- Beranda
- The Lounge
Mengembalikan Manusia ke Alam, Kemudian ke Tuhan
...
TS
habibgoogle
Mengembalikan Manusia ke Alam, Kemudian ke Tuhan
Quote:
Spoiler for teks:
Pariwisata adalah fenomena religius, dalam arti demikian: Manusia modern memasuki proses teknologisasi kebudayaan, yakni arah menjauh dari alam, kemudian menciptakan peluang-peluang khusus untuk kembali ke alam. Kembali dengan Tuhan. Jadi, pariwisata adalah potensi rereligiusisasi.
Terminologi kultur modern menyebut dialektika antara tahap kreasi dan tahap rekreasi. Pariwisata merupakan salah satu pilihan rekreatif, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan kembali manusia modern memasuki olah kreasi.
Bahwa pariwisata dipilih sebagai modus rekreasi, itu karena perspektif filosofi kultural masyarakat modern—yang notabene berpangkal dari masyarakat Barat, dan notabene berwatak sekular. Masyarakat yang secara teoretis bersikap nonsekular dan lebih mempercayai filosofi dan kosmologi yang bersumber dari informasi wahyu, mestinya punya pilihan berbeda. Apalagi ketika kemudian budaya pariwisata modern itu dikotori oleh muatan-muatan yang juga teknologis-sekular, bahkan dipokoki oleh ketidakterelakkan alternatif seperti wisata seks serta berbagai bentuk alternatif yang oleh term agama disebut kemaksiatan.
Bagai masyarakat tradisionalis-agraris, pariwisata memiliki arti dan orientasi yang berbeda, sebab masyarakat tradisi memiliki pola pergaulan serta jarak yang berbeda dengan alam dibanding masyararakat modern berpariwisata untuk “melihat kembali alam”, maka masyarakat tradisi berpariwisata justru untuk “nonton modernitas”. Dengan kata lain: Wisman mengejar alam, Wisnu mengejar teknologi.
Apa yang diketahui oleh manusia tentang spiritualitas? Tentang ruh, jiwa (juga sukma, perasaan, roso, nafs, dan seterusnya), serta hubungannya dengan dunia fisik?
Manusia memiliki kesanggupan terbatas untuk menggali sendiri pengetahuan tentang masalah itu, namun di luar batas eksplorasinya itu manusia membutuhkan informasi dari wahyu Allah. Karena itulah agama diperlukan oleh manusia: tidak sekadar sebagai “peraturan”, namun lebih penting lagi sebagai informasi ilmu, yang sesungguhnya merupakan landasan mutlak bagi setiap dimensi hukum yang dikandung oleh agama.
Eksplorasi ilmu tradisonal terhadap dunia spiritualitas cenderung terjebak pada takhayul, klenik, atau mitos. Sementara ilmu masyarakat modern kurang “berselera” untuk memasuki wilayah spiritualitas, dan terjebak pada semacam ketidakpercayaan terhadap spiritualitas. Dengan kata lain, orang tradisi “menyembah hantu”, orang modern “menyembah batu”.
Saya pribadi berkesimpulan pada titik eksterm tertentu, baik masyarakat tradisi maupun masyarakat modern terjebak pada kegagalan cukup serius dalam usahanya merumuskan perjalanannya menuju penyatuan diri kembali ke hakikat Tuhan, hakikat alam, dan dengan demikian juga hakikat kemanusiaannya sendiri.
Terminologi kultur modern menyebut dialektika antara tahap kreasi dan tahap rekreasi. Pariwisata merupakan salah satu pilihan rekreatif, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan kembali manusia modern memasuki olah kreasi.
Bahwa pariwisata dipilih sebagai modus rekreasi, itu karena perspektif filosofi kultural masyarakat modern—yang notabene berpangkal dari masyarakat Barat, dan notabene berwatak sekular. Masyarakat yang secara teoretis bersikap nonsekular dan lebih mempercayai filosofi dan kosmologi yang bersumber dari informasi wahyu, mestinya punya pilihan berbeda. Apalagi ketika kemudian budaya pariwisata modern itu dikotori oleh muatan-muatan yang juga teknologis-sekular, bahkan dipokoki oleh ketidakterelakkan alternatif seperti wisata seks serta berbagai bentuk alternatif yang oleh term agama disebut kemaksiatan.
Bagai masyarakat tradisionalis-agraris, pariwisata memiliki arti dan orientasi yang berbeda, sebab masyarakat tradisi memiliki pola pergaulan serta jarak yang berbeda dengan alam dibanding masyararakat modern berpariwisata untuk “melihat kembali alam”, maka masyarakat tradisi berpariwisata justru untuk “nonton modernitas”. Dengan kata lain: Wisman mengejar alam, Wisnu mengejar teknologi.
Apa yang diketahui oleh manusia tentang spiritualitas? Tentang ruh, jiwa (juga sukma, perasaan, roso, nafs, dan seterusnya), serta hubungannya dengan dunia fisik?
Manusia memiliki kesanggupan terbatas untuk menggali sendiri pengetahuan tentang masalah itu, namun di luar batas eksplorasinya itu manusia membutuhkan informasi dari wahyu Allah. Karena itulah agama diperlukan oleh manusia: tidak sekadar sebagai “peraturan”, namun lebih penting lagi sebagai informasi ilmu, yang sesungguhnya merupakan landasan mutlak bagi setiap dimensi hukum yang dikandung oleh agama.
Eksplorasi ilmu tradisonal terhadap dunia spiritualitas cenderung terjebak pada takhayul, klenik, atau mitos. Sementara ilmu masyarakat modern kurang “berselera” untuk memasuki wilayah spiritualitas, dan terjebak pada semacam ketidakpercayaan terhadap spiritualitas. Dengan kata lain, orang tradisi “menyembah hantu”, orang modern “menyembah batu”.
Saya pribadi berkesimpulan pada titik eksterm tertentu, baik masyarakat tradisi maupun masyarakat modern terjebak pada kegagalan cukup serius dalam usahanya merumuskan perjalanannya menuju penyatuan diri kembali ke hakikat Tuhan, hakikat alam, dan dengan demikian juga hakikat kemanusiaannya sendiri.
***
Quote:
Spoiler for teks:
Saya sebut di atas polarisasi antara alam dan teknologi, dan karena manusia sepenuhnya memasuki teknologi secara ahistoris dalam konteks hakikat spiritualitasnya, maka polarisasi itu juga terjadi antara manusia dan Tuhan.
Ini semua berangkat dari filosofi manusia modern yang ingin menaklukkan alam, sesudah filosofi menyatu dengan alam pada masyarakat tradisi. Manusia modern mengatasi alam, menteknologikan alam menjadi kebudayaan—karena memang demikian salah satu ciri manusia modern yang berwatak dinamis; sementara manusia tradisi berwatak pasif dan konservatif karena berfilosofi melebur pada alam. Mana yang “benar” di antara keduanya?
Dinamika manusia modern dengan teknologisasinya akhirnya terjebak pada kekeringan ruhani—pada pandangan saya berdasarkan referensi religi Islam—karena perjalanan ke depan mereka memakai perspektif waktu yang linier. Langkah ke depan mereka adalah langkah menjauh dari alam dan Tuhan. Di dalam Islam terdapat konsep ilaihi rajiʻun: kepergian hidup manusia ini kembali ke Allah. Perjalanan ke depan tapu sekaligus berarti kembali ke “belakang”. Konsep waktu dalam Islam adalah siklis, membulat, melingkar. Secara filsafat, perjalanan manusia modern dirumuskan dalam orientasi eksistensialisme, dan itu berarti menjauh dari Allah, atan dengan bahasa Islam: antitauhid. Sementara pada masyarakat tradisi—yang sebenarnya juga memiliki konsep waktu siklis—metode untuk “kembali ke Allah” itu ditempuh tidak dengan “maju ke depan”, malinkan dengan “berjalan di tempat” atau “balik ke belakang”. Jadi masyarakat modern maupun tradisi melakukan tarekat yang sama-sama keliru. Masyarakat modern sukses mengkhalifahi alam, namun keliru orientasinya sehingga tidak taqarrub pada Allah; sementara masyarakat tradisi bertahan dekat dengan Allah namun gagal melaksanakan kekhalifahan yang dinamis. Sebenarnya ini adalah peta peradaban yang luas sekali, tetapi kali ini kita harus fokuskan pada persoalan pariwisata.
Kegagalan ruhaniah (spiritual) kebudayaan modern itu digelisahkan oleh “bawah sadar” mereka sehingga kemudian ditelurkanlah antara lain alternatif budaya yang bernama pariwisata, seperti yang diungkapkan di atas. Ruhani manusia modern memiliki kerinduan kepada alam dan Tuhan, dan pariwisata adalah metode-metode lain seperti “budaya mabuk” baik dengan minuman keras maupun dengan musik rock dan sepakbola—yang sesungguhnya diam-diam dimaksudkan untuk proses rehumanisasi kemanusiaan mereka yang being dehumanized oleh keringnya teknologisasi kehidupan.
Itulah sebabnya maka pariwisata itu sesungguhnya sangat—pada mulanya—memiliki potensi religius-spiritual. Tetapi itu sayang sekali tak disadari secara filosofis oleh manusia modern itu sendiri sehingga modus yang mereka ciptakan dalam pariwisata justru banyak bertentangan dengan proses religiusisasi manusia.
Ini semua berangkat dari filosofi manusia modern yang ingin menaklukkan alam, sesudah filosofi menyatu dengan alam pada masyarakat tradisi. Manusia modern mengatasi alam, menteknologikan alam menjadi kebudayaan—karena memang demikian salah satu ciri manusia modern yang berwatak dinamis; sementara manusia tradisi berwatak pasif dan konservatif karena berfilosofi melebur pada alam. Mana yang “benar” di antara keduanya?
Dinamika manusia modern dengan teknologisasinya akhirnya terjebak pada kekeringan ruhani—pada pandangan saya berdasarkan referensi religi Islam—karena perjalanan ke depan mereka memakai perspektif waktu yang linier. Langkah ke depan mereka adalah langkah menjauh dari alam dan Tuhan. Di dalam Islam terdapat konsep ilaihi rajiʻun: kepergian hidup manusia ini kembali ke Allah. Perjalanan ke depan tapu sekaligus berarti kembali ke “belakang”. Konsep waktu dalam Islam adalah siklis, membulat, melingkar. Secara filsafat, perjalanan manusia modern dirumuskan dalam orientasi eksistensialisme, dan itu berarti menjauh dari Allah, atan dengan bahasa Islam: antitauhid. Sementara pada masyarakat tradisi—yang sebenarnya juga memiliki konsep waktu siklis—metode untuk “kembali ke Allah” itu ditempuh tidak dengan “maju ke depan”, malinkan dengan “berjalan di tempat” atau “balik ke belakang”. Jadi masyarakat modern maupun tradisi melakukan tarekat yang sama-sama keliru. Masyarakat modern sukses mengkhalifahi alam, namun keliru orientasinya sehingga tidak taqarrub pada Allah; sementara masyarakat tradisi bertahan dekat dengan Allah namun gagal melaksanakan kekhalifahan yang dinamis. Sebenarnya ini adalah peta peradaban yang luas sekali, tetapi kali ini kita harus fokuskan pada persoalan pariwisata.
Kegagalan ruhaniah (spiritual) kebudayaan modern itu digelisahkan oleh “bawah sadar” mereka sehingga kemudian ditelurkanlah antara lain alternatif budaya yang bernama pariwisata, seperti yang diungkapkan di atas. Ruhani manusia modern memiliki kerinduan kepada alam dan Tuhan, dan pariwisata adalah metode-metode lain seperti “budaya mabuk” baik dengan minuman keras maupun dengan musik rock dan sepakbola—yang sesungguhnya diam-diam dimaksudkan untuk proses rehumanisasi kemanusiaan mereka yang being dehumanized oleh keringnya teknologisasi kehidupan.
Itulah sebabnya maka pariwisata itu sesungguhnya sangat—pada mulanya—memiliki potensi religius-spiritual. Tetapi itu sayang sekali tak disadari secara filosofis oleh manusia modern itu sendiri sehingga modus yang mereka ciptakan dalam pariwisata justru banyak bertentangan dengan proses religiusisasi manusia.
***
Quote:
Spoiler for teks:
Dunia pariwisata Indonesia juga diselenggarakan hanya dengan keberangkatan industrial-teknokratis, hampir sama sekali tidak didahului oleh pemahaman-pemahaman kosmologis dan filosofis dan fenomena budaya yang bernama pariwisata.
Kita sekadar “orang miskin” yang butuh tambahan nafkah dan untuk itu kita mempersolek diri, mejeng, mengharapkan para “orang kaya” membeli kecantikan kita. Pada hakikatnya kita tidak berbeda dengan prostitut, segala sesuatu yang menyangkut persolekan diri itu semata-mata kita orientasikan kepada apa yang disukai oleh orang-orang kaya itu. Bukankah itu psikologi dan sikap profesional seorang pramuria?
Kita butuh makan, atau setidaknya tambahan uang jajan, untuk itu kita bersedia melakukan apa saja yang merupakan selera “pembeli” kita. Kita melunturkan, bahkan pada saatnya nanti benar-benar melenyapkan kepribadian kita sendiri, karena yang penting adalah “pengabdian” diri kita kepada “para pelangga” rumah bordil kita. Pada suatu hari kelak, kita sebagai bangsa akan betul-betul kehilangan dignity, kehilangan harga diri, kebanggaan atas kepribadian diri sendiri, bahkan kehilangan martabat.
Kita bersedia menghilangkan sakralnya tradisi keagamaan untuk dipaket sebagai barang jualan. Kita meruntuhkan harga kreatif kesenian kita demi sekeping dollar. Padahal sebenarnya kita bisa melakukan dan menawarkan sesuatu yang lain yang lebih hakiki dan yang belum tentu tidak “laku”.
Mengusahakan penggalian dan perumusan tentang “fenomena pariwisata” menurut khazanah yang kita miliki sendiri, yakni komprehensi antara khazanah filosofi tradisi (Timur) dan khazanah keagamaan. Para pakar di bidang teknologi, kebudayaan, dan agama bisa berkumpul untuk merumuskan bahwa pariwisata bukan sekadar urusan jual diri “menyembah” pembeli dari mancanegara.
Menerbitkan buku-buku kepariwisataan Indonesia yang tidak sekadar memandu pengetahuan tentang di mana candi di mana pantai dan di mana pramuria, melainkan justru memaparkan bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang sungguh-sungguh memiliki sendiri pandangan filosofis, sikap budaya, serta tawaran substansi kepariwisataan yang orisinal.
Mulailah mengusahakan pembagian dua wilayah atau dua kategori pariwisata. Yang satu mencoba persuasif terhadap pembeli, lainnya mencoba menyuguhkan orisinalitas kepribadian kita sendiri. Ini agar nasionalisme dan kebudayaan Indonesia memiliki daya negosiasi yang berusaha berimbang dengan keperluan-keperluan dari bangsa dan kebudayaan lain yang ingin “membeli” kita. Kita harus menjadi bangsa yang menolak perkembangan untuk menjadi “budak” atau “pramuria” dari bangsa lain.
Ketiga alternatif yang saya rekomendasikan di atas sesungguhnya tidak sama sekali “antipasar”. Artinya komoditi pariwisata kita tidak mutlak mempersyaratkan “menjadi pramuria” supaya “laku”. Saya bahkan melihat yang sebaliknya di masa datang. “Ideologi kepariwisataan” yang hanya siap bersolek jadi “pramuria” justru akan menjadi marginal dalam peta industri masa depan. Alasan saya antara lain:
Masyarakat modern mancanegara yang memasuki Indonesia sebagai turis, memiliki tradisi intelektual yang relatif sudah mapan. Maka cepat atau lambat, sesungguhnya “permintaan” mereka terhadap “pasar pariwisata” justru adalah dimensi-dimensi yang lebih kualitatif daripada sekadar pemandangan alam, seni paket, dan seks.
Abad ke-21 adalah Abad Spiritual Umat Manusia. Dasawarsa-dasawarsa peradaban ultramodern di hadapan kita disubjeki oleh masyarakat “jenuh-modernitas” yang membutuhkan tawaran-tawaran dari duni spiritual. Akan makin banyak wisman yang datang ke Indonesia dengan rasa haus spiritual yang lebih mendalam.
Kepribadian khas bangsa Indonesia, kebudayaannya yang amat kaya, referensi keagamaan yang merupakan sumur amat dalam—sesungguhnya memiliki kapasitas amat besar untuk sanggup menawarkan modus-modus kepariwisataan spiritual. Kita ini bangsa yang tidak murah, bahkan sebenarnya bisa lebih mahal dari yang kita sangka. []
Bernas, 6 Januari 1991
Kita sekadar “orang miskin” yang butuh tambahan nafkah dan untuk itu kita mempersolek diri, mejeng, mengharapkan para “orang kaya” membeli kecantikan kita. Pada hakikatnya kita tidak berbeda dengan prostitut, segala sesuatu yang menyangkut persolekan diri itu semata-mata kita orientasikan kepada apa yang disukai oleh orang-orang kaya itu. Bukankah itu psikologi dan sikap profesional seorang pramuria?
Kita butuh makan, atau setidaknya tambahan uang jajan, untuk itu kita bersedia melakukan apa saja yang merupakan selera “pembeli” kita. Kita melunturkan, bahkan pada saatnya nanti benar-benar melenyapkan kepribadian kita sendiri, karena yang penting adalah “pengabdian” diri kita kepada “para pelangga” rumah bordil kita. Pada suatu hari kelak, kita sebagai bangsa akan betul-betul kehilangan dignity, kehilangan harga diri, kebanggaan atas kepribadian diri sendiri, bahkan kehilangan martabat.
Kita bersedia menghilangkan sakralnya tradisi keagamaan untuk dipaket sebagai barang jualan. Kita meruntuhkan harga kreatif kesenian kita demi sekeping dollar. Padahal sebenarnya kita bisa melakukan dan menawarkan sesuatu yang lain yang lebih hakiki dan yang belum tentu tidak “laku”.
Mengusahakan penggalian dan perumusan tentang “fenomena pariwisata” menurut khazanah yang kita miliki sendiri, yakni komprehensi antara khazanah filosofi tradisi (Timur) dan khazanah keagamaan. Para pakar di bidang teknologi, kebudayaan, dan agama bisa berkumpul untuk merumuskan bahwa pariwisata bukan sekadar urusan jual diri “menyembah” pembeli dari mancanegara.
Menerbitkan buku-buku kepariwisataan Indonesia yang tidak sekadar memandu pengetahuan tentang di mana candi di mana pantai dan di mana pramuria, melainkan justru memaparkan bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang sungguh-sungguh memiliki sendiri pandangan filosofis, sikap budaya, serta tawaran substansi kepariwisataan yang orisinal.
Mulailah mengusahakan pembagian dua wilayah atau dua kategori pariwisata. Yang satu mencoba persuasif terhadap pembeli, lainnya mencoba menyuguhkan orisinalitas kepribadian kita sendiri. Ini agar nasionalisme dan kebudayaan Indonesia memiliki daya negosiasi yang berusaha berimbang dengan keperluan-keperluan dari bangsa dan kebudayaan lain yang ingin “membeli” kita. Kita harus menjadi bangsa yang menolak perkembangan untuk menjadi “budak” atau “pramuria” dari bangsa lain.
Ketiga alternatif yang saya rekomendasikan di atas sesungguhnya tidak sama sekali “antipasar”. Artinya komoditi pariwisata kita tidak mutlak mempersyaratkan “menjadi pramuria” supaya “laku”. Saya bahkan melihat yang sebaliknya di masa datang. “Ideologi kepariwisataan” yang hanya siap bersolek jadi “pramuria” justru akan menjadi marginal dalam peta industri masa depan. Alasan saya antara lain:
Masyarakat modern mancanegara yang memasuki Indonesia sebagai turis, memiliki tradisi intelektual yang relatif sudah mapan. Maka cepat atau lambat, sesungguhnya “permintaan” mereka terhadap “pasar pariwisata” justru adalah dimensi-dimensi yang lebih kualitatif daripada sekadar pemandangan alam, seni paket, dan seks.
Abad ke-21 adalah Abad Spiritual Umat Manusia. Dasawarsa-dasawarsa peradaban ultramodern di hadapan kita disubjeki oleh masyarakat “jenuh-modernitas” yang membutuhkan tawaran-tawaran dari duni spiritual. Akan makin banyak wisman yang datang ke Indonesia dengan rasa haus spiritual yang lebih mendalam.
Kepribadian khas bangsa Indonesia, kebudayaannya yang amat kaya, referensi keagamaan yang merupakan sumur amat dalam—sesungguhnya memiliki kapasitas amat besar untuk sanggup menawarkan modus-modus kepariwisataan spiritual. Kita ini bangsa yang tidak murah, bahkan sebenarnya bisa lebih mahal dari yang kita sangka. []
Bernas, 6 Januari 1991
Quote:
Just because you don't believe it, doesn't mean that it's not true
Diubah oleh habibgoogle 19-07-2017 07:35
0
2.1K
Kutip
9
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
922.8KThread•82.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru