- Beranda
- Berita Olahraga
Media Inggris Ungkap Skandal Pelatih Timnas ENG Sam Allardyce
...
TS
bottle17oz
Media Inggris Ungkap Skandal Pelatih Timnas ENG Sam Allardyce
Media Inggris Ungkap Skandal Sam Allardyce
Quote:
Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu media Inggris Telegraph, menggemparkan sepak bola Inggris. Pasalnya, media tersebut baru saja memuat berita dan video hasil investigasi mereka terhadap manajer timnas Inggris Sam Allardyce.
Salah satu kru Telegraph mencoba melakukan penyamaran sebagai seorang pengusaha dari Timur Tengah yang berpura-pura membuat negosiasi soal kontrak pemain. Tujuannya untuk membongkar skandal suap dan korupsi di sepak bola Inggris. Tak tanggung-tanggung, investigasi tersebut salah satunya adalah Allardyce.
Media tersebut semula hanya ingin mendapat pengakuan dari Allardyce yang direkam dengan kamera tersembunyi untuk mengetahui gambaran tentang modus untuk mengakali aturan sepak bola di Inggris soal ‘kepemilikan’ pemain. Itu merupakan liputan investigasi yang sudah dijalankan sejak 10 bulan terakhir.
Allardyce pun tertangkap kamera menggunakan jabatannya sebagai manajer timnas Inggris untuk memuluskan negosiasi sebesar 400 ribu poundsterling. Ia juga memberikan saran kepada sang reporter yang menyamar untuk mengakali aturan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) terkait kepemilikan pemain.
Pembicaraan itu dilakukan beberapa waktu silam sebelum Allardyce memulai sesi latihan bersama para pemain timnas Inggris.
Ia bahkan setuju untuk terbang ke Singapura dan Hong Kong sebagai perwakilan dan menjelaskan sang ‘pengusaha’ tersebut untuk mengakali aturan FA yang melarang pihak ketiga untuk menguasai pemain.
Aturan itu sendiri dibuat FA pada 2008 karena amat kental dengan perbudakan manusia. FIFA baru menerapkannya pada 2015 lalu.
Secara sederhananya kepemilikan pihak ketiga terhadap pemain membuat mereka memiliki ‘saham’ terhadap pemain yang bersangkutan.
Allardyce pun dengan meyakinkan mengatakan bahwa tidak masalah melanggar aturan FA yang diterapkan pada 2008 itu.
Ia bahkan menyebutkan mengetahui secara pasti bahwa beberapa agen juga melakukan cara-cara kotor tersebut. “Anda masih bisa mengakalinya. Maksud saya jelas sekali ada uang besar di sini,” tutur Allardyce dalam rekaman tersebut.
Dalam rekaman tersebut, Allardyce juga sempat menyebutkan kejelekan pendahulunya di timnas Inggris, Roy Hodgson, yang menjulukinya ‘Woy’ dan mengatakan bahwa Hodgson tak punya kepribadian bagus untuk bicara di depan umum.
Ia juga menyebut bahwa pemain-pemain timnas Inggris tak mampu bermain bagus karena ada masalah psikologis dan mereka tak mampu mengatasinya.
Bahkan, ia juga menilai keputusan FA untuk memugar kembali Stadion Wembley merupakan sebuah kebodohan. (bac)
http://www.cnnindonesia.com/olahraga...sam-allardyce/
Salah satu kru Telegraph mencoba melakukan penyamaran sebagai seorang pengusaha dari Timur Tengah yang berpura-pura membuat negosiasi soal kontrak pemain. Tujuannya untuk membongkar skandal suap dan korupsi di sepak bola Inggris. Tak tanggung-tanggung, investigasi tersebut salah satunya adalah Allardyce.
Media tersebut semula hanya ingin mendapat pengakuan dari Allardyce yang direkam dengan kamera tersembunyi untuk mengetahui gambaran tentang modus untuk mengakali aturan sepak bola di Inggris soal ‘kepemilikan’ pemain. Itu merupakan liputan investigasi yang sudah dijalankan sejak 10 bulan terakhir.
Spoiler for Big Sam on Telegraph Investigation:
Allardyce pun tertangkap kamera menggunakan jabatannya sebagai manajer timnas Inggris untuk memuluskan negosiasi sebesar 400 ribu poundsterling. Ia juga memberikan saran kepada sang reporter yang menyamar untuk mengakali aturan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) terkait kepemilikan pemain.
Pembicaraan itu dilakukan beberapa waktu silam sebelum Allardyce memulai sesi latihan bersama para pemain timnas Inggris.
Ia bahkan setuju untuk terbang ke Singapura dan Hong Kong sebagai perwakilan dan menjelaskan sang ‘pengusaha’ tersebut untuk mengakali aturan FA yang melarang pihak ketiga untuk menguasai pemain.
Aturan itu sendiri dibuat FA pada 2008 karena amat kental dengan perbudakan manusia. FIFA baru menerapkannya pada 2015 lalu.
Secara sederhananya kepemilikan pihak ketiga terhadap pemain membuat mereka memiliki ‘saham’ terhadap pemain yang bersangkutan.
Allardyce pun dengan meyakinkan mengatakan bahwa tidak masalah melanggar aturan FA yang diterapkan pada 2008 itu.
Ia bahkan menyebutkan mengetahui secara pasti bahwa beberapa agen juga melakukan cara-cara kotor tersebut. “Anda masih bisa mengakalinya. Maksud saya jelas sekali ada uang besar di sini,” tutur Allardyce dalam rekaman tersebut.
Dalam rekaman tersebut, Allardyce juga sempat menyebutkan kejelekan pendahulunya di timnas Inggris, Roy Hodgson, yang menjulukinya ‘Woy’ dan mengatakan bahwa Hodgson tak punya kepribadian bagus untuk bicara di depan umum.
Ia juga menyebut bahwa pemain-pemain timnas Inggris tak mampu bermain bagus karena ada masalah psikologis dan mereka tak mampu mengatasinya.
Bahkan, ia juga menilai keputusan FA untuk memugar kembali Stadion Wembley merupakan sebuah kebodohan. (bac)
http://www.cnnindonesia.com/olahraga...sam-allardyce/
Quote:
Sekilas Ttg Kepemilikan Pemain Pihak Ketiga
Kepemilikan Pemain Pihak Ketiga Memang Bikin Ruwet
by Frasetya Vady Aditya 11/04/2015 12:22
Seperti dilansir Goal, CEO Doyen Sports, Nelio Lucas, menentang keras rencana FIFA dan UEFA yang berencana melarang praktik kepemilikan pemain pihak ketiga atau third-party ownership (TPO). Menurutnya, praktik TPO sebenarnya hadir untuk menambal kesenjangan finansial yang ada di kesebelasan-kesebelasan di luar Liga Primer Inggris.
Namun, bagaimana sebenarnya praktik TPO dijalankan di Eropa dan seberapa besar pengaruh mereka pada persepakbolaan secara keseluruhan?
Berawal dari Amerika Selatan
Praktik TPO merupakan hal yang lumrah terutama di Amerika Selatan. Di Brasil ada tiga model TPO. Pertama, dalam bentuk pemandu bakat atau promotr yang mempromosikan pemain muda lewat jaringan yang mereka miliki. Jika pemain tersebut berhasil dijual, maka promotor berhak mendapat 10-20 persen dari hak ekonomi pemain.
Kedua, kesebelasan yang menawarkan “saham” kepemilikan pemain. Pihak ketiga yang membeli saham tersebut berhak atas hak ekonomi pemain. Ketiga, pemain yang murni dimiliki oleh investor. Dalam praktiknya, kesebelasan seperti hanya meminjam pemain dari investor. Ini dikarenakan mereka butuh pemain berkualitas tapi tak memiliki dana.
Di Amerika Selatan, khususnya di Brasil, para pemain berlomba-lomba meminta gaji tinggi yang disanggupi oleh manajemen kesebelasan. Padahal, penghasilan kesebelasan tidak cukup untuk menutup pengeluaran untuk gaji tersebut. Ini yang membuat kesebelasan bekerjasama dengan pihak ketiga agar mereka tetap bisa royal membeli dan menggaji pemain, tanpa menghancurkan fondasi keuangan mereka.
Apa Itu Hak Ekonomi?
Dalam perpindahan pemain ada istilah “Hak Ekonomi” atau “Hak Komersial” dan “Hak Federatif”. Hak federatif merupakan hak bagi kesebelasan untuk mendaftarkan pemain ke operator liga dan federasi tempat ia akan berkompetisi. Dengan pendaftaran tersebut, secara otomatis kesebelasan mendapatkan “hak ekonomi” pemain, sesuai dengan durasi kontrak.
Hak ekonomi berbentuk sebagai nilai transfer yang diterima kesebelasan jika pemain tersebut pindah meski masih terikat kontrak. Meskipun sepenuhnya menjadi milik kesebelasan, tidak jarang pula ada agen yang meminta 10% hak ekonomi sang pemain. Praktik ini yang juga dilakukan TPO yang biasanya mendapat 10-30% hak ekonomi.
Siapa itu Investor?
Investor TPO bermacam-macam. Namun, umumnya mereka merupakan perusahaan agensi atau manajemen pemain yang memiliki kontrak personal dengan pemain tersebut. Investor bisa pula perusahaan keuangan yang berinvestasi dengan membeli hak ekonomi pemain, untuk mendapatkan hasil berkali-kali lipat saat pemain tersebut dijual.
Mengapa TPO Berkembang?
Alasan utama mengapa TPO berkembang adalah karena kondisi ekonomi kesebelasan yang tidak mampu membeli atau menggaji pemain. Motif tersebut yang membuat TPO mirip narkotika: membuat kesebelasan ketergantungan dengan efek samping yang merusak.
Di Eropa, hanya Liga Inggris, Liga Prancis, dan Liga Belgia yang melarang praktik TPO. Sementara di Eropa Timur, TPO berkembang pesat meski tak semasif di Amerika Selatan. Bahkan, Liga Portugal dan Liga Spanyol sekalipun tidak melarang praktik TPO.
Ini yang membuat TPO berkembang. Mayoritas pemain dari Amerika Selatan lebih memilih bergabung di Liga Portugal sebagai pelabuhan, khususnya pemain-pemain Brasil. Pasalnya, terdapat kesamaan budaya antara Portugal dan Brasil, karena keduanya adalah negeri penjajah-di jajah.
Di Portugal aturan soal TPO bisa dibilang longgar. Bahkan, kesebelasan besar seperti FC Porto dan Sporting Lisbon sekalipun, menggantungkan hidup mereka dari praktik TPO. Mereka yang sudah mulai mendapatkan perhatian, lantas hijrah ke Liga Spanyol. Kalau mereka sudah benar-benar hebat, maka Liga Primer Inggris yang menjadi pelabuhan utama.
Dilema TPO bagi Kesebelasan
Walaupun terkesan diuntungkan dengan praktik TPO, tapi kesebelasan tetap saja mendapatkan kerugian pada akhirnya. Hak ekonomi pemain yang seharusnya menjadi milik kesebelasan, dimiliki sebagian, atau bahkan sepenuhnya oleh pihak ketiga. Padahal, secara teknis, kesebelasan-lah yang meningkatkan karir sang pemain.
Dalam TPO biasanya ada klausul di mana kesebelasan tidak berhak menghalang-halangi seorang pemain untuk pindah, karena dari perpindahan inilah investor mendapatkan keuntungan.
Dampak buruk bagi kesebelasan adalah saat mereka membutuhkan pemain tersebut, tapi terpaksa dilepas karena klausul tersebut. Dampak lainnya adalah kesebelasan makin bergantung pada TPO untuk menyuplai pemain.
Tanpa TPO, kesebelasan dengan anggaran pas-pasan tidak bisa menggaji pemain berkualitas yang meminta harga tinggi. Tanpa pemain berkualitas tidak akan ada pula prestasi. Gara-gara TPO pula, kini kompetisi sepakbola di Brasil tengah menghadapi krisis.
Pada akhirnya, TPO memang mirip narkotika. Jika pernah menyentuhnya, sulit bagi kesebelasan untuk tidak ketergantungan.
http://panditfootball.com/cerita/176...ng-bikin-ruwet
Quote:
Kepemilikan Pemain Pihak Ketiga Memang Bikin Ruwet
by Frasetya Vady Aditya 11/04/2015 12:22
Seperti dilansir Goal, CEO Doyen Sports, Nelio Lucas, menentang keras rencana FIFA dan UEFA yang berencana melarang praktik kepemilikan pemain pihak ketiga atau third-party ownership (TPO). Menurutnya, praktik TPO sebenarnya hadir untuk menambal kesenjangan finansial yang ada di kesebelasan-kesebelasan di luar Liga Primer Inggris.
Namun, bagaimana sebenarnya praktik TPO dijalankan di Eropa dan seberapa besar pengaruh mereka pada persepakbolaan secara keseluruhan?
Berawal dari Amerika Selatan
Praktik TPO merupakan hal yang lumrah terutama di Amerika Selatan. Di Brasil ada tiga model TPO. Pertama, dalam bentuk pemandu bakat atau promotr yang mempromosikan pemain muda lewat jaringan yang mereka miliki. Jika pemain tersebut berhasil dijual, maka promotor berhak mendapat 10-20 persen dari hak ekonomi pemain.
Kedua, kesebelasan yang menawarkan “saham” kepemilikan pemain. Pihak ketiga yang membeli saham tersebut berhak atas hak ekonomi pemain. Ketiga, pemain yang murni dimiliki oleh investor. Dalam praktiknya, kesebelasan seperti hanya meminjam pemain dari investor. Ini dikarenakan mereka butuh pemain berkualitas tapi tak memiliki dana.
Di Amerika Selatan, khususnya di Brasil, para pemain berlomba-lomba meminta gaji tinggi yang disanggupi oleh manajemen kesebelasan. Padahal, penghasilan kesebelasan tidak cukup untuk menutup pengeluaran untuk gaji tersebut. Ini yang membuat kesebelasan bekerjasama dengan pihak ketiga agar mereka tetap bisa royal membeli dan menggaji pemain, tanpa menghancurkan fondasi keuangan mereka.
Apa Itu Hak Ekonomi?
Dalam perpindahan pemain ada istilah “Hak Ekonomi” atau “Hak Komersial” dan “Hak Federatif”. Hak federatif merupakan hak bagi kesebelasan untuk mendaftarkan pemain ke operator liga dan federasi tempat ia akan berkompetisi. Dengan pendaftaran tersebut, secara otomatis kesebelasan mendapatkan “hak ekonomi” pemain, sesuai dengan durasi kontrak.
Hak ekonomi berbentuk sebagai nilai transfer yang diterima kesebelasan jika pemain tersebut pindah meski masih terikat kontrak. Meskipun sepenuhnya menjadi milik kesebelasan, tidak jarang pula ada agen yang meminta 10% hak ekonomi sang pemain. Praktik ini yang juga dilakukan TPO yang biasanya mendapat 10-30% hak ekonomi.
Siapa itu Investor?
Investor TPO bermacam-macam. Namun, umumnya mereka merupakan perusahaan agensi atau manajemen pemain yang memiliki kontrak personal dengan pemain tersebut. Investor bisa pula perusahaan keuangan yang berinvestasi dengan membeli hak ekonomi pemain, untuk mendapatkan hasil berkali-kali lipat saat pemain tersebut dijual.
Mengapa TPO Berkembang?
Alasan utama mengapa TPO berkembang adalah karena kondisi ekonomi kesebelasan yang tidak mampu membeli atau menggaji pemain. Motif tersebut yang membuat TPO mirip narkotika: membuat kesebelasan ketergantungan dengan efek samping yang merusak.
Di Eropa, hanya Liga Inggris, Liga Prancis, dan Liga Belgia yang melarang praktik TPO. Sementara di Eropa Timur, TPO berkembang pesat meski tak semasif di Amerika Selatan. Bahkan, Liga Portugal dan Liga Spanyol sekalipun tidak melarang praktik TPO.
Ini yang membuat TPO berkembang. Mayoritas pemain dari Amerika Selatan lebih memilih bergabung di Liga Portugal sebagai pelabuhan, khususnya pemain-pemain Brasil. Pasalnya, terdapat kesamaan budaya antara Portugal dan Brasil, karena keduanya adalah negeri penjajah-di jajah.
Di Portugal aturan soal TPO bisa dibilang longgar. Bahkan, kesebelasan besar seperti FC Porto dan Sporting Lisbon sekalipun, menggantungkan hidup mereka dari praktik TPO. Mereka yang sudah mulai mendapatkan perhatian, lantas hijrah ke Liga Spanyol. Kalau mereka sudah benar-benar hebat, maka Liga Primer Inggris yang menjadi pelabuhan utama.
Dilema TPO bagi Kesebelasan
Walaupun terkesan diuntungkan dengan praktik TPO, tapi kesebelasan tetap saja mendapatkan kerugian pada akhirnya. Hak ekonomi pemain yang seharusnya menjadi milik kesebelasan, dimiliki sebagian, atau bahkan sepenuhnya oleh pihak ketiga. Padahal, secara teknis, kesebelasan-lah yang meningkatkan karir sang pemain.
Dalam TPO biasanya ada klausul di mana kesebelasan tidak berhak menghalang-halangi seorang pemain untuk pindah, karena dari perpindahan inilah investor mendapatkan keuntungan.
Dampak buruk bagi kesebelasan adalah saat mereka membutuhkan pemain tersebut, tapi terpaksa dilepas karena klausul tersebut. Dampak lainnya adalah kesebelasan makin bergantung pada TPO untuk menyuplai pemain.
Tanpa TPO, kesebelasan dengan anggaran pas-pasan tidak bisa menggaji pemain berkualitas yang meminta harga tinggi. Tanpa pemain berkualitas tidak akan ada pula prestasi. Gara-gara TPO pula, kini kompetisi sepakbola di Brasil tengah menghadapi krisis.
Pada akhirnya, TPO memang mirip narkotika. Jika pernah menyentuhnya, sulit bagi kesebelasan untuk tidak ketergantungan.
http://panditfootball.com/cerita/176...ng-bikin-ruwet
Diubah oleh bottle17oz 27-09-2016 09:19
0
2.1K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Olahraga
15.1KThread•4.6KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru