Kaskus

Entertainment

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ianmalcolmAvatar border
TS
ianmalcolm
Kemenangan Ramadhan Gan
Makin ke sini, saya kok makin gagal paham dengan kalimat endemik di penutupan Ramadan.
“Mari sambut kemenangan,”
“Rayakan kemenangan dengan hati yang jernih,”
dan kalimat lain yang masih satu spesies.
Apa sebab? Begini, sebetulnya apa sih yang dimenangkan? Ada laga apa? Tanding lawan siapa?
Kalau ada yang bilang kalau kita menang melawan hawa nafsu, yakin itu bukan cuma manisan yang tertinggal di bibir saja? Tidakkah itu manis di bibir yang memutar kata?
Coba ingat lagi, apakah betul Ramadan kemarin bukan sekedar ritual menahan lapar dan haus? Betulkah kita berhasil memaknai Ramadan selain lebih dari lapar dan haus sepanjang lebih dari setengah hari?
Di jalanan Jakarta masih banyak yang tidak sabaran. Di sepanjang jalan Rasuna Said yang tiap sore saya lewati, tidak sedikit kendaraan yang mejotong malur dan memotong jalur. Padahal katanya puasa bias membuat manusia jadi pribadi yang lebih sabar.
Saat siang bolehlah ada banyak yang sanggup menahan lapar, dahaga, dan birahi. Setelah adzan maghrib hadir bagaimana? Gak usah munafik, maghrib adalah saatnya balas dendam dengan makan yang lebih mewah. Kelas warteg naik ke kafe. Yang kafe naik jadi kelas restoran. Yang kelas restoran pindah ke hidangan eksklusif koki hotel. Yang biasa di hotel mungkin plesir ke negeri jiran.
Gak usah munafik, pengeluaran saat berbuka sering di luar anggaran. Saya pun begitu kok. Dalih saya adalah ajakan berbuka bersama yang konon berguna untuk merekatkan ikatan silaturahim. Ada benarnya lho, kalau nggak gitu susahnya minta ampun mengajak teman kantor atau teman kampus buat ketemu. Tapi apa kabar kalau buber itu jadi ritual seminggu dua kali? Bahkan lebih?
Padahal katanya mau berempati dengan kaum jelata yang sehari-hari bersahabat dengan rasa lapar. Iya sih lapar, tapi sesudah itu foya-foya rutin. Gak usah munafik, memangnya ada gitu yang buber di warteg? Minimal kafe kan? Paling sering sih di mall. Paling tidak butuh duit Rp30.000. Gak masalah kalau situ sudah kerja lama di Jakarta. Kalau status masih anak ingusan, ya congkak namanya mas, mbak.
Kalau mau elegan sedikit, mbok ya itu kaum jelatanya diajak sekalian. Saya sih tiada pernah lihat yang begituan, dan belum pernah melakukannya sendiri. Malu-maluin kan saya ini? Udah gitu kalau buber pasti maghribannya sering kelewat, ya minimal molor jauh lah. Jangan Tanya sembahyang isya yang waktunya panjang, sudah nyaris pasti belakangan. Tarawih? Hukumnya nggak wajib tuh, ambyar pun gak masalah.
Yang paling konyol, banyak orang sadar kelakuan ganjil nan kontradiktif itu di akhir Ramadan. Keluarlah pernyataan:
“Duh puasa kali ini gak maksimal ini, semoga bias bertemu lagi dengan Ramadan tahun depan,”
“Gak kerasa udah mau Lebaran, cepet banget ya Ramadan berlalu,”
dan omong kosong lain yang masih satu genus.
Palsu lek, palsu. Kalau gak palsu mana ada yang seperti itu jadi siklus. Sadar iya, tapi kelakuan di tahun depan ya sama saja. Gak ada yang berubah. Kata orang Jawa, kapok lombok. Ngomel-ngomel gegara sambalnya kepedesan, tapi ya masih aja dicocol terus. Lak ya wagu to ?
Di bal-balan , kemenangan itu jelas. Kalau menang, dapat 3 poin dan (mungkin) posisi di klasemen naik. Di lomba masukin kelereng ke botol, kalau menang bias dapat bingkisan seperangkat alat tulis. Nah kalau menang di Ramadan?
Ada yang sebelumnya punya resolusi khatam Qur’an dalam sebulan, lalu terlaksana. Apa seusai itu bakal rutin khatam sekali sebulan? Yang sebelumnya nahan ghibab alias
nggremengi alias ngerasai alias nggunjing bakal konsisten dengan itu? Apa kabar yang nahan diri keluarin kata-kata kotor (ada 11 kalau versi Tuan Krab) selama puasa? Bakal dilanjutkan? Yang sedekahnya lebih-lebih gimana? Mau diteruskan gak?
Pekan lalu, seorang pendiri perusahaan rintisan (oke, bahasa lainnya startup) cerita kalau sebagian besar pendukung gerakan social adalah manusia omong kosong. Omong kosong karena mereka melakukannya hanya untuk mengurangi rasa bersalahnya. Dengan membantu sebuah gerakan social, harapannya mereka merasa sudah melakukan sesuatu yang baik. Dan itu berguna untuk menutupi dosa-dosa mereka.
Golongan seperti itu tidak pernah benar-benar peduli dengan, katakanlah makin banyaknya anak yang putus sekolah, lingkungan yang makin rusak, dan lain-lain. Identifikasinya gampang, mereka cuma nampak sekali, lalu pergi entah kemana. Seperti banyak pria usai kencan pertama.
Jangan-jangan nih ya (semoga sih enggak), kita banyak bersedekah di Ramadan karena hal serupa. Untuk menutupi kebejatan kita 11 bulan ke belakang? Atau malah untuk 11 bulan ke depan? Apalagi ada embel-embel pahala yang dijanjikan berlipat. Enak kan ya kalau sedekah Rp100.000 itu dihitung sama dengan Rp800.000 di bulan biasa? Apalagi kalau lebih, beuuuh. Ya wajar kalau banyak yang memanfaatkan itu. Serupa dengan gamer MMORPG yang
bungah gak karuan saat ada event 2x EXP. Kalau perlu melek sampai subuh juga dibela-belain. Gak usah munafik, saya pernah jadi gamer model begitu kok.
Amit-amit deh kalau kegembiraan akhir Ramadan adalah perasaan bungah karena bisa bebas berlaku bejat seperti sedia kala. Bebas makan enak tanpa mikir susahnya nasib kaum jelata. Bebas ngebal-ngebul rokok, bebas nenggak, bebas parteh sesuka hati, atau bebas adu selangkangan di siang hari. Mumpung udah gak Ramadan kan, gak perlu nunggu maghrib buat oh yes oh no, ikkeh ikkeh kimochi .
Kalau sudah begitu, ini kemenangan model apa? Siapa yang menang sih? Kita atau syaitan nirrajim ? Yang jelas sih pedagang di Tanah Abang untung banyak. Lha wong nafsu belanja yang sebelumnya tenggelam tetiba muncul kok jelang Lebaran. Merekalah pemenang yang hakiki.
0
606
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
924.4KThread88.3KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.