- Beranda
- Berita dan Politik
Membangun Fort Chinatown - 'Reklamasi membunuh kami'
...
TS
edisibaru
Membangun Fort Chinatown - 'Reklamasi membunuh kami'
Quote:
Merdeka.com - Suara penolakan terkait proyek reklamasi di Teluk Jakarta sudah lama terdengar. Salah satu pihak yang paling vokal menolak keberadaan pulau buatan itu adalah nelayan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara.
Nelayan protes karena proyek reklamasi membuat tangkapan ikan maupun kerang mereka menjadi berkurang. Sebabnya, banyak ikan dan kerang mati akibat tercemar limbah proyek reklamasi.
Khusus nelayan Muara Angke, reklamasi Pulau G milik PT Muara Wisesa Pramono, anak perusahaan Agung Podomoro Land, paling mengganggu. Sebab lokasinya berada di jalur lintasan mereka biasa melaut.
"Yang tadinya bisa lurus sekarang harus muter jauh untuk sampai ke tengah," ungkap Hery, salah satu nelayan Muara Angke, saat berbincang santai dengan merdeka.com, Senin (25/4) kemarin.
Hery menceritakan, di lokasi pembangunan Pulau G, jenis ikan yang ditangkap bisa beragam. Jumlahnya pun sangat banyak. Tapi itu cerita lama, sebelum pengembang membangun pulau buatan.
"Sekarang jadi sedikit, kalau dulu bisa dapat 30 kg untuk berbagai jenis ikan, sekarang cuma 10 kg, itu juga harus nunggu lama," keluhnya.
Dari biaya operasional, lanjut dia, untuk biaya solar juga lebih besar dari sebelumnya. Jika dulu hanya membutuhkan 30 liter, kini butuh 50 liter untuk sekali jalan sampai ke tengah laut.
"Karena dulu 1.000 meter dari daratan ikan sudah ada, sekarang enggak ada lagi harus ke jarak sampai 1-2 km. Itupun tangkapnya enggak langsung dapat, harus nunggu dulu agak lama," tambahnya.
Dengan tangkapan sedikit dan biaya operasional tinggi, terkadang membuat nelayan pesimis untuk melaut. "Saya ngapain melaut kalau udah banyak buang solar, eh tangkapan sedikit."
Minimnya hasil tangkapan otomatis membuat pendapatannya menurun. Padahal, Hery punya tiga anak, dua diantaranya masih bersekolah dan balita.
"Paling cuma dapat Rp 100.000, itu juga kadang kurang. Tapi ya mau gimana lagi," ucapnya lirih.
Saat merdeka.com berkeliling di Teluk Jakarta, sempat terlihat ada kapal nelayan membantu kapal proyek reklamasi. Namun dipastikan Hery, itu bukan bagian dari nelayan Kali Adem.
"Kalau kita enggak ada, kita bersatu tolak reklamasi. Itu paling nelayan luar yang kapalnya disewa, saya dengar-dengar sewanya sampai Rp 2 juta sehari," ucap pria asal Semarang ini.
Sebenarnya, kata Hery, saat proyek reklamasi Pulau G mulai dikerjakan, para nelayan sempat ditawarkan menjadi bagian dari proyek misalnya untuk pengamanan. Namun nelayan menolak.
"Tapi waktu kemarin kita mau segel itu, kita sempat lihat juga ada nelayan yang antar-antar orang proyek. Tapi khusus Kali Adem bersatulah menolak reklamasi yang membuat hidup kami jadi susah begini," tegasnya.
Kini, Hery dan puluhan nelayan Kali Adem lainnya hanya bisa pasrah. Keputusan pemerintah melakukan moratorium reklamasi nyatanya tak berdampak banyak khususnya untuk Pulau G.
Kapal pengangkut pasir, crane, alat berat, truk masih beroperasi seperti sedia kala. Bahkan kapan nelayan yang mendekat langsung diusir petugas keamanan yang berjaga.
"Mereka biasa numpahin pasirnya malam, jadi pagi udah beres. Kita bingung entah mana yang harus kita percaya kini. Reklamasi seperti membunuh kami," pungkasnya.
http://www.merdeka.com/jakarta/rekla...unuh-kami.html
Quote:
KAMI Cukong.
KAMI yg yg atur. Lo smua kudu nurut atau dipecat orang KAMI.
KAMI ikut pilgub dki, ini sample projek KAMI yg apabila sukses maka softwarenya akan KAMI gunakan pd skala lebih nasional.
Lo pikir cinta aje yg bisa ngebunuh
0
1.7K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
676.4KThread•46KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya