BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Praperadilan tak bisa hentikan penyidikan Hadi Poernomo

Hadi Poernomo (duduk) saat sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/5/2015)
Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan KPK ihwal putusan pembatalan status tersangka kasus suap, Hadi Poernomo. Status mantan Dirjen Pajak itu dinyatakan tidak sah dalam praperadilan pada 2015 lalu.

Namun majelis hakim MA juga menyatakan bahwa alasan hakim tunggal yang memimpin prapreadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan itu, Haswandi, keliru karena telah melampaui batas wewenangnya.

Putusan bernomor 50 PK/Pid.Sus/2016 yang dibacakan pada 16 Juni 2016, isinya baru diumumkan secara terbuka pada Kamis (2/2/2017). Adapun memori PK yang diajukan KPK telah didaftarkan sejak 28 Juli 2015, sedangkan putusan sidang praperadilan dibacakan pada 26 Mei 2015.

Menanggapi isi putusan MA itu, juru bicara KPK menyatakan, "Kami akan pelajari putusan tersebut secara lengkap terlebih dahulu untuk kemudian bisa melakukan tindakan berikutnya". Demikian ujar Febri Diansyah, kepada Kompas.com, Kamis (2/2/2017).

Penolakan MA terhadap upaya PK Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena upaya hukum kasasi yang merupakan upaya hukum biasa, tidak dapat diajukan terhadap putusan praperadilan. Apalagi dalam bentuk Peninjauan Kembali yang merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan praperadilan.

Ketentuan itu diatur dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Selain tidak dapat mengajukan kasasi, upaya hukum banding pun tidak dapat diajukan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011. Atas dasar itulah, upaya hukum PK terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan.

Dijelaskan pula dalam putusan MA, upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, namun terbatas pada putusan pokok perkara berupa putusan pemidanaan. Aturan ini termaktub dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Larangan PK terhadap putusan praperadilan, juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Pasal 3 aturan tersebut menentukan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya peninjauan kembali.
Putusan hakim prapreadilan tidak tepat dan keliru
Majelis hakim Mahkamah Agung yang terdiri dari Hakim Ketua, Salman Luthan; dan Lumme serta Sri Murwahyuni sebagai Hakim Anggota; berpendapat bahwa Putusan PN Jakarta Selatan bernomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel ada yang keliru.

Pada amar putusan PN Jaksel butir 2, butir 4, dan 5, intinya menyatakan bahwa penyidik KPK tidak sah, sehingga harus menghentikan penyidikan. Kemudian, penyitaan terhadap Hadi Poernomo dinilai tak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan menyatakan penetapan tersangka terhadap Hadi Poernomo tidak sah.

Putusan itu dinilai "tidak tepat dan keliru", karena melampaui batas wewenang dan dapat dikualifikasikan sebagai upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa.

Di samping itu, sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) PERMA RI Nomor 4 Tahun 2016, praperadilan hanya menilai aspek formil, apakah ada minimal dua alat bukti yang sah; dan bila gugatan dikabulkan, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi bila alat bukti yang sah telah terpenuhi.

Meski penilaian ini senada dengan argumen KPK, majelis hakim menyatakan penilaian tersebut "terlepas dari dari alasan peninjauan kembali Pemohon (KPK)".

KPK sebagai pihak Pemohon PK, mengakui bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, obyek praperadilan memang telah diperluas dengan memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.

Namun pertimbangan dasarnya adalah, cukup atau tidak bukti permulaan dalam menetapkan tersangka. Hal ini untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan penegak hukum. Penyidik harus sudah menemukan minimum dua alat bukti, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Adapun pertimbangan hakim Haswandi yang memimpin prapreadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan itu, justru menafikan keabsahan penyidik KPK saat menyidik Hadi Poernomo. Menurut hakim status penyidik tidak sah, sehingga penyidikan dan penetapan tersangka pun dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014. Ia diduga menerima suap untuk mengabulkan keberatan pajak Bank BCA pada 2004 dalam kapasitas sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2002-2004.

Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003, terkait Non-Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp5,7 triliun kepada Direktur PPH Ditjen Pajak. Sang Direktur memberi rekomendasi kepada Dirjen Pajak untuk menolak keberatan itu.

Namun sehari sebelum tenggat keputusan final, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak, memerintahkan Direktur PPH mengubah kesimpulan, dari semula menolak menjadi menerima keberatan. Akibat kebijakan itu, negara diperkirakan merugi Rp375 miliar.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...-hadi-poernomo

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Gempur ketimpangan, pemerintah akan gelar reforma agraria

- Revisi program hibah AS akan tunggu kebijakan Trump

- Ratusan laporan ijazah palsu, ada yang melibatkan kepala daerah

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.