Ternyata di bulan April lalu diadakan peluncuran buku yang membahas Kasus JIS oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Kuningan, Jakarta pada hari Rabu 13 April 2016. Jadi di dalam buku tersebut gan, berisi hasil eksaminasi yang dilakukan oleh para ahli-ahli hukum yang hadir di sana. Dalam peluncuran tersebut dihadiri peneliti PSHK Miko Susanto Ginting, Koordinator KontraS Haris Azhar, Pemred hukumonline Abdul Razak Asri, Ahli Forensik Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia Ferryal Basbeth, Pakar Hukum Pidana Universitas Andalas Shinta Agustina dan Ketua Harian MaPPI FHUI Choky Risda Ramadhan. Mereka mengungkapkan setiap temuan-temuan dari kasus JIS ini dan diungkapkan ke peserta diskusi saat itu. Masing-masing dari mereka membawa presentasi temuan mereka yang kemudian disesuaikan dengan hukum dank kode etik yang berlaku di Indonesia. Nih gan, di artikel yang ane mau share di bawah, berisi lengkap review acara tersebut termasuk pendapat para ahli yang dijabarkan. Silahkan gan:
Quote:
Rabu, 13 April 2016
Aparat Dinilai Paksakan Pemidanaan dalam Kasus JIS
Karena proses hukum yang tidak sesuai prosedur hingga kesalahan menerjemahkan hasil visum.
KAR Dibaca: 13430 Tanggapan: 0
Belum lekang dari ingatan kasus pelecehan seksual yang dialami anak-anak Jakarta International School (JIS). Kebanyakan masyarakat langsung menaruh simpati kepada para korban. Namun, dari hasil eksaminasi kasus yang diterbitkan dalam buku “Melindungi Anak, Membela Hak Tersangka” mencuat simpati bagi mereka yang menyandang label pelaku.
Koordinator KontraS Haris Azhar mengakui, sulit untuk tidak terjebak dalam opini publik yang terlanjur mengambil sudut pandang korban. Namun, menurutnya kasus pidana tetap harus dikupas dari aspek ilmiah yang netral. Dengan demikian, menurutnya dalam menangani kasus tersebut seharusnya aparat tidak terjebak dalam subyektifitas yang memenangkan satu pihak dan menyudutkan pihak lain.
“Dari hasil eksaminasi ini, terlihat bahwa penanganan kasus JIS carut-marut. Salah satunya terlihat dari kematian petugas kebersihan yang tidak wajar. Selain itu, banyak temuan bahwa kesaksian para saksi dan pelaku dipaksakan dengan cara penyiksaan,” ungkap Harris dalam peluncuran buku yang dilakukan di Jakarta, Rabu (13/4).
Lebih lanjut, Harris menilai penanganan kasus JIS juga memiliki kelemahan. Ia menuturkan, uji hasil visum menyatakan tidak ada penemuan yang menunjukan kondisi anak mengalami pelecehan. Fakta ini didukung oleh keterangan ahli bahwa jika penetrasi dilakukan dengan rentang waktu maka kondisinya tidak identik. Dari kondisi psikologis pun keterangan ahli di pengadilan mengatakan tidak ada kondisi yang mengindikasikan terjadi kekerasan seksual. Fakta presensi sekolah juga menunjukan anak tersebut tidak pernah absen.
“Artinya tidak ada indikasi anak tersebut menjadi korban. Tambahan lagi, ada keterangan saksi yang melihat rekonstruksi, lebih dominan ibunya yang bercerita,” kata Harris.
Harris menilai, sentimental dengan pendekatan hak anak dalam kasus ini sangat besar. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam konvensi hak anak pun pendekatan hak cukup komprehensif. Artinya, perlindungan terhadap anak bukan hanya diberikan oleh negara tetapi bersifat klaster.
“Mulai dari orang tua, pengasuh, penguasa lingkungan, penguasa sekolah, pengawas tempat bermain, sampai negara, semua harus bertanggung jawab. Dalam konvensi itu juga diatur bahwa kepentingan terbaik buat anak harus diberikan dalam kapasitas kepentingan terbaik bagi anak,” ujarnya.
Dirinya pun melihat, hasil eksaminasi menunjukan bahwa ada fakta hak anak yang menjadi korban pelecehan terlanggar lantaran proses hukum yang tidak layak dan patut. Sebab, penyiksaan yang dilakukan polisi dalam menggali kesaksian menghasilkan kesimpulan bahwa polisi belum menangkap pelaku sesungguhnya. Hal ini karena orang-orang yang ditangkap adalah orang-orang yang dipaksa bertanggung jawab. Atau, Harris menduga mereka dipaksa bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak terjadi.
“Asumsi saya, motifnya adalah ekonomi. Sebab, ada gugatan perdata yang nilainya setara dengan aset JIS. Tetapi meskipun ini asumsi, fakta-fakta yang ada berkorelasi ke arah itu,” tambahnya.
Senada dengan Harris, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan FHUI Choky Risda Ramadhan mengakui bahwa ada pemidanaan yang dipaksakan. Pasalnya, Choky melihat alat bukti yang digunakan aparat penegak hukum tidak kuat dan meyakinkan. Selain itu, pembuktiannya pun tidak paripurna.
Lebih lanjut ia mengatakan, pertimbangan hakim pada pengadilan tingkat pertama perlu dikritisi karena tidak mempertimbangkan pendapat dan bukti yang dihadirkan oleh terdakwa. Dalam putusan, hakim menolak mentah-mentah alat bukti surat yang berasal dari Singapura dengan dasar pasal 436 RV. Padahal, menurut Choky sejak diberlakukannya UU Darurat Sipil, aturan yang berlaku di Indonesia bukan RV tetapi HIR.
Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting pun melihat ada keragu-raguan dalam dakwaan kasus tersebut. Ia menekankan, sari semua hasil pemeriksaan rumah sakit, ada tidak hubungan dengan dapat diduganya seseorang sebagai pelaku. Selain itu, penuntut umum gagal menemukan kausalitas hasil visum dengan pelaku.
“Di dalam dakwaan disebut pelecehan itu sebagai perbuatan berlajut, maka harus ada persamaan kehendak dan deliknya sejenis. Tetapi, di dalam dakwaan tidak dibuktikan adannya kehendak bersama-sama dari semua pelaku untuk melakukan pelecehan seksual kepada anak itu,” ungkapnya.
Selain itu, Ahli Forensik dari Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) dr. Ferryal Basbeth mengatakan bahwa salah satu sebab kesimpangsiuran tersebut adalah kesalahan menerjemahkan hasil visum. Ferryal mengingatkan, dokter sejatinya tidak boleh memberikan terminasi hukum di dalam hasil visum. Misalnya, menjabarkan bahwa hasil visum sesuai dengan tindakan sodomi atau rudapaksaan.
“Mungkin itu opini pemeriksa. Tetapi, opini boleh asalkan harus sesuai dengan bukti. Jangan dipaksakan. Dokter hasrus ingat, kehati-hatian diperlukan dalam menafsirkan hasil lab karena menghasilkan konsekuensi hukum. Sehingga menurut saya, standardisasi hasil visum perlu dibuat untuk mencegah hal ini terulang lagi,” pungkasnya.
source:
http://www.hukumonline.com/berita/ba...alam-kasus-jis
Ane coba mengulang pendapat para ahli di artikel ya gan. Koordinator KontraS, Haris Azhar mengungkapkan jika sangat sulit untuk bisa lepas dari opini publik. Kalo ane ingetin emang waktu kasus JIS ini baru-baru muncul semua orang mengutuk keras sama orang-orang yang diduga menjadi pelaku karena dinilai tega melakukan hal keji kepada anak sekecil itu, termasuk ane. Namun menurut Haris perlu juga melihat dari sisi lain seperti kematian salah satu cleaners disaat proses penyelidikan. Hal itu sangat ganjal karena terdapat indikasi penyiksaan yang dilakukan oleh pihak terkait untuk mendapatkan pernyataan pelaku, karena kondisi jenazah yang ga wajar. Selain hal tsb, Haris juga mengamati dari kondisi korban yang tidak mengindikasi jika ia adalah seorang korban pelecehan seksual, terutama dari hasil visum.
Ga jauh beda gan sama Haris, Ketua Harian MaPPI FHUI Choky Risda Ramadhan juga menyatakan jika terjadi pemidanaan yang dipaksaan. Pernyataan si Choky ini agak sering ane baca berkali-kali untuk memahami kalimat ‘pemidanaan yang dipaksaan’. Istilahnya tepat banget sih gan karena mengingat alat bukti yang digunakan tidak kuat dan meyakinkan karena ga dimunculkan dengan gamblang dan sempurna sampai putusan dilakukan.
Nah, kalo Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting berpendapat jika hasil pemeriksaan rumah sakit terkait kasus ini tidak bisa dijadikan alat bukti untuk kemudian menjadikan seseorang menjadi pelaku. Iya jugasih. Coba aja inget-inget dulu pernah ada pernyataan kalau kondisi lubang pelepasan korban yang normal. Jangan lupa sama hasil tes di rumah sakit di Belgia yang kabarnya mau dijadikan alat bukti baru buat Ferdi dan Neil yang menyatakan kalau korban tidak terjangkit Herpes. Nah, kalo hasilnya gitu kenapa masih ada orang yang dijadikan pelaku ya? Hm.
Ahli Forensik dari Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) dr. Ferryal Basbeth juga memberikan pernyataan serta pengetahuan baru gan. Menurut beliau kesimpang siuran kasus ini juga disebabkan oleh salah satu hasil visum di rumah sakit yang didatangi oleh korban yang salah menafsirkan hasil lab yang kemudian berujung dengan tafsiran hukum yang diputuskan. Menurutnya seorang dokter seharusnya hanya mengungkapkan keadaan korban menurut hasil lab secara obyektif dan apa adanya tanpa menambahkan pernyataan lain yang kemudian dapat memberikan terminasi hukum.
Gimana gan? Semoga ga bingung ya hehe.
Sisi positifnya dari artikel di atas kita bisa tau pandangan ahli hukum mengenai kasus JIS ini yang pasti lebih khatam dari kita sama nambah pengetahuan ya. Balik lagi, ane berharap kasus JIS ini diinvestigasi ulang sama pihak berwajib supaya unsur rekayasa ga mendominasi kasus ini dan tidak menghukum yang tidak bersalah.