portieAvatar border
TS
portie
Millenial di dunia kerja
Hi agan-agan.

Saya percaya bahwa semua yang saya lakukan, saya harus memberi dampak positif ke teman2. Oleh karena itu, di hari yang indah ini, saya mau berbagi tulisan untuk agan2 semua. Semoga tulisan ini memberi inspirasi untuk semua. Ini adalah thread serius pertama yang saya buat, jadi maaf kalo ada salah-salah.

Tulisan ini saya buat karena saya tersentil dengan satu video di youtube dan ingin membuat agan-agan tersentil juga, hehe, lebih senang lagi kalau agan mendapat inspirasi dari tulisan ini. Saya menulis tanpa pamrih, jadi gak usah repot-repot kasih cendol. Cukup baca sampe akhir sudah membuat saya senang.

Tulisan ini saya buat berdasarkan kata-kata Simon Sinek, dia adalah pembicara bisnis dan kepemimpinan yang terkenal di US sana, dia pernah nulis buku juga, teori dia yang terkenal adalah "The Golden Circle" yang membahas tentang bagaimana pemimpin bicara. Teori itu menarik, tapi yang mau saya bahas bukan itu, saya mau membahas tentang teori dia yang lain tentang generasi millenial di dunia kerja. Tulisan ini kebanyakan adalah terjemahan dari kata-kata dia, saya gak mau banyak nambah-nambahin, takutnya malah salah, hehe.

Ini gan yang namanya Simon Sinek:
Spoiler for Simon Sinek:


OKE LET'S BEGIN.

Millenial adalah generasi yang lahirnya kira-kira sekitar tahun '84 dan setelahnya, generasi ini dibilang oleh para generasi pendahulu sebagai generasi yang susah diatur, yang selalu merasa dirinya spesial, narsis, tergila-gila sama diri sendiri, tidak fokus, dan malas. Karena dunia saat ini mengalami krisis kepemimpinan, para pemimpin perusahaan mencari jalah mudah dengan menanyakan saja kepada generasi millenial, "LOE ITU MAUNYA APE?". Pertanyaan itu dijawab oleh kaum millenial kurang lebih seperti ini:

  • Kerja di tempat yang punya tujuan jelas emoticon-Big Grin
  • Kami mau apa yang kami kerjakan memberi "impact" emoticon-Cool
  • Kami mau makanan gratis dan kursi santai emoticon-Embarrassment

Para perusahaan akhirnya menuruti kemauan mereka, bahkan yang konyol seperti makan gratis dan kursi santai. Yang membingungkan adalah di saat permintaan mereka sudah dituruti, kaum millenial tetap saja tidak senang. Hal ini disebabkan karena ada "kepingan yang kurang atau salah". Simon Sinek mengatakan ada 4 alasan mengapa itu terjadi. 4 alasannya adalah:

  1. Mengasuh anak.
  2. Teknologi.
  3. Ketidaksabaran.
  4. Lingkungan.

Ayo kita telusuri satu-satu.

  1. Mengasuh anak

Spoiler for Parenting:

Para millenial, kebanyakan dari mereka tumbuh besar dengan orang tua yang memiliki strategi mengasuh yang salah. Contohnya adalah mereka selalu dibilang oleh orang tuanya kalau mereka itu spesial, mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka mau hanya karena mereka pengen, sebagian dari mereka masuk ke sekolah atau kelas unggulan bukan karena mereka pantas, tapi karena orang tuanya protes, sebagian dari mereka juga dapet nilai bagus bukan karena mereka pantas, tapi karena gurunya males berurusan sama orang tuanya, dan beberapa juga dapat penghargaan padahal mereka juara terakhir dalam suatu lomba. Para millenial mengalami hal-hal barusan sampe lulus sekolah atau kuliah, dan akhirnya mereka masuk dunia kerja.

Saat mereka masuk ke dunia nyata(dunia kerja), mereka dalam sekejap menyadari bahwa mereka TIDAK spesial, ibunya gak bisa bantu dia untuk naik jabatan, mereka gak dapet apa-apa dengan jadi juara terakhir, dan yang paling penting adalah mereka gak bisa dapat apapun hanya karena mereka pengen. Dan dalam sekejap itu pula, gambaran diri mereka atas diri mereka sendiri hancur. Dan akhirnya sekarang dunia memiliki satu generasi yang punya harga diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dari generasi sebelumnya. emoticon-Gila

Masalah lainnya adalah generasi millenial hidup di era instagram atau facebook dimana mereka pinter banget untuk pasang "filter". Mereka bisa banget untuk bilang bahwa "LIFE IS AMAZING" padahal di dalam hatinya mereka depresi. Mereka memberi kesan pada dunia bahwa mereka tegar dan mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, padahal kenyataannya hanya terdapat sedikit rasa tegar dan mereka jarang sekali mampu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan sekali lagi saya bilang bahwa sekarang dunia memiliki satu generasi yang punya harga diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dari generasi sebelumnya, dan ini bukan salah millenial, mereka hanya berada di tangan yang salah. emoticon-Gila

Karena udah nyerempet-nyerempet facebook dan instagram, maka kita langsung lompat ke alasan yang kedua, yaitu:

  1. Teknologi

Spoiler for Teknologi:

Kita semua tau, bahwa interaksi kita dengan media sosial dan handphone membuat tubuh kita memproduksi hormon dopamine. Itulah kenapa kalau kita dapet sms atau notif media sosial, we feels good emoticon-thumbsup. Itu kenapa kalau kita bosan atau lagi kesepian, kita suka spam sms atau chat ke teman-teman kita, karena kita senang kalau dapat balasan. Itu juga kenapa kita suka itung berapa banyak "like" yang kita dapat dan kita suka bete kalau postingan kita dapat sedikit "like" apalagi kalau kita di-"unfollow".

Dopamine adalah hormon yang sama dengan yang membuat kita "feels good" saat kita merokok, minum alkohol, atau judi. Dengan kata lain, dopamine membuat seseorang ketergantungan parah. Masalahnya adalah kita punya batasan umur untuk merokok, minum alkohol, dan judi, tapi kita tidak punya batasan umur untuk media sosial dan handphone. Itu sama saja dengan membuka botol vodka dan bilang ke para remaja,"Hey, masa remaja emang sulit, minum nih vodka biar pikiran tenang". Pada intinya memang seperti itu yang terjadi, dunia memiliki generasi yang punya akses kapan saja pada hal yang membuat ketagihan dan mematikan rasa mereka melalui handphone dan media sosial.

Dan ini yang paling penting, HAMPIR SEMUA pecandu alkohol, mencoba minum pertama kali saat mereka masih remaja. Saat kita masih kecil, satu-satunya persetujuan yang harus kita minta adalah persetujuan dari orang tua. Saat kita beranjak dewasa, kita juga membutuhkan persetujuan dari teman-teman seumur kita. Hal ini sangat membuat orang tua frustasi, tapi penting untuk kita agar kita mengenal dunia luar, atau GAOEL. Itu adalah masa-masa yang paling membuat kita galau dan kita harus belajar untuk mengandalkan teman kita. Beberapa orang secara kebetulan mengenal alkohol(dan membuat mereka ketagihan karena dopamine) untuk melewati masa-masa galau tersebut, DAN ITU NEMPEL DI OTAK MEREKA sehingga saat mereka butuh pertolongan atau stress di masa depan, mereka bukannya mencari teman untuk curhat atau minta bantuan, mereka malah mencari BOTOL MINUMAN.

Hal yang sama terjadi pada kita terhadap handphone dan media sosial, karena kita kenal media sosial dan hanphone dari kecil atau remaja, DAN ITU NEMPEL DI OTAK KITA sehingga saat kita butuh pertolongan atau stress, kite bukannya mencari teman untuk curhat atau minta bantuan, kita malah mencari HANDPHONE. Karena handphone dan media sosial juga, banyak generasi millenial yang tidak dapat membentuk hubungan yang dalam dan bermakna. Tanya ke diri kita sendiri, kita akan mengakui bahwa banyak dari teman kita adalah teman ala kadarnya, kita akan mengakui bahwa kita tidak bisa bergantung pada teman kita, kita memang suka seru-seruan dengan teman kita, tapi banyak kejadian juga dimana kita bisa dengan gampangnya membatalkan janji ke teman kita HANYA KARENA ada teman kita yang lain yang ngajak ke tempat yang lebih baik(atau mau traktir). emoticon-Shutup

Tidak ada hubungan yang dalam dan bermakna karena kita memang tidak punya skill untuk membentuk itu, dan lebih parahnya lagi ya itu tadi, saat kita stress, kita tidak punya teman tempat bergantung, kita malah mencari handphone, media sosial, dan hal-hal lainnya yang memberikan ketenangan sementara. Semua tetap terjadi padahal kita tahu secara ilmiah, banyak waktu dalam kita main facebook berbanding lurus dengan banyaknya stress yang kita alami. Ini semua bukan berarti kita tidak boleh main handphone atau media sosial teman-teman. Yang kita butuhkan hanya KESEIMBANGAN. Minum alkohol ok untuk sebagian golongan, terlalu banyak minum alkohol yang berbahaya. Judi sekali-sekali seru juga, tapi terlalu banyak judi itu berbahaya.

Tidak ada yang salah dengan media sosial dan handphone, yang salah adalah KETIDAKSEIMBANGAN. Kalau kita pergi makan dengan teman kita tapi kita malah asyik chatting dengan teman kita yang lain yang gak ada di tempat itu, itu baru salah, itulah kecanduan. Kalau kita lagi rapat dimana kita harusnya dengar pendapat rekan kita yang lagi bicara, dan kita menaruh hp kita diatas meja (Layar di atas atau di bawah SAMA SAJA), itu akan memberi pesan kepada orang yang ada di ruangan tersebut bahwa orang-orang itu tidak penting buat kita saat ini. Kenyataan bahwa kita tidak bisa lepas dari handphone kita membuktikan bahwa kita kecanduan. Kalau kita sudah punya pasangan, kita baru bangun tidur di pagi hari lalu kita mengecek handphone duluan sebelum kita menyapa pasangan kita, tidak lain dan tidak bukan itu adalah tanda bahwa kita adalah pecandu. Dan sama seperti kecanduan yang lain, itu akan menghabiskan uang kita, menghabiskan waktu kita, menghancurkan hubungan kita, dan yang paling parah itu akan membuat hidup kita lebih buruk.

OK, jadi saat ini kita sudah punya generasi yang harga diri dan kepercayaan dirinya rendah, ditambah tidak tau bagaimana cara untuk mengatasi stress karena kebanyakan main handphone dan sosial media. Ditambah lagi dengan alasan yang ketiga nih teman-teman, yaitu:

  1. Ketidaksabaran

Spoiler for Ketidaksabaran:

Generasi millenial hidup di era dimana segalanya serba instan. Mereka mau beli apa saja, main ke fjb kaskus, besok langsung sampe tuh barang. Mau nonton film? gak perlu repot-repot cek waktu tayang, streaming bisa dimana saja dan kapan saja. Mau nonton TV series? gak perlu nunggu seminggu sekali, just open netflix. Mau kencan? gak perlu repot-repot latihan ngomong di kaca buat ngajak gebetan, tinggal swipe kanan! Semua yang kita mau, kita bisa dapatkan secara instan. SEMUA! kecuali 2 hal, yaitu hubungan yang kuat dan kepuasan bekerja, sorry to say, tidak akan pernah ada app untuk 2 hal itu.

Untuk mendapatkan hubungan yang kuat dan kepuasan dalam bekerja, kita harus melewati jalanan yang berkelok-kelok, tidak nyaman, dan dalam waktu yang tidak sebentar. Simon Sinek bercerita bahwa dia sering bertemu anak muda yang cerdas, idealis, fantastis, dan pekerja keras, Simon pun bertanya pada anak tersebut,"Gimana pekerjaan kamu?", dan si anak menjawab dengan lesunya,"Kayaknya aku mau resign aja deh". Simon pun bingung dan bertanya alasan anak tersebut ingin resign, dan jawaban anak yang baru kerja selama 8 bulan di perusahaan tersebut sangat keren,"Aku tidak memberikan dampak apapun untuk perusahaan saya". Simon menganalogikan hal tersebut dengan seolah-olah kaum millenial berdiri di kaki gunung, dan mereka memiliki konsep abstrak bernama "impact" yang merupakan puncak gunung tersebut, yang tidak mereka lihat adalah gunungnya. Tidak ada masalah jika kaum millenial sampai ke puncak gunung tersebut dengan cepat atau lambat, naik helikopter pun tidak masalah, tapi tetap saja gunung itu ada.

Apa yang harus kaum millenial pelajari adalah kesabaran. Sesuatu yang berarti seperti cinta, kepuasan bekerja, kesenangan, kepercayaan diri, dan lainnya semua membutuhkan waktu. Terkadang kita bisa mempercepat sedikit, tapi secara keseluruhan perjalanannya sangat berat dan panjang, terkadang kita harus meminta bantuan untuk mempelajarinya atau kita akan terjatuh dari gunung tsb. Skenario terburuk jika kaum millenial tidak menyadari hal ini adalah, kita akan melihat bahwa angka bunuh diri meningkat, angka kematian karena overdosis narkoba meningkat, dan makin banyak yang keluar dari sekolahnya karena depresi. Skenario terbaiknya adalah kita akan menjadi generasi yang datar, kita akan bekerja tapi tidak ada antusiasme dalam bekerja dan kita akan menjalani hidup tanpa ada kepuasan sama sekali.

Jadi sejauh ini kita telah memiliki 3 alasan, tentu belum lengkap tanpa adanya alasan terakhir nih teman-teman, yaitu:

  1. Lingkungan

Spoiler for Lingkungan:

Saat ini kaum millenial dengan segala keunikan diatas ditempatkan dalam perusahaan yang lebih mementingkan angka-angka daripada karyawannya. Perusahaan lebih memilih pencapaian jangka pendek perusahaan dibanding pencapaian hidup karyawannya. Jadi saat ini kaum millenial ditempatkan di lingkungan yang tidak membantu mereka untuk meraih kepercayaan diri, yang tidak membantu mereka mendapatkan kemampuan untuk bekerja sama, yang tidak membantu mereka menemukan keseimbangan dalam dunia digital saat ini, yang tidak membantu mereka untuk menyadari bahwa tidak semuanya dapat diraih dengan instan. Dengan keadaan seperti ini, yang paling parah adalah kaum millenial menyangka bahwa ini salah mereka, mereka menyalahkan diri sendiri dan membuat diri mereka lebih terpuruk lagi. Simon mengatakan bahwa ini semua bukan salah kaum millenial, lingkungan perusahaan lah yang salah. Ini adalah akibat dari kurangnya pemimpin yang baik.

Perusahaan harus memegang tanggung jawab untuk mengubah pandangan para kaum millenial, memang kesannya perusahaan ketiban apes tapi tidak ada pilihan lain. Kaum millenial sudah kepalang tumbuh berkembang dengan cara yang salah, sekarang peran beralih pada perusahaan yang harus bekerja ekstra keras agar kaum millenial memiliki percaya diri yang lebih baik, memiliki kemampuan untuk bekerjasama, dan memiliki kemampuan untuk berinteraksi sosial secara benar. Contoh caranya? tegas! seharusnya tidak ada handphone di ruang rapat, dengan begitu kaum millenial akan memiliki kesempatan berinteraksi dengan rekan-rekannya saat pimpinan perusahaan belum datang, membangun hubungan yang dalam dan bermakna, di saat itu pula inovasi akan bermunculan karena semua fokus. Hal-hal kecil seperti itulah yang pelan-pelan dapat membangun hubungan baik antar kaum millenial. Hubungan lahir dari hal kecil yang dilakukan terus menerus.

Simon juga mencontohkan kalau dia pergi bersama teman-temannya, mereka hanya membawa 1 hp hanya untuk memanggil taksi. Sama seperti pecandu alkohol, jika mereka mau lepas dari ketergantungannya, mereka harus membuang SEMUA minuman yang ada di rumah, karena mereka sebenarnya menyadari bahwa tidak semua orang punya tekad yang cukup kuat untuk melawan kecanduan tersebut. Kalau kita tetap membawa handphone saat pergi makan misalnya, dan kita membuat peraturan untuk tidak boleh membuka handphone saat pergi tersebut, kenyataan bahwa kita bawa handphone itu membuat kita sulit untuk mengikuti aturan tersebut, mungkin kita akan mencari alasan untuk pergi ke toilet dan mengecek handphone kita. Tapi saat kita tidak membawa handphone, kita akan menikmati obrolan dengan teman kita, ide-ide pun bermunculan, hubungan menjadi semakin erat karena kita lebih peduli dengan teman kita. Sebaiknya kita juga tidak men-charge handphone kita di kamar tidur, charge saja di ruang tengah. Dengan begitu tidur akan menjadi lebih nyenyak, kualitas hidup pun meningkat. Jika teman-teman mengelak dan mengatakan bahwa handphone itu alarm kalian, beli lah jam weker, murah gan!

Intinya adalah, para perusahaan tidak punya pilihan lain selain membantu para kaum millenial. Perusahaan harus membantu mereka untuk membangun kepercayaan diri, belajar sabar, belajar kemampuan sosial, dan menemukan keseimbangan antara hidup dan teknologi.


Kalau teman-teman mau lihat omongan Simon Sinek langsung, bisa langsung cek di youtube di bawah ini



OK, sekian thread ini, capek juga ya gan, hehehe. Gpp, yang penting kita semua sadar akan kondisi generasi kita. Tetap semangat semua!


Diubah oleh portie 08-10-2017 16:04
0
4.7K
48
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.