tapi mereka hanya kuat beberapa bulan saja. Setelah itu mereka pindah lagi," jelasnya.

Pasar Pesanggrahan berdiri di atas lahan seluas 2.360 meter persegi dengan luas bangunan 533,60 meter persegi dan terdiri dari dua lantai.

Pasar ini berisi 158 tempat usaha yang terdiri dari 110 kios dan 48 los.

Masing-masing kios memiliki luas 4 meter persegi, sementara los berukuran 1,95 meter persegi.

Pasar Pesanggrahan dibangun oleh PD Pasar Jaya dengan menghabiskan dana sebesar Rp 6,8 miliar.

Berdasarkan pengamatan Warta Kota, sejumlah atap di sisi luar bocor saat turun hujan.

Di dalam area pasar, tidak tampak suasana hiruk-pikuk orang seperti yang biasa dijumpai di sebuah pasar.

Sebagian besar kios justru tutup. Di lantai satu, didominasi oleh pedagang sembako dan pakaian.

Sementara, di lantai dua, hanya ada beberapa penjahit yang tetap bertahan meski penghasilan mereka makin menurun.

Seorang penjahit bernama Paimin (51) mengungkapkan, dalam sehari rata-rata hanya dua orang yang datang menggunakan jasa jahitnya.

"Kalau di sini jam 11 siang saja sudah sepi. Sehari palingan saya dapat dua pelanggan saja," jelasnya.

Hujan masih turun hingga sore hari. Halaman pasar yang berada persis di sisi jalan besar pun mulai dipenuhi tenda-tenda penjual makanan.

Halaman yang cukup luas itu pada sore hingga malam hari memang dimanfaatkan sejumlah orang untuk menjajakan aneka kuliner.

Sementara, pada sore itu, para pedagang pasar mulai pulang dengan wajah yang murung.

Jualan di luar

Kondisi sepinya pembeli tidak hanya dialami pedagang di Pasar Rakyat Pesanggrahan. Pedagang di Pasar Rakyat Kebon Bawang yang berada di Jalan Swasembada XVI, Kelurahan Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara, juga bernasib sama.

Meski sudah lebih dari setahun diresmikan, kondisi pedagang tidak lebih baik dari sebelumnya.

Sepinya pasar sudah terlihat saat Warta Kota masuk ke area parkir pasar, beberapa waktu lalu.

Lazimnya pasar tradisional, di area parkir saja biasanya suasana sudah ramai.

Namun hal itu tidak terjadi di Pasar Kebon Bawang, di mana situasi di area parkir sangat sepi.

Ketika memasuki area dalam pasar, pemandangan yang dijumpai hanya deretan kios dan los yang tutup.

Hanya belasan kios saja yang buka.

Itu pun para pedagangnya hanya saling berbincang satu sama lain, karena tidak ada pembeli datang ke kiosnya.

"Semenjak diresmikan sama Pak Ahok, pasar ini sering sepi. Kami justru semakin bingung. Padahal kondisi pasar di sini sudah bersih dan gedungnya juga masih bagus karena baru diresmikan setahun lalu," kata seorang pedagang ikan, sayur mayur dan bumbu masakan, Asih (50) dengan wajah pucat.

Pedagang lainnya pun mengucapkan hal sama yakni Asrun (31). Dia berdagang sayur-mayur di pasar itu.

Sepinya pengunjung membuat dirinya semakin stres. Omzet yang dia dapat tidak sebanding dengan biaya kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejumlah pedagang yang masih bertahan mengaku tidak punya pilihan lain. Padahal, kata pedagang bernama Hanip (30), banyak pedagang terdepak dari pasar itu lantaran tidak kuat membayar uang retribusi.

Ia mengatakan, pengelola Pasar Rakyat Kebon Bawang sempat memberikan surat peringatan untuk membayar, namun pedagang bersangkutan membiarkannya.

"Banyak kios tutup karena pedagangnya tidak membayar uang sewa kios. Maksudnya bukan tidak sanggup bayar, namun pedagang-pedagang di sini enggak tahan sama sepinya. Sepi sekali pembeli di sini dan mereka semua pedagang dalam arti lain ya kabur. Sekitar 30-an pedagang kabur. Mereka sengaja tidak membayar retribusi dan memilih berdagang di pinggiran kali di Jalan Swasembada Timur XXI di sana itu. Di sana lebih ramai pembeli," papar Hanip.

Siap menampung

Katsani selaku Wakil Kepala Pasar Rakyat Kebon Bawang membantah jika banyaknya kios yang tutup akibat pedagang di Pasar Rakyat Kebon Bawang menunggak.

Dia mengatakan, para pedagang yang kiosnya kini diberi ditempeli surat peringatan itu, lantaran berdagang di luar kios.

"Dari 114 kios, ada 30 kios yang memang saat ini tutup karena pedagangnya berdagangnya di luar pasar. Surat peringatan yang kami berikan, justru memperingatkan si pedagang agar aktif berdagang di Pasar Rakyat Kebon Bawang. Pasar ini memang sepi ya karena itu tadi, sebagian pedagangnya juga berjualan di luar pasar, pinggir jalan. Sudah kami berikan peringatan," kata Katsani saat dihubungi Warta Kota.

Sementara, Hendri selaku Kepala Pasar Rakyat Kebon Bawang, membenarkan apabila kebanyakan kios yang tutup bukan diakibatkan karena pedagang tersebut terlambat bayarkan iuran sewa.

"Memang kebanyakan pedagang itu berjualan di pinggir jalan bersama dengan pedagang kaki lima (PKL) lain, di pinggir Jalan Swasembada Timur XXI itu. Pedagang yang di sini karena melihat (di sana) lebih ramai, akhirnya mereka ikut berjualan di situ. Pedagang yang di sini tetap membayar, rajin. Memang, kami saat ini tengah koordinasi dengan pihak Kelurahan setempat, agar mendorong PKL itu ke sini. Kita PD Pasar Jaya siap menampung. Kami segera siapkan apapun yang mereka minta," katanya.

Tidak ke pasar lagi

Makin menurunnya jumlah masyarakat yang berbelanja ke pasar tradisional disebabkan beberapa faktor, antara lain perubahan perilaku pembeli. Banyak konsumen yang selama ini berbelanja di pasar, kini tidak lagi datang ke sana.

Wanti (34), warga Pesang­grahan mengakui belakangan ia jarang pergi berbelanja berbagai bahan kebutuhan ke pasar.

Padahal, jarak rumahnya dengan Pasar Rakyat Pesanggrahan tidak lebih dari satu kilometer.

Menurutnya, saat ini zaman serba mudah. Di lingkungan tempat tinggalnya saja, sudah ada pedagang sayuran yang berjualan di waktu-waktu tertentu.

"Kalau pagi kan ada penjual sayur keliling di dekat rumah. Biasanya saya belanja di situ, lebih praktis. Harganya juga tidak selisih jauh dengan yang dijual di pasar. Kalau sekadar beli beras, minyak atau gula juga banyak toko sembako. Kadang juga ke minimarket," jelasnya.

Wasini (48), warga Duren Tiga, Jakarta Selatan mengaku sudah lebih dari tiga tahun tidak pergi ke pasar tradisional.

Kemudahan yang dirasakannya kini, membuatnya memilih untuk berbelanja secara praktis dengan memanfaatkan para pedagang sayur keliling atau minimarket yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggalnya.

"Orang sekarang kayaknya sudah pada jarang ke pasar. Yang banyak belanja ke pasar justru para pedagang keliling. Nanti pedagang itu yang datang ke perkampungan," katanya.

Warga lain dari kalangan menengah, Rida (24), saat ini bahkan tidak terbayang untuk pergi ke pasar tradisional. Menurutnya, selama ini ia memilih berbelanja ke supermarket dengan sejumlah pertimbangan.

Bahkan, ia tidak tahu sejumlah pasar tradisional kini memiliki fasilitas yang lebih modern dan tidak becek. (fha/bas)

http://wartakota.tribunnews.com/amp/2017/11/06/pedagang-mengeluh-pasar-rakyat-sepi

Daya beli tidak menurun lho... Yang bilang daya beli menurun fix pasti nasbung.

emoticon-Mad

emoticon-Hammer2
0
7.3K
74
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.