rezzkyforceAvatar border
TS
rezzkyforce
Membedah otak Hasan Tiro


"ayah saya dibunuh oleh tentara..." Kalimat ini meluncur deras dari mulut Haekal Afifa, kelahiran Aceh Utara, ketika saya menanyakan latar belakang dan sekelumit sejarah keluarganya.

Saya menemuinya di sebuah kedai kopi di Banda Aceh saat siang beranjak sore, tiga bulan lalu.

Haekal dikenal sebagai salah-seorang yang secara intensif mendalami pemikiran Hasan Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka, GAM. Tiroisme, begitulah kalangan anak muda menyebut fenomena untuk menggali pemikiran-pemikiran pria bertubuh mungil itu.

Haekal telah menerjemahkan salah-satu buku karangannya dan rajin mengumpulkan dokumen tentang sosok tersebut. "Ini penelitian saya selama enam tahun belakangan in," tambahnya.

Berminat sepenuh hati terhadap sejarah Aceh, dia kemudian mendirikan Institut Perabadan Aceh, IPA sebagai embrio awal untuk mendirikan lembaga pendidikan, literasi, kampanye sejarah dan konflik Aceh.

Kembali ke percakapan perihal latar belakang keluarganya. Merasa tidak enak, saya kemudian meminta maaf. Kuanggap pertanyaanku itu membuatnya teringat kembali peristiwa tragis itu. Tidak masalah, katanya pelan. "Saya rileks saja.

Sulaiman, begitu nama ayahnya, terbunuh dalam kontak tembak dengan TNI sekitar 17 tahun silam. Sang ayah sebelumnya beberapa kali ditangkap TNI. Seperti sama-sama tahu, saya tidak menanyakan apakah ayahnya anggota Gerakan Aceh Merdeka, GAM atau bukan ketika konflik itu terjadi.

"Mayatnya dibuang di Aceh Timur." Saya lagi-lagi mencoba menahan napas, tetapi Haekal melanjutkan ceritanya - datar sekali: "Sayangnya, yang muncul di media, (disebut) mayat tidak dikenal."

Dihantui perasaan kecewa dengan Indonesia, ibunya - "namanya Nur Laila," kata Haekal - kemudian memilih menjadi warga negara Malaysia, dan keluarga besarnya memutuskan untuk meninggalkan Aceh demi keselamatan dan masa depan yang belum menentu.

Kepada anak-anaknya, mendiang ayah dan ibunya mewasiatkan agar mereka lebih mementingkan studi. Haekal sendiri akhirnya berlabuh ke Jakarta hingga lulus kuliah pada 2004 lalu. "Saya pikir banyak cara untuk melawan, salah-satunya dengan belajar."

Peristiwa pahit dan traumatik ini, tentu saja, membekas dan membuat dirinya saat itu meninjau ulang hubungan Aceh dan Indonesia. "Saya mulai merekonstruksi siapa Aceh dan siapa Indonesia? Saya menjadi kritis dalam melihat sejarah Indonesia."

Lama meninggalkan Aceh, selain karena latar konflik itu tadi, Haekal kemudian secara moral terpanggil untuk mengetahui lebih lanjut tentang keacehannya. Teks sejarah Aceh yang menyebut bahwa mereka adalah bangsa besar ikut pula mendorongnya untuk mendalami sejarah.

Tentu saja,"tidak bisa sekedar membanggakan masa lalu, tapi lebih kepada melihat identitas," katanya. Tidak mungkin seseorang itu tidak memiliki latar belakang identitas, tambahnya.

Haekal memilih menggali masa lalu Aceh melalui apa yang disebutnya sebagai "kaca mata Aceh". Sebaliknya apabila menggunakan kaca mata non-Aceh akan "sulit menemukan Aceh," tandasnya.

"Misalnya, dari sumber-sumber Aceh, seperti manuskrip dan lain-lain, semua itu tertera dengan jelas bagaimana Aceh dan siapa Aceh di masa lalu, dan apa yang dikerjakan orang Aceh di masa lalu. Itu semua ada."

Sejarah Aceh yang tertulis dalam sumber primer itu, menurutnya, dimanfaatkan Kolonialisme Belanda untuk kepentingannya. Dianggap bias, teks seperti itu kemudian disebarkan dan kemudian diamini - selain dikritisi, tentu saja.

"Ketika kita konfrontasikan dengan sumber-sumber lain, misalnya, ini berbenturan antara narasi Snouck Hurgronje dan narasi orang Aceh," jelas Haekal. Kepada saya, dirinya kemudian mengungkap sejumlah teks versi Hurgronje tentang Aceh yang disebutnya bias.

Pada saat hampir bersamaan, Haekal bersinggungan dengan teks tentang sosok Hasan Tiro melalui buku karyanya Demokrasi untuk Indonesia, yang terbit pada 1958. Membaca tuntas buku itu, Haekal menyimpulkan bahwa sang penulis adalah sosok pemikir.

Dalam menggali pemikiran Hasan Tiro, Haekal pun mencoba menganalisanya melalui kaca mata Hasan Tiro sendiri, kaca mata Aceh dan Islam. "Tidak bisa melihat dia dengan kaca mata Aristoteles, Nietzsche, atau Umberto Eco. Saya pernah mencoba, tapi tidak pernah bisa dipertemukan."

Haekal mengutarakannya secara tertawa tipis. "Hasan Tiro harus dilihat dari sumber awal, bahwa dia orang Aceh, dan beragama Islam."

Begitulah. Membaca buku-bukunya serta mendengarkan kaset berisi pidatonya, Haekal memperoleh perspektif baru tentang sosok tersebut sekaligus mengubah cara pandangnya dalam melihat Indonesia.

'Perkenalannya' dengan Hasan Tiro, pada akhirnya, membuatnya mempertanyakan ulang sejarah Aceh versi sejarah resmi yang diterbitkan Jakarta. "Dia dianggap momok yang menakutkan bagi lawan-lawannya," katanya.

Diwarnai samar-samar percakapan bahasa Aceh dari ruangan sebelah, dan ditemani dua cangkir kopi di meja berukuran lebar, percakapan kami akhirnya menyentuh Aceh masa kini, 12 tahun setelah GAM-Indonesia memilih jalan damai.

Apa pentingnya menguliti isi kepala Hasan Tiro dalam situasi sekarang ketika konflik sudah berakhir dan bukankah semua wacana diberi tempat dalam posisi yang sama ? Tanya saya.

Haekal mensyukuri kesepakatan damai itu diteken ("Kita bersyukur, banyak yang dulu tabu untuk dibicarakan, saat ini mulai terbuka," akunya), tetapi menurutnya masih tetap relevan untuk memikirkan ulang apa yang dipikirkan dan dilakukan Hasan Tiro, setidaknya dalam konteks demokrasi dan perdamaian hari ini.

Dia mengatakan kritikan tajam Hasan Tiro terhadap Indonesia tentang konsep sentralisasi, otonomi luas, federasi dan hubungan mayoritas-minoritas, masih relevan dalam melihat hubungan Aceh dan Jakarta saat ini.

"Saat ini, konflik semacam ini sudah mulai muncul, walaupun dalam konteks agama," ungkapnya. Maksudnya, penerapan Perda Syariat Islam di Aceh yang diwarnai penolakan karena dianggap bertentangan hukum nasional, dan konflik antara mayoritas dan minoritas di Indonesia, khususnya identitas bersama.

Demikian pula, cara pandang Hasan Tiro ketika mengkritik sejarah nasional Indonesia yang dianggapnya 'Jawa sentris' masih layak digaungkan pada situasi sekarang. Haekal memberi contoh apa yang disebutnya sebagai "nasionalisasi Hari Kartini".

"Tidak selayaknya bangsa yang besar seperti Indonesia itu menasionalisasi suatu tokoh," katanya," karena memang ada daerah lain yang memang punya ikon pahlawan perempuan sendiri."

Ketika saya menanyakan apakah cara pandang yang terlalu Aceh sentris seperti itu akan terjatuh dalam perangkap chauvinisme? Haekal tidak melihat kekhawatiran itu. Tidak tepat, tegasnya.

"Ini maaf", katanya dengan nada pelan saat dirinya mulai memberikan jawaban. Tidak masalah, saya menanggapi. Menurutnya, sebutan Hasan Tiro terhadap istilah 'kolonialisme Jawa' tidak bermaksud mengatakan bahwa semua orang Jawa itu berwatak kolonialis. Hal ini, hampir sama saat Multatuli mengkritik bangsanya (Belanda) yang melakukan kolonialisasi di Aceh.

Dari membaca buku-buku Hasan Tiro, Haekal menyimpulkan bahwa sang penulis tidak bermaksud menjelek-jelekkan suku Jawa. "Yang ingin dia sampaikan adalah sistem, bukan suku (Jawa). Dia tidak bicara secara ras, suku, tidak. "

Sistem yang dimaksud adalah sistem Indonesia yang disebutnya sentralistik. Haekal mencoba meyakinkan saya dengan merujuk kepada eks anggota GAM yang disebutnya tidak melulu diisi oleh orang Aceh. "Banyak orang Jawa, Deli Melayu, bahkan orang Papua masuk GAM."

Sebaliknya Haekal menganggap bahwa nasionalisme Indonesia, saat itu, yang disebutnya bersikap chauvinistic ketika terjadi - apa yang disebutnya - "alat negara memberantas penduduknya sendiri".

Di ujung penjelasannya, Haekal menjelaskan bahwa "Indonesia harus bersyukur kehadiran sejarah Aceh yang begitu besar, harus dilihat sebagai bagian sejarah Indonesia sendiri."

Haekal menyayangkan bahwa saat ini pemikiran Hasan Tiro tersebut tidak dibaca dan dipahami oleh 'anak ideologisnya' sendiri, yaitu eks anggota dan sebagian pimpinan GAM yang kini berlabuh di Partai Aceh atau partai pecahan lainnya.

Dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus mengeksplorasi dan mengenalkan Tiroisme ke khalayak luas Aceh, sebagai bagian dari sejarah Aceh dan Indonesia yang tidak bisa dipisahkan

emoticon-Cendol (S)emoticon-Cendol (S)emoticon-Cendol (S)
Diubah oleh rezzkyforce 26-10-2017 09:34
0
8.3K
39
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.