- Beranda
- Berita dan Politik
Hidayat Nur Wahid: Urusan Negara Tak Lepas dari Agama
...
TS
joshluciver
Hidayat Nur Wahid: Urusan Negara Tak Lepas dari Agama
sumur
panglima sudah bersabda
prabowo for presiden
salam mengaum 2019 !!!
Quote:
Jakarta - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, Islam tidak pernah mendikotomikan antara urusan dunia dan akhirat. Para ulama pendiri bangsa belajar agama untuk mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dalam urusan negara tak bisa kita melepaskan agama," ujar Hidayat dalam keterangan tertulis dari MPR, Kamis (27/7/2017).
Hidayat mengatakan itu saat sosialisasi Empat Pilar MPR kepada civitas akademika Sekolah Tinggi Islam dan Dirosat Islamiyah (STIDI) Al Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2017).
Menurut Hidayat, sila pertama Pancasila menunjukkan dasar negara menyatakan adanya relasi antara negara dan agama. Pendiri bangsa memikirkan bagaimana memiliki sebuah negara Indonesia merdeka tetapi juga keberagaman berjalan.
Hidayat mencontohkan, Pancasila dan seluruh UUD 1945 menyebutkan bahwa negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Ketika bangsa ini merdeka pada 17 Agustus 1945, Pancasila yang ada yakni Pancasila yang disepakati pada 23 Juni 1945.
Pancasila disepakati oleh Tim 9. 4 Anggota Tim 9 yakni Abikusno Tjokrosujoso, Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Agus Salim. "Mereka adalah dari golongan Islam," kata dia.
Dalam Piagam Jakarta tersebut, sila pertama Pancasila mengatakan, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun pada hari selanjutnya, utusan masyarakat Indonesia bagian timur yang beragama non muslim melalui Mohammad Hatta keberatan dengan sila pertama itu.
Setelah melakukan lobi-lobi akhirnya keberatan itu diterima sehingga sila pertama Pancasila bunyinya seperti Pancasila saat ini. "Tokoh-tokoh Islam mengakomodasi keberatan itu. Sila pertama Pancasila yang disepakati selanjutnya akhirnya diterima semua kelompok," tambahnya.
Meski ada perubahan sila pertama Pancasila, umat Islam tetap bersemangat dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Dicontohkannya, ketika Belanda hendak kembali menguasai Indonesia dengan memboncengi tentara sekutu yang menyerbu Surabaya.
Para ulama di Jawa Timur dan Madura yang dipimpin oleh KH Hasyim Azhari, mengeluarkan fatwa jihad. Fatwa itu berisi wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Umat Islam bersepakat untuk mempertahankan Indonesia. Dirinya membayangkan bila ulama tidak peduli pada bangsa dan negara.
"Bisa-bisa Indonesia dikuasai dan dijajah asing lagi," tutur politisi PKS itu.
Meski Indonesia sudah merdeka namun Belanda dengan berbagai cara tetap ingin menguasai Indonesia. Bila tidak melalui kekuatan perang mereka melakukan nya melalui kekuatan diplomasi.
Kekuatan diplomasi ini mampu membuat Indonesia terpecah-belah dalam berbagai negara tersendiri. Indonesia berada dalam bentuk serikat atau RIS. Bentuk RIS seperti ini menurut politisi dari partai Islam, Masyumi, disebut tak sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka.
Untuk itu politisi Islam yang bernama Mohammad Natsir itu menggalang kekuatan dan dukungan dari anggota parlemen untuk menolak bentuk RIS. Pada 3 April 1950, Natsir berpidato tentang mosi integral. Mosi ini menghendaki Indonesia kembali ke bentuk NKRI. Mosi itu didukung oleh para politisi dan Mohammad Hatta. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke NKRI setelah Januari 1946 hingga April 1950 berbentuk RIS.
Dari paparan sejarah tersebut, Hidayat menegaskan tidak benar bila umat Islam anti Pancasila dan anti NKRI. Ümat Islam yang menyelamatkan Indonesia. Para pendiri bangsa yang banyak lulusan pesantren itu membangun negara tanpa melepas pemahaman keagamaan mereka.
"Ketika kita memahami Empat Pilar MPR, kita tidak lepas dari adanya relasi, hubungan, ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an," ucapnya.
"Dalam urusan negara tak bisa kita melepaskan agama," ujar Hidayat dalam keterangan tertulis dari MPR, Kamis (27/7/2017).
Hidayat mengatakan itu saat sosialisasi Empat Pilar MPR kepada civitas akademika Sekolah Tinggi Islam dan Dirosat Islamiyah (STIDI) Al Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2017).
Menurut Hidayat, sila pertama Pancasila menunjukkan dasar negara menyatakan adanya relasi antara negara dan agama. Pendiri bangsa memikirkan bagaimana memiliki sebuah negara Indonesia merdeka tetapi juga keberagaman berjalan.
Hidayat mencontohkan, Pancasila dan seluruh UUD 1945 menyebutkan bahwa negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Ketika bangsa ini merdeka pada 17 Agustus 1945, Pancasila yang ada yakni Pancasila yang disepakati pada 23 Juni 1945.
Pancasila disepakati oleh Tim 9. 4 Anggota Tim 9 yakni Abikusno Tjokrosujoso, Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Agus Salim. "Mereka adalah dari golongan Islam," kata dia.
Dalam Piagam Jakarta tersebut, sila pertama Pancasila mengatakan, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun pada hari selanjutnya, utusan masyarakat Indonesia bagian timur yang beragama non muslim melalui Mohammad Hatta keberatan dengan sila pertama itu.
Setelah melakukan lobi-lobi akhirnya keberatan itu diterima sehingga sila pertama Pancasila bunyinya seperti Pancasila saat ini. "Tokoh-tokoh Islam mengakomodasi keberatan itu. Sila pertama Pancasila yang disepakati selanjutnya akhirnya diterima semua kelompok," tambahnya.
Meski ada perubahan sila pertama Pancasila, umat Islam tetap bersemangat dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Dicontohkannya, ketika Belanda hendak kembali menguasai Indonesia dengan memboncengi tentara sekutu yang menyerbu Surabaya.
Para ulama di Jawa Timur dan Madura yang dipimpin oleh KH Hasyim Azhari, mengeluarkan fatwa jihad. Fatwa itu berisi wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Umat Islam bersepakat untuk mempertahankan Indonesia. Dirinya membayangkan bila ulama tidak peduli pada bangsa dan negara.
"Bisa-bisa Indonesia dikuasai dan dijajah asing lagi," tutur politisi PKS itu.
Meski Indonesia sudah merdeka namun Belanda dengan berbagai cara tetap ingin menguasai Indonesia. Bila tidak melalui kekuatan perang mereka melakukan nya melalui kekuatan diplomasi.
Kekuatan diplomasi ini mampu membuat Indonesia terpecah-belah dalam berbagai negara tersendiri. Indonesia berada dalam bentuk serikat atau RIS. Bentuk RIS seperti ini menurut politisi dari partai Islam, Masyumi, disebut tak sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka.
Untuk itu politisi Islam yang bernama Mohammad Natsir itu menggalang kekuatan dan dukungan dari anggota parlemen untuk menolak bentuk RIS. Pada 3 April 1950, Natsir berpidato tentang mosi integral. Mosi ini menghendaki Indonesia kembali ke bentuk NKRI. Mosi itu didukung oleh para politisi dan Mohammad Hatta. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke NKRI setelah Januari 1946 hingga April 1950 berbentuk RIS.
Dari paparan sejarah tersebut, Hidayat menegaskan tidak benar bila umat Islam anti Pancasila dan anti NKRI. Ümat Islam yang menyelamatkan Indonesia. Para pendiri bangsa yang banyak lulusan pesantren itu membangun negara tanpa melepas pemahaman keagamaan mereka.
"Ketika kita memahami Empat Pilar MPR, kita tidak lepas dari adanya relasi, hubungan, ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an," ucapnya.
panglima sudah bersabda
prabowo for presiden
salam mengaum 2019 !!!
0
1.9K
Kutip
30
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
670.1KThread•40.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru