- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Sajah: Hunian Di Atas Bukit
...
TS
samidlan
Cerita Sajah: Hunian Di Atas Bukit
Aloha.. Apa kabar semuanya..
[moga-moga gak salah room]
Langsung saja, ane mau berbagi cerita misteri...
Mohon berkenan pendapat dan komeng Agan-Sista sekalian...
Meluncur TKP
[moga-moga gak salah room]
Langsung saja, ane mau berbagi cerita misteri...
Mohon berkenan pendapat dan komeng Agan-Sista sekalian...
Meluncur TKP
Spoiler for CERITA:
Aku menatap lama sekali ke rumah putih bak pualam di puncak bukit itu. Ben menepuk punggungku, menyuruhku untuk tidak melamun sambil memberikan gurauan tentang kutukan bagi anak yang suka melamun. Dre dan Luk tertawa mengejekku, tentu saja aku menjadi sedikit tersipu dan membantah bahwa aku tadi melamun. Tapi mereka bergeming, tetap tertawa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku memiliki ketertarikan khusus, jika tidak bisa dibilang terobsesi pada istana kecil di atas bukit itu.
Daerah sawah, kebun, dan semak belukar ini menjadi daerah jajahan kami. Tiap kali kami menemukan waktu luang, dengan beringas kami bertualang di padang belukar kerajaan kami ini. Tak terkecuali sore ini. Dan tentu saja, meskipun tidak kentara, akulah yang paling bersemangat menjelajahi tiap senti padang ini, dan rumah putih itulah alasan utamanya, daerah ini begitu dekat dengan rumah pualam-ku.
Rumah itu benar-benar berwarna putih, kusen jendela hingga daun pintu semua dicat putih gading sesuai warna tembok. Mungkin gentingnya berwarna berbeda, tapi dari bawah sini, penutup rumah tersebut tidak terlihat sama sekali. Dan dinding-dinding rumah tersebut dibangun tinggi-sengaja menutupi kenampakan genting yang mungkin berbeda warna. Dan dalam rumahnya, aku-kami tidak pernah mampir ke sana, tapi aku merasa tahu seluk beluk rumah tersebut. Berapa ruangannya, apa warna perabotnya, bagaimana bentuk kamar utamanya. Semuanya serasa tertempel di kepalaku. Aku tak pernah ke sana, tak satupun penduduk desa kami pernah ke sana. Bangunan itu sudah lama terbengkalai dan dipagar rapat. Tapi tetap saja seperti magnet yang memaksaku untuk kembali ke sana, datang ke pelukan pualam putih itu.
Ben adalah kapten kami. Dia melihat memarku yang masih berwarna keunguan, dan lagi-lagi menasehatiku mengenai kecerobohanku. Rasa-rasanya memang tiada hari atau minggu tanpa aku terjatuh atau membentur sesuatu. Seringkali aku terpeleset, berjalan limbung di tengah pematang, menjadi bahan ejekan kawan-kawanku, dan bahan omelan Ben yang kadang berlagak seperti kakak tiri cerewet. Dre adalah sumber ide kami, kepalanya ibarat mesin pencari internet yang khusus menampung ide-ide gila. Jika kami mengikuti semua ide gilanya, mungkin kami sudah sampai di Mars. Dan Luk, si cengeng Luk, airmatanya ibarat mata air yang tak pernah surut, tapi tetap saja dia adalah kawan kami yang berharga.
Sore itu seperti kebanyakan kawan sepermainan, kami bertengkar dalam suatu perlombaan mengumpulkan serangga. Kebrilianan pemikirannya tidak disertai tingkah laku yang lurus, Dre jelas-jelas mengambil seranggaku dan diaku sebagai miliknya. Dan ia tidak mau mengaku. Dalam amarahku aku mengambil serangga tersebut dan mencabutnya menjadi dua bagian. Ben menonjokku di perut. Dia menyorongku jatuh. Dre direnggutnya, disuruh meminta maaf kepadaku. Dan aku dimintanya menguburkan serangga itu. Luk, tentu saja hanya berdiri seperti patung kepanasan, dengan pelupuk mata yang hampir dibanjir airmata. Tapi dialah yang membantu menguburkan serangga itu. Ben kembali berlagak mengenai amarahku yang tak terkendali, menasehati ibarat guru senior. Kemudian aku mengalihkan topik, aku bercerita mengenai hunian di atas bukit, yang sering memanggilku, dan tak sadar aku begitu merindukan kedatanganku ke rumah tersebut. Teman-temanku mendengar dengan sabar, seakan sudah bosan untuk menertawakan ataupun mengejek mengenai obsesiku. Tak berapa lama kemudian kami pulang, karena matahari semakin condong ke peristirahatannya.
Aku di rumah putih itu. Di ranjangnya yang lebar dan kuno dari besi berlapis kuningan. Duduk lesu dan jenuh. Di tengah ruangan yang memandangku hampa, lukisan yang jarang, cermin yang redup, dan perabotan yang irit. Seseorang masuk, wanita tua, mengantarkan makanan. Memintaku tetap di tempatku dan melakukan bersih-bersih, bukan bersih-bersih terbaik yang pernah kulihat. Dalam kesunyian itu aku bercerita padanya. Aku bercerita menghadap ke jendela, seakan-akan bicara pada diriku sendiri. Aku bercerita mengenai kawan-kawanku dan bagaimana serunya sore tadi. Wanita tua itu mendengus pelan, dan pandangannya seakan mengarahkanku ke cermin redup itu. Terpantul sosok bayanganku, lebih tinggi dari wanita tua itu, dengan dagu licin, bekas cukuran. Tulang wajahku panjang dan sudah terlihat sedikit kerut-kerut tanda usia memakanku. Wanita tua itu kembali mendengus, aku mendengarnya sebagai gerutuan, cerita tentang kawan-kawanku itu mungkin merupakan pengalamanku lima belas atau dua puluh tahun kebelakang. Tapi aku berani bersumpah, kami benar-benar baru bermain, ingatan itu masih hangat dibenakku. Wanita tua itu tak peduli dan melangkah keluar dengan kelegaan yang tidak ditutup-tutupi seakan-akan lepas dari wabah penyakit.
Lalu ingatan itu menyerbuku, bak air bah melewati corong sempit, semuanya berlomba-lomba melintas dalam benakku. Dre dengan kecurangannya... kemarahanku... Ben yang sok menengahi... batu pinggir sungai yang kuayunkan... Ben yang tertelungkup... Ada darah menggenang... Dre yang terkejut terpeleset ke dalam aliran sungai... Luk yang menangis keras sekali... Berhenti ketika kusentuhkan batu ke batok kepalanya... Ayahku datang... Aliran sungai yang meluap... Tiga anak hilang... Hanya aku yang selamat... Begitu ayahku bersaksi terhadap penduduk desa... Dan aku mulai tinggal abadi di rumah putih ini.
Tapi itu tidak terjadi di sini. Itu terjadi di kotaku, kota kelahiranku. Satu hari perjalanan darat lamanya dari sini. Tak lama setelah serangan ingatan itu, aku jatuh terlelap. Pagi-paginya ketiga temanku berdiri di situ, di pojok kamar. Mengajakku main seperti biasa. Anak-anak adalah pemaaf yang luar biasa, tidak seperti orang dewasa yang pendendam. Aku berlari girang dan turun dari tempat tidurku. Siap kembali bermain.
.
.
.
.
.
.
.
.
Oh, aku lupa, meskipun mengepalkan batu, waktu itu aku masih kanak-kanak. Tenaga hantamanku tidak akan sanggup membunuh siapapun. Dan Dre, ia hanya terpeleset di sungai yang dangkal. Dan Luk, ia bahkan tidak berdarah, hanya benjol dan wajah ketakutannya yang menahan tangis masih kuingat di benakku. Oh, dan terkadang, meskipun ini tidak berkaitan dengan kawan-kawanku, di rumah putih ini, ayahku sering datang. Datang membawa rotan atau besi pengait. Kadang aku dikiranya ternak pembangkang yang bisa dihantamnya sampai puas. Dan memar-memarku selalu saja bertambah akibat kelupaannya. Sepertinya Ben tahu apa penyebab memarku. Tapi sudahlah, yang penting aku bisa bermain dengan kawan-kawanku.
Daerah sawah, kebun, dan semak belukar ini menjadi daerah jajahan kami. Tiap kali kami menemukan waktu luang, dengan beringas kami bertualang di padang belukar kerajaan kami ini. Tak terkecuali sore ini. Dan tentu saja, meskipun tidak kentara, akulah yang paling bersemangat menjelajahi tiap senti padang ini, dan rumah putih itulah alasan utamanya, daerah ini begitu dekat dengan rumah pualam-ku.
Rumah itu benar-benar berwarna putih, kusen jendela hingga daun pintu semua dicat putih gading sesuai warna tembok. Mungkin gentingnya berwarna berbeda, tapi dari bawah sini, penutup rumah tersebut tidak terlihat sama sekali. Dan dinding-dinding rumah tersebut dibangun tinggi-sengaja menutupi kenampakan genting yang mungkin berbeda warna. Dan dalam rumahnya, aku-kami tidak pernah mampir ke sana, tapi aku merasa tahu seluk beluk rumah tersebut. Berapa ruangannya, apa warna perabotnya, bagaimana bentuk kamar utamanya. Semuanya serasa tertempel di kepalaku. Aku tak pernah ke sana, tak satupun penduduk desa kami pernah ke sana. Bangunan itu sudah lama terbengkalai dan dipagar rapat. Tapi tetap saja seperti magnet yang memaksaku untuk kembali ke sana, datang ke pelukan pualam putih itu.
Ben adalah kapten kami. Dia melihat memarku yang masih berwarna keunguan, dan lagi-lagi menasehatiku mengenai kecerobohanku. Rasa-rasanya memang tiada hari atau minggu tanpa aku terjatuh atau membentur sesuatu. Seringkali aku terpeleset, berjalan limbung di tengah pematang, menjadi bahan ejekan kawan-kawanku, dan bahan omelan Ben yang kadang berlagak seperti kakak tiri cerewet. Dre adalah sumber ide kami, kepalanya ibarat mesin pencari internet yang khusus menampung ide-ide gila. Jika kami mengikuti semua ide gilanya, mungkin kami sudah sampai di Mars. Dan Luk, si cengeng Luk, airmatanya ibarat mata air yang tak pernah surut, tapi tetap saja dia adalah kawan kami yang berharga.
Sore itu seperti kebanyakan kawan sepermainan, kami bertengkar dalam suatu perlombaan mengumpulkan serangga. Kebrilianan pemikirannya tidak disertai tingkah laku yang lurus, Dre jelas-jelas mengambil seranggaku dan diaku sebagai miliknya. Dan ia tidak mau mengaku. Dalam amarahku aku mengambil serangga tersebut dan mencabutnya menjadi dua bagian. Ben menonjokku di perut. Dia menyorongku jatuh. Dre direnggutnya, disuruh meminta maaf kepadaku. Dan aku dimintanya menguburkan serangga itu. Luk, tentu saja hanya berdiri seperti patung kepanasan, dengan pelupuk mata yang hampir dibanjir airmata. Tapi dialah yang membantu menguburkan serangga itu. Ben kembali berlagak mengenai amarahku yang tak terkendali, menasehati ibarat guru senior. Kemudian aku mengalihkan topik, aku bercerita mengenai hunian di atas bukit, yang sering memanggilku, dan tak sadar aku begitu merindukan kedatanganku ke rumah tersebut. Teman-temanku mendengar dengan sabar, seakan sudah bosan untuk menertawakan ataupun mengejek mengenai obsesiku. Tak berapa lama kemudian kami pulang, karena matahari semakin condong ke peristirahatannya.
Aku di rumah putih itu. Di ranjangnya yang lebar dan kuno dari besi berlapis kuningan. Duduk lesu dan jenuh. Di tengah ruangan yang memandangku hampa, lukisan yang jarang, cermin yang redup, dan perabotan yang irit. Seseorang masuk, wanita tua, mengantarkan makanan. Memintaku tetap di tempatku dan melakukan bersih-bersih, bukan bersih-bersih terbaik yang pernah kulihat. Dalam kesunyian itu aku bercerita padanya. Aku bercerita menghadap ke jendela, seakan-akan bicara pada diriku sendiri. Aku bercerita mengenai kawan-kawanku dan bagaimana serunya sore tadi. Wanita tua itu mendengus pelan, dan pandangannya seakan mengarahkanku ke cermin redup itu. Terpantul sosok bayanganku, lebih tinggi dari wanita tua itu, dengan dagu licin, bekas cukuran. Tulang wajahku panjang dan sudah terlihat sedikit kerut-kerut tanda usia memakanku. Wanita tua itu kembali mendengus, aku mendengarnya sebagai gerutuan, cerita tentang kawan-kawanku itu mungkin merupakan pengalamanku lima belas atau dua puluh tahun kebelakang. Tapi aku berani bersumpah, kami benar-benar baru bermain, ingatan itu masih hangat dibenakku. Wanita tua itu tak peduli dan melangkah keluar dengan kelegaan yang tidak ditutup-tutupi seakan-akan lepas dari wabah penyakit.
Lalu ingatan itu menyerbuku, bak air bah melewati corong sempit, semuanya berlomba-lomba melintas dalam benakku. Dre dengan kecurangannya... kemarahanku... Ben yang sok menengahi... batu pinggir sungai yang kuayunkan... Ben yang tertelungkup... Ada darah menggenang... Dre yang terkejut terpeleset ke dalam aliran sungai... Luk yang menangis keras sekali... Berhenti ketika kusentuhkan batu ke batok kepalanya... Ayahku datang... Aliran sungai yang meluap... Tiga anak hilang... Hanya aku yang selamat... Begitu ayahku bersaksi terhadap penduduk desa... Dan aku mulai tinggal abadi di rumah putih ini.
Tapi itu tidak terjadi di sini. Itu terjadi di kotaku, kota kelahiranku. Satu hari perjalanan darat lamanya dari sini. Tak lama setelah serangan ingatan itu, aku jatuh terlelap. Pagi-paginya ketiga temanku berdiri di situ, di pojok kamar. Mengajakku main seperti biasa. Anak-anak adalah pemaaf yang luar biasa, tidak seperti orang dewasa yang pendendam. Aku berlari girang dan turun dari tempat tidurku. Siap kembali bermain.
.
.
.
.
.
.
.
.
Oh, aku lupa, meskipun mengepalkan batu, waktu itu aku masih kanak-kanak. Tenaga hantamanku tidak akan sanggup membunuh siapapun. Dan Dre, ia hanya terpeleset di sungai yang dangkal. Dan Luk, ia bahkan tidak berdarah, hanya benjol dan wajah ketakutannya yang menahan tangis masih kuingat di benakku. Oh, dan terkadang, meskipun ini tidak berkaitan dengan kawan-kawanku, di rumah putih ini, ayahku sering datang. Datang membawa rotan atau besi pengait. Kadang aku dikiranya ternak pembangkang yang bisa dihantamnya sampai puas. Dan memar-memarku selalu saja bertambah akibat kelupaannya. Sepertinya Ben tahu apa penyebab memarku. Tapi sudahlah, yang penting aku bisa bermain dengan kawan-kawanku.
Spoiler for CERITA 2:
SAAT MOBIL NGADAT
Tidak bisa di-starter. Corolla dx 95 ini memutuskan untuk berdiam diri setelah mengeluarkan bunyi sember yang hambar melekit di telingaku. Menyisakan wajah cemberut istriku, seribu pertanyaan dari keponakan kecilku, dan segenap keputusasaan dan penyesalan dari dalam diriku. Istriku menyuruhku untuk melakukan sesuatu. Senjata andalannya sejak jaman remaja, dipadu dengan nada genit-manja, dan ampuh menaklukkan berbagai jenis lelaki muda-tua. Biasanya para ‘korban’ tersebut akan berusaha mati-matian hingga menimbulkan keajaiban untuk menuntaskan ‘titah’ istriku ini. Dan anehnya, aku sendiri merupakan tipe orang yang tidak bisa apa-apa, tidak ambisius, sulit dimotivasi, dan terlalu malas untuk melakukan sesuatu. Mungkin istriku mau menikahiku karena menilai aku adalah suatu tantangan tersendiri dalam penaklukannya. Atau hanya sekedar iba. Entahlah, yang jelas ketika mantan model remaja yang berprestasi akademik hingga tingkat nasional itu mau menerima lamaranku, aku jelas-jelas menjadi salah satu anak manusia paling beruntung di tanah bumi ini.
Setelah mencoba beberapa kali lagi untuk men-starter mobil, aku membuka kap. Dan terpampang jelaslah di depan mataku penemuan alien berupa mesin mobil. Tadi saja untuk menemukan tuas pembuka kap aku membutuhkan sekitar dua menit tiga puluh detik. Aku akan mencari bantuan, kumandangku kepada istri dan ponakan, menegaskan posisiku disini sebagai pemegang kendali. Bisa saja kami menunggu kendaraan yang lewat atau menelepon bantuan, tapi aku ingin menghirup udara segar sebentar sambil menyesap sedikit tembakau.
Ditemani udara berkabut-sunyi dan suasana yang sedikit gelap pagi hari aku berjalan mencari bantuan. Sambil melamun aku sedikit menertawakan gagasan ini, mana mungkin ada bengkel di tengah hutan begini, warung saja tidak ada.
Tiba-tiba saja bangunan itu ada, di kananku, sedikit menjorok kedalam tertutupi pepohonan. Dengan atap segitiga khas tersusun atas balok kayu dan genting merah, bangunan yang didominasi kayu itu jelas-jelas menunjukkan kurangnya perawatan. Terlihat sejenis palang lapuk yang hampir ambruk sedikit di depan rumah itu, yang menghipnotis kaki-kakiku untuk mendekat.
“Bengkel” tulisannya. Tampak sekelumit ruangan terbuka yang aku duga sebagai lokasi bengkel beroperasi, dan ruangan itu terbuka. Terdapat beberapa peralatan montir didalamnya, yang tampak tak terurus disertai tumpahan oli berbau pekat bercampur bau debu. Tidak ada kendaraan di sana, tapi aku melihat beberapa mobil di samping rumah, yang tidak akan kelihatan dari jalan. Keberadaan mobil yang modern meyakinkanku adanya manusia di sini. Aku memberanikan diri masuk.
Aku mengucapkan salam ketika berdiri di dalam ruang bengkel itu. Tak ada balasan. Aku mengencangkan volume. Belum ada balasan. Sambil mencoba melongok keluar aku kembali mengencangkan volume suaraku. Belum ada jawaban.
Remaja itu muncul. Entah dari balik tong oli di pojokan atau entah dari ketiadaan. Sejenak sesuatu berdesir di tengkukku, reflek kaki kiriku menjejak mundur. Tapi aku memberanikan diriku untuk menyapanya. Tidak ada jawaban. Kucoba lagi. Kujelaskan kondisiku. Aku berjalan keluar menunjuk ke arah kira-kira mobilku berada. Dan kebetulan karena mobilku terletak di area yang lebih tinggi, terlihat dari sini. Sambil terus berbicara aku berjalan kembali ke ruang bengkel tersebut. Sunyi. Seperti rumah tak bertuan. Remaja itu sudah tak ada.
Ngos-ngosan aku berhasil sampai kembali di mobilku. Istriku sedang mendengarkan musik melalui earphone sementara ponakanku bermain gadget. Istriku tidak terkejut dengan hasil tangan kosongku, dia hanya bertanya kenapa aku seperti kehabisan napas. Aku mengucapkan beberapa kalimat yang nyata-nyata bohong. Kami memutuskan akan menelepon montir sambil aku mencoba iseng men-starter kembali. Nyala! Aku langsung tancap gas. Selang beberapa saat, dari ketinggian yang pas, aku melihat rumah itu. Aku mengenali dari halaman dan bentuk atapnya. Rumah itu masih berdiri sendiri. Sendiri, tanpa satupun mobil seperti yang kulihat tadi. Oh, mungkin aku salah lihat.
.
.
.
.
.
.
Dek nama remaja itu. Baru kali ini ia ikut berpesta miras dan obat bersama kawan-kawan kakaknya. Melihat tingkah laku kawanan tersebut yang semakin menggila, Dek memutuskan menyendiri di ruang bekas bengkel, sementara kawanan tersebut gaduh-menggila di bagian dalam rumah. Tak sadar Dek, tertidur di ruangan itu.
Dek terbangun ketika mendengar suara. Masih dengan telinga berdesing dan kepala pusing ia bangkit berdiri. Kabut dan sisa candu mempengaruhi pandangannya, ia melihat sesosok makhluk menyerupai manusia, tanpa kaki, dan berbicara dengan nada non-manusiawi. Sekejap ia membeku. Kemudian ia mencoba menajamkan telinganya. Makhluk tersebut tampak melambaikan tangan mengajaknya pergi ke dunia sana. Otomatis kaki Dek hilang daya, membuatnya jatuh terperanjat. Bergetar penuh khidmat ketakutan. Ketika guncangan di tubuhnya sedikit mereda, ia berdiri. Makhluk itu sudah tak ada. Dengan segenap tenaga Dek berteriak-teriak bak kesetanan, mengambil kunci mobil, dan meng-gas berlebihan kabur dari tempat tersebut. Kawanan kakaknya di dalam rumah terkejut mendengar teriakan-teriakan di luar. Dengan insting terlatih, mereka semua bergegas pergi membawa mobil. Semua kejadian janggal diasosiasikan dengan kedatangan petugas berwajib. Dan dalam sekejap, rumah menjorok di pinggiran gunung itu kosong melompong. Seperti seharusnya.
Tidak bisa di-starter. Corolla dx 95 ini memutuskan untuk berdiam diri setelah mengeluarkan bunyi sember yang hambar melekit di telingaku. Menyisakan wajah cemberut istriku, seribu pertanyaan dari keponakan kecilku, dan segenap keputusasaan dan penyesalan dari dalam diriku. Istriku menyuruhku untuk melakukan sesuatu. Senjata andalannya sejak jaman remaja, dipadu dengan nada genit-manja, dan ampuh menaklukkan berbagai jenis lelaki muda-tua. Biasanya para ‘korban’ tersebut akan berusaha mati-matian hingga menimbulkan keajaiban untuk menuntaskan ‘titah’ istriku ini. Dan anehnya, aku sendiri merupakan tipe orang yang tidak bisa apa-apa, tidak ambisius, sulit dimotivasi, dan terlalu malas untuk melakukan sesuatu. Mungkin istriku mau menikahiku karena menilai aku adalah suatu tantangan tersendiri dalam penaklukannya. Atau hanya sekedar iba. Entahlah, yang jelas ketika mantan model remaja yang berprestasi akademik hingga tingkat nasional itu mau menerima lamaranku, aku jelas-jelas menjadi salah satu anak manusia paling beruntung di tanah bumi ini.
Setelah mencoba beberapa kali lagi untuk men-starter mobil, aku membuka kap. Dan terpampang jelaslah di depan mataku penemuan alien berupa mesin mobil. Tadi saja untuk menemukan tuas pembuka kap aku membutuhkan sekitar dua menit tiga puluh detik. Aku akan mencari bantuan, kumandangku kepada istri dan ponakan, menegaskan posisiku disini sebagai pemegang kendali. Bisa saja kami menunggu kendaraan yang lewat atau menelepon bantuan, tapi aku ingin menghirup udara segar sebentar sambil menyesap sedikit tembakau.
Ditemani udara berkabut-sunyi dan suasana yang sedikit gelap pagi hari aku berjalan mencari bantuan. Sambil melamun aku sedikit menertawakan gagasan ini, mana mungkin ada bengkel di tengah hutan begini, warung saja tidak ada.
Tiba-tiba saja bangunan itu ada, di kananku, sedikit menjorok kedalam tertutupi pepohonan. Dengan atap segitiga khas tersusun atas balok kayu dan genting merah, bangunan yang didominasi kayu itu jelas-jelas menunjukkan kurangnya perawatan. Terlihat sejenis palang lapuk yang hampir ambruk sedikit di depan rumah itu, yang menghipnotis kaki-kakiku untuk mendekat.
“Bengkel” tulisannya. Tampak sekelumit ruangan terbuka yang aku duga sebagai lokasi bengkel beroperasi, dan ruangan itu terbuka. Terdapat beberapa peralatan montir didalamnya, yang tampak tak terurus disertai tumpahan oli berbau pekat bercampur bau debu. Tidak ada kendaraan di sana, tapi aku melihat beberapa mobil di samping rumah, yang tidak akan kelihatan dari jalan. Keberadaan mobil yang modern meyakinkanku adanya manusia di sini. Aku memberanikan diri masuk.
Aku mengucapkan salam ketika berdiri di dalam ruang bengkel itu. Tak ada balasan. Aku mengencangkan volume. Belum ada balasan. Sambil mencoba melongok keluar aku kembali mengencangkan volume suaraku. Belum ada jawaban.
Remaja itu muncul. Entah dari balik tong oli di pojokan atau entah dari ketiadaan. Sejenak sesuatu berdesir di tengkukku, reflek kaki kiriku menjejak mundur. Tapi aku memberanikan diriku untuk menyapanya. Tidak ada jawaban. Kucoba lagi. Kujelaskan kondisiku. Aku berjalan keluar menunjuk ke arah kira-kira mobilku berada. Dan kebetulan karena mobilku terletak di area yang lebih tinggi, terlihat dari sini. Sambil terus berbicara aku berjalan kembali ke ruang bengkel tersebut. Sunyi. Seperti rumah tak bertuan. Remaja itu sudah tak ada.
Ngos-ngosan aku berhasil sampai kembali di mobilku. Istriku sedang mendengarkan musik melalui earphone sementara ponakanku bermain gadget. Istriku tidak terkejut dengan hasil tangan kosongku, dia hanya bertanya kenapa aku seperti kehabisan napas. Aku mengucapkan beberapa kalimat yang nyata-nyata bohong. Kami memutuskan akan menelepon montir sambil aku mencoba iseng men-starter kembali. Nyala! Aku langsung tancap gas. Selang beberapa saat, dari ketinggian yang pas, aku melihat rumah itu. Aku mengenali dari halaman dan bentuk atapnya. Rumah itu masih berdiri sendiri. Sendiri, tanpa satupun mobil seperti yang kulihat tadi. Oh, mungkin aku salah lihat.
.
.
.
.
.
.
Dek nama remaja itu. Baru kali ini ia ikut berpesta miras dan obat bersama kawan-kawan kakaknya. Melihat tingkah laku kawanan tersebut yang semakin menggila, Dek memutuskan menyendiri di ruang bekas bengkel, sementara kawanan tersebut gaduh-menggila di bagian dalam rumah. Tak sadar Dek, tertidur di ruangan itu.
Dek terbangun ketika mendengar suara. Masih dengan telinga berdesing dan kepala pusing ia bangkit berdiri. Kabut dan sisa candu mempengaruhi pandangannya, ia melihat sesosok makhluk menyerupai manusia, tanpa kaki, dan berbicara dengan nada non-manusiawi. Sekejap ia membeku. Kemudian ia mencoba menajamkan telinganya. Makhluk tersebut tampak melambaikan tangan mengajaknya pergi ke dunia sana. Otomatis kaki Dek hilang daya, membuatnya jatuh terperanjat. Bergetar penuh khidmat ketakutan. Ketika guncangan di tubuhnya sedikit mereda, ia berdiri. Makhluk itu sudah tak ada. Dengan segenap tenaga Dek berteriak-teriak bak kesetanan, mengambil kunci mobil, dan meng-gas berlebihan kabur dari tempat tersebut. Kawanan kakaknya di dalam rumah terkejut mendengar teriakan-teriakan di luar. Dengan insting terlatih, mereka semua bergegas pergi membawa mobil. Semua kejadian janggal diasosiasikan dengan kedatangan petugas berwajib. Dan dalam sekejap, rumah menjorok di pinggiran gunung itu kosong melompong. Seperti seharusnya.
Spoiler for CERITA 3:
LIDAH TAK BERTULANG
Aku menemuinya di kedai kopi seberang gedung pertemuan. Ia terlihat seperti biasa: cantik menawan dan membuat nyaliku ciut seperti kucing kampung bersanding kucing persia peranakan. Dan kemudian kekasihku itu tersenyum, meluluhkan keraguanku, kemudian ia menggenggam tanganku, melumerkan segala pikiran negatifku. Tadinya aku berniat tidak akan datang ke acara tahunan di gedung seberang.
Gedung itu dipenuhi oleh orang elit, istilah yang kubuat sendiri. Kolega di bidangku maupun bidang terkait dengan status terbaik, pemain-pemain industri kelas kakap, hingga pucuk-pucuk pimpinan dengan setelan mentereng mereka. Tak mau kalah, panitia sendiri terdiri dari event organizer kelas atas dengan pramusaji-pramusaji rupawannya, dibantu sukarelawan dari golongan mahasiswa dengan mata berbinar-binar. Dan gedung itu sendiri, tak sembarang acara yang diperbolehkan digelar di sana. Lalu aku melihat orang itu, ibarat pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.
Aku bertengkar hebat dengan orang itu, lucunya itu terjadi di dunia maya. Naasnya itu terjadi di forum ahli-resmi skala nasional. Dan sayangnya lagi, pertengkaran itu belum selesai. Tapi tiba-tiba tangan lembut itu kembali menghampiri pergelangan tanganku. Seakan membaca pikiranku, kekasihku menuntunku menjauhi orang itu. Tapi tanpa kusadari, kemegahan acara ini sedikit demi sedikit buyar semenjak aku menyadari kehadiran orang itu.
Lagi-lagi aku mengecewakan kekasihku. Aku tidak memulainya, serius. Waktu itu aku sedang mengobrol dengan beberapa kolega. Orang itu juga sedang berdiskusi dan tak jauh jaraknya dariku. Tiba-tiba ia mengeraskan suaranya, bercerita mengenai keburukanku tanpa menyebut namaku. Bahkan parahnya, berita itu dilebih-lebihkan dan menjurus ke arah fitnah. Saat itu tanganku kembali digenggam dengan lembut, tapi gejolak amarah dan egoku menepiskan sentuhan lembut itu, yang masih kusesali sampai saat ini. Kukeraskan suaraku mengorek keburukannya, dan tak tanggung-tanggung, kutatap langsung mata orang itu. Sontak kolega-kolega kami terdiam dan pelan-pelan menyingkir. Meninggalkan kami berdua berhadapan laksana petinju memperebutkan gelar dunia. Lalu kami mulai berdebat, halus penuh tikaman seperti politikus menjadi menu pembuka duel kami. Kemudian beranjak kasar seperti keributan di warung kopi. Terakhir ia mengacungkan telunjuknya ke hidungku dengan mempertanyakan kelayakan posisiku dan merendahkan derajatku. Terlanjur emosi, kuucapkan kalimat-kalimat itu. Mengenai keluarganya. Disabilitas. Sungguh kehinaan bagiku berkata seperti itu. Kemudian ia menyebutku binatang, dan berkata lebih mending bicara dengan orang mati daripada denganku. Sontak kekasihku datang menghampiri orang itu, mengajaknya menyingkir, kemudian mereka beranjak seperti menuju tempat miuman ringan. Aku tidak memperhatikan lagi, pandanganku kuarahkan ke lantai, terpaku seolah-olah berlian berkilau tertanam di sana. Dan kehebohan itu pudar, semua kembali pada aktivitas masing-masing. Tidak sepenuhnya sih, buktinya aku didiamkan, dianggap seperti tak ada.
Lalu tangan itu kembali menggenggamku. Ketika aku mendongak, kulihat senyum menawan kekasihku.
“Pulang yuk!?” ajaknya.
Langsung saja aku menurut seperti anak anjing. Tapi ia masih menuntunku untuk berpamitan kepada rekanan-rekanan penting dan kawan-kawanku. Dan dengan eloknya kekasihku memberi alasan bahwa ia dikejar suatu urusan, berkorban dianggap tidak sopan demi aku.
Mobilku berjalan sedang di jalanan yang lumayan lancar. Aku masih belum mengeluarkan sepatah kata pun semenjak naik ke dalam mobil. Lalu kekasihku menyalakan radio, mungkin untuk memecah keheningan, atau dia sudah lelah berbicara tanpa aku tanggapi, tapi kemungkinan besar ia memberiku waktu menyendiri tanpa membuat suasana menjadi canggung. Alunan lagu-lagu tersebut disisipi oleh berita-berita singkat. Tak sengaja aku mendengar berita itu. Terjadi kecelakaan beberapa waktu lalu, kemudian pembawa berita menyebutkan ciri mobil naas tersebut. Baru saja aku mau menyela berita tersebut ketika mendengar ciri-ciri mobil yang ringsek, sang pembawa acara melanjutkan beritanya yang membuat aku terdiam. Pembawa berita menyebutkan inisial pengemudi naas. Kemudian pakaian yang dikenakan. Semua itu pas sekali seperti kekasihku. Sejenak darahku membeku dan jantungku berhenti berdetak. Kemudian senyum lemah tersungging di wajahku. Aku tersenyum kepada diriku sendiri. Karena, kini aku merasakan kekosongan di kendaraanku ini. Aku hanya sendiri. Aku tinggal sendiri. Kemudian kubiarkan aliran hangat itu membasahi pipiku, kubiarkan wajah simetrisku yang biasa kupasang di depan umum, menekuk tak karuan, kubiarkan isakanku yang seperti serangga kehilangan musim panas, menggema nyaring di kendaraan ini. Lalu kutatap langit malam dengan mata sembapku, kulihat bulan bersinar penuh tanpa halangan awan. Dan kemudian lagu kesukaan kami melantun lembut dari pengeras suara kendaraanku. Sungguh, akan menjadi malam yang indah untuk satu makan malam romantis.
Aku menemuinya di kedai kopi seberang gedung pertemuan. Ia terlihat seperti biasa: cantik menawan dan membuat nyaliku ciut seperti kucing kampung bersanding kucing persia peranakan. Dan kemudian kekasihku itu tersenyum, meluluhkan keraguanku, kemudian ia menggenggam tanganku, melumerkan segala pikiran negatifku. Tadinya aku berniat tidak akan datang ke acara tahunan di gedung seberang.
Gedung itu dipenuhi oleh orang elit, istilah yang kubuat sendiri. Kolega di bidangku maupun bidang terkait dengan status terbaik, pemain-pemain industri kelas kakap, hingga pucuk-pucuk pimpinan dengan setelan mentereng mereka. Tak mau kalah, panitia sendiri terdiri dari event organizer kelas atas dengan pramusaji-pramusaji rupawannya, dibantu sukarelawan dari golongan mahasiswa dengan mata berbinar-binar. Dan gedung itu sendiri, tak sembarang acara yang diperbolehkan digelar di sana. Lalu aku melihat orang itu, ibarat pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.
Aku bertengkar hebat dengan orang itu, lucunya itu terjadi di dunia maya. Naasnya itu terjadi di forum ahli-resmi skala nasional. Dan sayangnya lagi, pertengkaran itu belum selesai. Tapi tiba-tiba tangan lembut itu kembali menghampiri pergelangan tanganku. Seakan membaca pikiranku, kekasihku menuntunku menjauhi orang itu. Tapi tanpa kusadari, kemegahan acara ini sedikit demi sedikit buyar semenjak aku menyadari kehadiran orang itu.
Lagi-lagi aku mengecewakan kekasihku. Aku tidak memulainya, serius. Waktu itu aku sedang mengobrol dengan beberapa kolega. Orang itu juga sedang berdiskusi dan tak jauh jaraknya dariku. Tiba-tiba ia mengeraskan suaranya, bercerita mengenai keburukanku tanpa menyebut namaku. Bahkan parahnya, berita itu dilebih-lebihkan dan menjurus ke arah fitnah. Saat itu tanganku kembali digenggam dengan lembut, tapi gejolak amarah dan egoku menepiskan sentuhan lembut itu, yang masih kusesali sampai saat ini. Kukeraskan suaraku mengorek keburukannya, dan tak tanggung-tanggung, kutatap langsung mata orang itu. Sontak kolega-kolega kami terdiam dan pelan-pelan menyingkir. Meninggalkan kami berdua berhadapan laksana petinju memperebutkan gelar dunia. Lalu kami mulai berdebat, halus penuh tikaman seperti politikus menjadi menu pembuka duel kami. Kemudian beranjak kasar seperti keributan di warung kopi. Terakhir ia mengacungkan telunjuknya ke hidungku dengan mempertanyakan kelayakan posisiku dan merendahkan derajatku. Terlanjur emosi, kuucapkan kalimat-kalimat itu. Mengenai keluarganya. Disabilitas. Sungguh kehinaan bagiku berkata seperti itu. Kemudian ia menyebutku binatang, dan berkata lebih mending bicara dengan orang mati daripada denganku. Sontak kekasihku datang menghampiri orang itu, mengajaknya menyingkir, kemudian mereka beranjak seperti menuju tempat miuman ringan. Aku tidak memperhatikan lagi, pandanganku kuarahkan ke lantai, terpaku seolah-olah berlian berkilau tertanam di sana. Dan kehebohan itu pudar, semua kembali pada aktivitas masing-masing. Tidak sepenuhnya sih, buktinya aku didiamkan, dianggap seperti tak ada.
Lalu tangan itu kembali menggenggamku. Ketika aku mendongak, kulihat senyum menawan kekasihku.
“Pulang yuk!?” ajaknya.
Langsung saja aku menurut seperti anak anjing. Tapi ia masih menuntunku untuk berpamitan kepada rekanan-rekanan penting dan kawan-kawanku. Dan dengan eloknya kekasihku memberi alasan bahwa ia dikejar suatu urusan, berkorban dianggap tidak sopan demi aku.
Mobilku berjalan sedang di jalanan yang lumayan lancar. Aku masih belum mengeluarkan sepatah kata pun semenjak naik ke dalam mobil. Lalu kekasihku menyalakan radio, mungkin untuk memecah keheningan, atau dia sudah lelah berbicara tanpa aku tanggapi, tapi kemungkinan besar ia memberiku waktu menyendiri tanpa membuat suasana menjadi canggung. Alunan lagu-lagu tersebut disisipi oleh berita-berita singkat. Tak sengaja aku mendengar berita itu. Terjadi kecelakaan beberapa waktu lalu, kemudian pembawa berita menyebutkan ciri mobil naas tersebut. Baru saja aku mau menyela berita tersebut ketika mendengar ciri-ciri mobil yang ringsek, sang pembawa acara melanjutkan beritanya yang membuat aku terdiam. Pembawa berita menyebutkan inisial pengemudi naas. Kemudian pakaian yang dikenakan. Semua itu pas sekali seperti kekasihku. Sejenak darahku membeku dan jantungku berhenti berdetak. Kemudian senyum lemah tersungging di wajahku. Aku tersenyum kepada diriku sendiri. Karena, kini aku merasakan kekosongan di kendaraanku ini. Aku hanya sendiri. Aku tinggal sendiri. Kemudian kubiarkan aliran hangat itu membasahi pipiku, kubiarkan wajah simetrisku yang biasa kupasang di depan umum, menekuk tak karuan, kubiarkan isakanku yang seperti serangga kehilangan musim panas, menggema nyaring di kendaraan ini. Lalu kutatap langit malam dengan mata sembapku, kulihat bulan bersinar penuh tanpa halangan awan. Dan kemudian lagu kesukaan kami melantun lembut dari pengeras suara kendaraanku. Sungguh, akan menjadi malam yang indah untuk satu makan malam romantis.
Spoiler for CERITA LAIN DI LUAR GALAKSI KASKUS:
```````````````TERIMA KASIH```````````````
Diubah oleh samidlan 13-10-2016 12:36
anasabila memberi reputasi
1
790
Kutip
1
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.7KThread•43.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya