Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

skydaveeAvatar border
TS
skydavee
Keseharian Anak Merauke Yang Bebas Dari Ponsel Pintar
Merauke - Tak ada ponsel pintar di tangan anak usia 12 tahun ini, melainkan tongkat untuk mengayuh ketinting. Wajahnya tak menunduk, mata tak terpaku pada layar sentuh, namun menatap jauh ke belantara.

Anak ini adalah David Kabujay, usia 12 tahun. Tubuhnya lumayan tinggi besar untuk ukuran usianya. Dia duduk di atas ketinting, yakni perahu ramping yang dipasangi motor di belakangnya. 

David sedang di tepian Kali Wanggo, sungai yang menyatu dengan rawa-rawa di kanan dan kirinya gara-gara sering diguyur hujan. Di Kampung Erambu, Distrik Sota, David menjalani kesehariannya sebagai satu dari banyak anak di Merauke, kabupaten di pojok timur Indonesia.

"Saya biasanya bangun jam enam pagi," kata David kepada detikcom, Minggu (14/5/2017).

Spoiler for Foto:


Bila bukan hari libur, maka David segera mandi setelah bangun pagi. Dia bersekolah di SMP Negeri Erambu. Dia sudah pulang dari sekolah dan sampai rumah pukul 12 siang.

"Setelah sekolah, berburu," kata David, tersenyum.

Masyarakat Malind Anim, termasuk suku Yeinan yang menaungi David sekeluarga, memang punya kehidupan yang lekat dengan alam. Berburu adalah aktivitas sehari-hari mereka. 

Ketinting menjadi alat menjelajah alam, menyambangi sungai, rawa, memuat barang, dan berburu. Perahu ini dibuat oleh ayah David, namanya Silvester Kabujay (40). Dia mengendalikan mesin ketinting ini.

Ketinting ini berukuran panjang sekitar 7 meter, lebarnya sekitar 75 cm saja. Karena bentuknya silinder dan sempit, maka perlu berhati-hati tanpa banyak gerak untuk menaiki ketinting ini di atas air.

Spoiler for Foto:


Ketinting yang sudah berusia lima tahun ini dibuat dari kayu bintangur. Ada semacam tambalan seng di bagian kiri perut perahu. David, ayahnya, dan keponakan ayahnya bernama cumi (27) sering menggunakan perahu ini untuk berburu ikan.

"Berburu ikan mujair, ikan betik, ikan gabus, ikan nila. Pakai jaring atau pancing," kata David.

Bila ikan-ikan itu berhasil terkumpul, maka hasilnya bisa dikonsumsi sendiri atau dijual di pinggir jalan. Kami juga melihat kayu-kayu dipancangkan di pinggir Jalan Trans Papua dekat Kali Wanggo, sejumlah ikan bergelantungan di kayu-kayu itu. Harganya Rp 15 ribu untuk mujair kecil, Rp 20 ribu untuk mujair yang besar. Kadang arwana juga didapatkan di sungai ini, arwana anakan dijual Rp 18 ribu di sini.

"Di belakang sana, banyak kanguru juga, saham," kata David.

Dia menyatakan, saham atau kanguru khas Merauke itu lebih mudah ditemui bila musim kemarau. Biasanya, kanguru diburu dengan bantuan anjing, dengan alat golok atau panah. 

"Kalau dapat kanguru kemudian dibelah dan dibersihkan. Bisa dibakar atau dimasak saja," kata David.

Ada pula hewan lain yang bisa diburu, yakni babi, rusa, atau kasuari. Aktivitas berburu ini dilakukan David sampai sore hari. "Berburu sampai jam empat sore. Kemudian pulang, mandi," kata David.

Dia mengaku kadang-kadang masih sempat belajar di rumah saat malam hari. Listrik di sini menyala pada pukul 18.00 sampai 00.00 WIT saja. Di luar jam itu, ya tak ada listrik, kecuali SMP Negeri Erambu misalnya, mereka punya sel surya yang bisa menyimpan listrik sekadar untuk kebutuhan ringan.

Spoiler for Foto:


Sel surya di SMP Negeri Erambu itu juga menjadi tenaga sinyal wifi satelit untuk sekitar sekolah, jangkauannya juga tak bisa jauh-jauh, hanya sampai halaman depan. Di luar itu, ponsel tak akan mendeteksi sinyal apa-apa. Memang tak ada sinyal GSM di kampung ini. 

Pelajaran sekolah yang disukai David adalah matematika. Pelajaran yang paling sukar baginya adalah Bahasa Inggris. Namun semenjak kehadiran guru program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM3T) bernama Resvi Dora' (Evi), David sedikit terbantu dalam memahami Bahasa Inggris. 

"Enak Ibu Evi Guru Bahasa Inggrisnya daripada yang lain," ujar David.

Bila lulus SMP, dia berniat melanjutkan ke SMA. Dia punya cita-cita. "Jadi tentara, supaya bisa jalan-jalan, to?" ujar David.

Dia dan keluarganya sering berinteraksi dengan para serdadu yang menjaga perbatasan. Mereka juga sering menyewa ketinting kepunyaan ayah David. 

Spoiler for Foto:


Kakak dari David, yakni cumi, menjelaskan aktivitas berburu yang sehari-harinya mereka lakukan tak akan membuat alam menjadi rusak. Hewan tak bakal habis diburu. Soalnya, perburuan ini dilakukan tidak sembarangan. Ada aturan yang dijaga.

"Jangan kita bunuh hewan yang anakan, yang anakan kita kasih lepas," kata cumi.

Mereka juga berburu tanpa menggunakan senjata api, melainkan memakai busur, anak panah, dan golok. Termasuk dalam berburu saham, alat-alat itu juga digunakan.

"Saham (yang sudah dipotong) seharga Rp 70 ribu yang besar, yang kecil Rp 40 ribu. Kalau babi ya Rp 300 ribu kalau yang besar. Kalau rusa yang besar kita kasih keluar kulit sama tulangnya, baru kita timbang, dagingnya Rp 25 ribu per kilo," kata cumi.

Ayah David, yakni Silvester, juga memanfaatkan perahunya sebagai jasa memuat barang, yakni gambir. Ketintingnya biasa hilir mudik di Kali Wanggo Kampung Erambu sampai Kampung Toray untuk memuat gambir. Bila hilir mudik memuat gambir sedang intentsif, hasilnya lumayan. Ongkosnya Rp 25 ribu sekali jalan.

_____________________________________________
#Indonesiaindah


SUMUR
0
4.9K
43
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.