Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nartobantulAvatar border
TS
nartobantul
Serat Wedhatama
Serat Wedhatama
Adalah salah satu serat karangan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV). Serat ini berisi tentang falsafah kehidupan dan ajaran kebaikan, seperti hidup bertenggang rasa, menjadi orang berwatak ksatria, dan menjadi manusia seutuhnya. Serat ini ditulis dalam bentuk tembang macapat agar mudah diingat dan digemari oleh masyarakat Jawa yang pada umumnya menyukai kesenian.

PANGKUR (14 pupuh, I - XIV))

1. Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karanan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung,
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming aji.

Meredam nafsu angkara dalam diri,
Hendak berkenan mendidik putra-putri
Tersirat dalam indahnya tembang,
Dihias penuh variasi,
Agar menjiwai hakekat ilmu luhur,
Yang berlangsung di tanah Jawa (Nusantara)
Agama sebagai “pakaian” kehidupan.

2. Jinejer neng Wedatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa,
Yekti sepi asepa lir sepah samun,
Samangsane pasamuan
Gonyak ganyuk nglelingsemi.

Disajikan dalam serat Wedhatama,
Agar jangan miskin pengetahuan
Walaupun sudah tua pikun
Jika tidak memahami rasa sejati (batin)
Niscaya kosong tiada berguna
Bagai ampas, percuma sia-sia,
Di dalam setiap pertemuan
Sering bertindak ceroboh memalukan.

3. Nggugu karsaning priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling,
Lumuh ing ngaran balilu,
Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing samudana,
Sesadon ingadu manis

Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi),
Namun tak mau dianggap bodoh,
Selalu berharap dipuji-puji
Sebaliknya, ciri orang yang sudah memahami ilmu sejati tak bisa ditebak,
Berwatak rendah hati,
Selalu berprasangka baik.

4. Si pengung nora nglegawa,
Sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur,
Kandhane nora kaprah,
Saya elok alangka longkanganipun,
Si wasis waskitha ngalah,
Ngalingi marang si pingging.

Si Dungu tidak menyadari,
Bualannya semakin menjadi jadi,
Ngelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
Makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya,
Si Pandai yang cermat mengalah,
Menutupi aib si bodoh.

5. Mangkono ngelmu kang nyata,
Sanyatane mung weh reseping ati,
Bungah ingaran cubluk,
Sukeng tyas yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan sadina dina
Aja mangkono wong urip.

Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketentraman hati,
Tidak merana dikatakan bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong
Ingin dipuji setiap hari
Janganlah begitu caranya orang hidup.

6. Urip sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki

Hidup sekali saja berantakan
Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram, berdengung
Seperti halnya watak anak muda
Masih pula berlagak congkak

7. Kikisane mung sapala,
Palayune ngendelken yayah wibi,
Bangkit tur bangsaning luhur,
Lha iya ingkang rama,
Balik sira sarawungan bae durung
Mring atining tata krama,
Nggon anggon agama suci.

Tujuan hidupnya begitu rendah,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu,
Sedangkan kamu kenal saja belum,
Akan hakikatnya tata krama
Dalam ajaran yang suci.

8. Socaning jiwangganira,
Jer katara lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor kudu unggul,
Semengah sesongaran,
Yen mangkono keno ingaran katungkul,
Karem ing reh kaprawiran,
Nora enak iku kaki.

Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas walau tutur kata halus,
Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu nak.

9. Kekerane ngelmu karang,
Kekarangan saking bangsaning gaib,
Iku boreh paminipun,
Tan rumasuk ing jasad,
Amung aneng sajabaning daging kulup,
Yen kapengok pancabaya,
Ubayane mbalenjani.

Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa)
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu umpama bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di kulitnya saja nak
Bila terbentur marabahaya,
Bisanya menghindari.

10. Marma ing sabisa-bisa,
Bebasane muriha tyas basuki,
Puruita-a kang patut,
Lan traping angganira,
Ana uga angger ugering kaprabun,
Abon aboning panembah,
Kang kambah ing siyang ratri.

Karena itu sebisa-bisanya,
Upayakan selalu berhati baik,
Bergurulah secara tepat,
Yang sesuai dengan dirimu,
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
Yang berlaku siang malam.

11. Iku kaki takok-eno,
Marang para sarjana kang martapi
Mring tapaking tepa tulus,
Kawawa nahen hawa,
Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
Tan mesthi neng janma wredha
Tuwin mudha sudra kaki.

Itulah nak, tanyakan,
Kepada para sarjana yang menimba ilmu,
Kepada jejak hidup para suri tauladan yang benar,
Dapat menahan hawa nafsu,
Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
Yang tidak harus dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak.

12. Sapantuk wahyuning Alah
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga,
Yen mengkono kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil

Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cermat mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan Dwi Tunggal (menyatunya Sukma dengan Tuhan).

13. Tan samar pamoring sukma,
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.

Tidak lah samar-samar saat sukma menyatu,
Meresap terpatri dalam keheningan semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati,
menjadi pembuka tabir,
Berawal dari keadaan antara sadar dan tiada,
Seperti terlepasnya mimpi,
Merasuknya rasa yang sejati.

14. Sejatine kang mangkana,
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem arameyan,
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula ulanira.
Mulane wong anom sami.

Sebenarnya yang demikian itu,
Merupakan anugrah Tuhan,
Kembali ke alam yang 'kosong',
Tak tergoda duniawi (tak mengumbar nafsu duniawi),
Yang bersifat kuasa menguasai.
Kembali ke asal muasalmu
Oleh karena itu wahai anak muda sekalian.
1
6K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
BudayaKASKUS Official
2.3KThread1.1KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.