Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, sebenarnya yang dipermasalahkan dari utang adalah pertumbuhannya tidak diimbangi dengan kenaikan penerimaan Negara terutama dari pajak. Akhirnya, utang justru menjadi beban fiskal karena 14% lebih penerimaan pajak habis untuk membayar bunga utang yang jumlahnya mencapai Rp 219 triliun tahun ini.

Selanjutnya, Bhima melihat permasalahan utang pemerintah justru ada pada penggunaannya. Ia menilai, klaim pemerintah bahwa utang diperlukan untuk mendorong kegiatan produktif juga lemah. Sebab, faktanya penyerapan belanja modal pada 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 78% dan 80%. “Itu artinya tidak seluruh belanja modal terserap. Padahal, pemerintah sudah terlanjur menarik utang,” tandas dia.

Kemudian persoalan lain, lanjut Bhima, berada di besaran bunga utang. Meskipun lembaga pemeringkat internasional sudah memberikan investment grade, bahkan Moodys memberikan positive outlook, tetapi penurunan bunga surat utang tidak signifikan. Bunga surat utang Indonesia pun tergolong tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya.

Bhima berharap, ke depan utang pemerintah bisa dikelola lebih hati-hati karena pada 2018-2019 pemerintah harus menerbitkan utang baru untuk menutup jatuh tempo utang yang nilainya mencapai Rp 810 triliun. Proyeksi rasio utang pemerintah pada 2019 pun diprediksi mencapai 32,3%, dari saat ini di sekitar 27%.

“Melihat hal tersebut, sebenarnya utang pemerintah ada di lampu kuning. Meskipun rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30% ada kekhawatiran risiko naik seiring dominannya investor asing yang kini menyentuh angka 40% dari total utang pemerintah,” jelas Bhima. (c01/jn)

id.beritasatu.com/home/pertumbuhan-utang-tak-diimbangi-kenaikan-penerimaan/166161