Quote:
Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris berpendapat bahwa pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme tidak perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( RUU Antiterorisme).
Menurut Charles, ketentuan pelibatan kekuatan militer dalam operasi militer selain perang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Pelibatan TNI harus secara terbatas dan cukup diatur dalam UU TNI. Saya rasa presiden paham tupoksi TNI," ujar Charles dalam diskusi bertajuk 'Dinamika Gerakan Terorisme dan Polemik Revisi UU Anti-Terorisme', di Auditorium Nurkholis Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
Jika mengacu pada UU TNI, lanjut Charles, pengerahan kekuatan militer dalam penanganan terorisme harus berdasarkan pada keputusan politik presiden.
Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI menyebutkan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang, misalnya untuk mengatasi terorisme, dengan didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.
"Tidak ada yang halangi TNI terlibat asalkan ada keputusan politik negara," kata Charles.
Charles menjelaskan, UU Antiterorisme yang dibuat pasca-reformasi telah memilih menggunakan model penegakan hukum.
(Baca: Akademisi Kritisi Rencana Pemerintah Libatkan TNI dalam RUU Terorisme)
Jika TNI dilibatkan secara penuh dalam pemberantasan terorisme, kata Charles, maka hal itu akan bertentangan dengan amanat reformasi, sebab TNI akan masuk ranah penegakan hukum yang menjadi kewenangan kepolisian.
"Saya ingin mendudukan institusi pada porsinya masing-masing. Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri) dan polisi yang memiliki wewenang penegakan hukum," tutur Charles.
Sumber :
KOMPAS