metrotvnews.comAvatar border
TS
MOD
metrotvnews.com
Rindu Ini...


Metrotvnews.com, Jakarta: Rindu adalah undangan paling jitu untuk membuat seseorang kembali. Layar yang terkembang dari sebabak rasa kangen, cenderung menampilkan kenangan yang indah-indah. Bukan sekadar dalam urusan personal, soal ini bisa berlaku di dimensi apa saja.


Pun orang-orang yang kemarin hari turut hadir di Masjid At-Tin, Jakarta Timur. Tajuk Haul Soeharto dan Peringatan 51 tahun Supersemar tentu menjadi alasan untuk rela kembali berkubang dalam ingatan-ingatan. Soeharto, menurut mereka patut dikenang. Bahkan, 'dikembalikan'.


'Begitu banyak rakyat yang mendoakan Pak Harto‎,' kata perwakilan keluarga, Titik Soeharto, saat menyampaikan sambutan, Sabtu 11 Maret 2017.


Jemaah bukan cuma diisi orang-orang biasa. Beberapa pesohor dan pemuka agama yang namanya karib disebut-sebut dalam percaturan Pilkada DKI Jakarta turut juga di dalamnya. Tema 'Rindu Soeharto' rupanya sudah sedemikian membuncah. Tapi jangan lupa, belum tentu semua warga Indonesia merasakannya.




Jemaah berdoa seusai Zikir dan Salawat Akbar untuk Negeri dalam rangka memperingati 51 tahun Supersemar dan Haul Presiden kedua Indonesia Soeharto di Masjid Agung At-Tin, TMII, Jakarta, Sabtu (11/3). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa


Di ruang lain, Soeharto masih terekam kuat dalam sejarah sebagai tokoh yang sempat digelari Bapak Pembangunan. Di tangannya, digenggam kekuasaan Orde Baru (Orba) selama 32 tahun. Kebebasan pers dan berpendapat dibungkam, belum lagi ihwal dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga suburnya tradisi korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).


Jadi, ketika sudah menghadapkan kedua kelompok ini, suasana yang sama akan diberi judul berbeda. Bagi pecintanya, boleh saja diucap rindu Soeharto. Tapi di mata penentangnya, kalimatnya bisa lebih energik; Awas bahaya laten Orba!.


Istilah laten ini kemudian menjadi menarik. Laten bisa digunakan untuk senjata saling serang. Sebelumnya, sebutan ini mungkin masyhur untuk menumbuhkan kewaspadaan bangkitnya PKI. Meski tidak jelas juga, karena memang laten adalah ketidak-jelasan yang bisa dijadikan alat teror di tengah masyarakat.


Jika menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), laten berarti tersembunyi, terpendam, tidak kelihatan, tetapi mempunyai potensi untuk muncul. Laten kerap dikaitkan dengan dimensi budaya. Sesuatu yang laten bisa bertahan karena ia hidup dalam cara berpikir, cara bertindak, dan cara memaknai diri.


Begitu pun Haul Soeharto dan Peringatan 51 Tahun Supersemar. Tema ini sebenarnya tak jauh dengan upaya imajinasi sosiologis Orba. Yakni memberikan pemahaman bahwa Orba sebuah orde yang berambisi menciptakan keamanan dan ketertiban, murah sandang, pangan, papan, mengayomi semua kelompok. Tapi di sisi lain, ia mengenalkan Demokrasi Pancasila, democracy with adjective. Ada musyawarah mufakat, tetapi hakikatnya tetap Sang Bapak yang mengetuk palu keputusan akhir. Penguasa tunggal adalah kenyataan.


Ihwal imajinasi sosiologis ini menarik. Dalam The Seciological Imagination (1959), misalnya, seorang sosiolog kondang Amerika C. Wright Mills mengartikan itu sebagai kemampuan memahami sejarah tidak semata-mata berdasarkan pada sejarah yang diterima umum. Di dalam imajinasi sosiologis, seseorang menghayati bahwa perjalanan hidupnya dan pandangan-pandangannya dibentuk oleh perjalanan sejarah. Dengan begitu, seseorang akan menyadari tempatnya dalam sejarah.


Seseorang dengan imajinasi sosiologis yang tinggi bisa memiliki cara pandang dan penafsiran sendiri terhadap realitas sosial di mana dia hidup. Kualitas unik ini membuatnya memiliki kemampuan memproyeksikan kehidupan masa depan yang berbeda. Situasi sejarah yang konkret, dan gagasan-gagasan ideal tentang masa depan yang gemilang, berjalin dan menyatu. Masa depan selanjutnya adalah tentang segenap tatanan (order of things) yang dirancang menjadi jauh berbeda, meski masih merupakan kelanjutan dari situasi konkret sebelumnya.


Jadi, menggambarkan Orba sebagai produk imajinasi sosiologis cukup logis. Sang pemilik imajinasi sosiologis terkuatnya tentu saja Pak Harto.


Masalahnya, sejak 1998 perputaran arus sejarah membuat memori tentang Orba kerap tak utuh tergambar, terutama pada generasi yang lebih muda. Tak heran jika representasi tentang sejarah Orba lebih kerap dalam bentuk laten. Tersembunyi, terpendam, tak tampak, tapi dirasakan, diingat, bahkan dirindukan kehadirannya kembali.


En toch, pada kenyataannya, representasi kerap jatuh pada tingkat pemahaman yang hanya bersifat kulit semata. Yang jauh lebih nyata justru yang laten. Sementara laten berada di struktur bawah memori manusia. Jika Orba dimaknakan sebagai orde yang berambisi mutlak pada kestabilan negara, ironisnya jarang yang memahami bahwa stabilitas dibangun melalui kekerasan yang terstruktur, sistematis, dan massif.


Salim Said, dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) menyatakan bahwa Soeharto dengan Orba-nya, tak beda jauh dengan diktator lain yang pernah tercatat sejarah.


'Demi menjaga stabilitas dan kelanggengan kekuasaan, praktik para pemimpin otoriter dari masa lalu dan masa kini tetap tidak terhindarkan oleh Soeharto. Dengan kebijakan 'tangan besi bersarung sutra', seperti yang sejak awal dipraktikannya, secara perlahan Soeharto mengontrol negara dan tentara sebagai strategi menguasai Indonesia secara berkesinambungan,' tulis Salim.


Tampilan atau representasi  itu bisa jadi juga merupakan produk dari pelembagaan kekuasaan golongan elite tertentu. Mereka gemar mementaskan pemikiran dan pandangan-pandangannya sebagai sesuatu yang 'benar' bagi publik, sekaligus menyalakan sirene bahaya kepada siapapun yang menentangnya. Pada babak ini, lebih akrab disebut hegemoni pemikiran.


Tampilan luar macam itu, boleh dibilang dengan istilah lain sebagai wajah otoriterisme. Negara dijadikan alat otoriterisme kelas penguasa dengan tujuan menciptakan kepatuhan publik.


Dalam kondisi tersebut, singkatnya, negara dianggap mesti dipimpin seorang otokrat demi tegaknya keamanan dan ketertiban. Sementara sejak 1998, imajinasi sosiologis tentang Orba dijungkirbalikkan. Demokrasi diselenggarakan, otoriterisme diakhiri.


Yang jadi soal, keadaan hari ini tidak pula menggambarkan terwujudnya harapan dari gerakan Reformasi. Sedangkan imajinasi sosiologis Orba tetap hidup. Malahan, imajinasi itu punya daya resiliensi. Maka, sangat wajar, jika pada akhirnya marak muncul di pantat-pantat truk sebuah stiker bertuliskan 'Piye? Enak Jamanku to...' lengkap dengan gambar sang Smiling General.


Ya, kerinduan itu kini menyeruak kembali. Dan tentu, digerakkan para pendukungnya. Di belakang itu, ada keluarga dan orang-orang yang menunggu untung dari dampak nostalgia ber-Orba ria.


Tapi lagi-lagi, kebangkitan sesuatu dari sebuah laten cuma bersifat peluang. Selebihnya, rindu yang mengandai. Seperti dendang grup vokal Warna yang hit di pengujung Orba, 'rindu ini terasa indahnya, andai kau ada di sini bersamaku berbagi rasa...'



Sumber : http://news.metrotvnews.com/news/gNQ...OdvK-rindu-ini

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Pada Hari Ini: Mantan Presiden Soeharto Wafat

- Tommy Soeharto Nilai Jasa Ayahnya Sudah Melebihi Panggilan Tugas

- Orang yang Kritisi Soeharto Juga Menikmati Fasilitas Orde Baru

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
468
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Medcom.id
Medcom.idKASKUS Official
23KThread601Anggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.