Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mahdifreedomAvatar border
TS
mahdifreedom
Kisruh Industri Transportasi Bukan Soal Online Versus Konvensional
Hari ini halaman berita kita diramaikan oleh aksi demonstrasi supir taksi di kawasan Monas dan Istana Negara. Para supir taksi ini menuntut agar Pemerintah mengambil sikap tegas dengan menutup usaha transportasi online seperti Uber dan Grab yang dipandang mengurangi pemasukan mereka. Kisruh dalam bidang transportasi akhir-akhir ini memang sering terjadi. Pangkalnya disebabkan kehadiran layanan transportasi berbasis online.

Sebelum demo supir taksi ini misalnya, beberapa kali terjadi juga konflik antara ojek pangkalan melawan ojek online yang digawangi oleh Gojek. Syukurlah konflik Ojek versus Gojek ini semakin kemari semakin jarang terjadi. Hal ini karena Gojek giat melakukan ekspansi ke daerah-daerah, sehingga banyak tukang ojek pangkalan yang beralih profesi menjadi diver Gojek. Memang masih banyak titik pangkalan Ojek yang belum beralih menjadi Gojek, namun berkat komunikasi diantara kedua pihak, konflik yang terjadi bisa dikurangi dengan berpegang pada kesepakatan tidak tertulis diantara mereka.

Aksi demo supir taksi tadi siang bisa menjadi pemantik lagi untuk terjadinya konflik antar pelaku moda transportasi ini. Dan isu yang menguat kembali soal layanan online vs layanan konvensional, selain juga tuntutan akan kesamaan regulasi bagi transportasi online.

Go Online! Masalah kah?

Mari kita cermati soal kedua tuntutan ini, pertama soal layanan online. Kita tahu bahwa perkembangan teknologi saat ini sudah demikian pesatnya. Hampir semua bisnis retail terjun ke pasar online. Kemajuan teknologi ini telah membangkitkan gairah usaha bagi perorangan dengan modal kecil. Masyarakat sebagai konsumen pun semakin dimanjakan dengan segala kemudahan yang bisa dijangkau dengan ujung jari. Melihat kenyataan ini, tentu kita tidak bisa menyalahkan penerapan IT dalam bisnis layanan transportasi. Karena bagaimana pun inovasi bisnis ini memang menjadi harapan setiap orang. Maka tuntutan penghapusan layanan transportasi online ini jelas tidak masuk akal karena melawan perkembangan zaman dan harapan masyarakat sendiri.

Mari beranjak pada tuntutan kedua, yakni soal kesamaan regulasi antara pelaku bisnis transportasi online dengan transportasi konvensional. Memang mengelola transportasi online ini perlu memenuhi beragam perizinan yang pada dasarnya adalah untuk mengatur trayek dan juga menjamin keselamatan masyarakat itu sendiri. Sebab itu lah pada transportasi public diberlakukan ketentuan menjalani Uji Kelayakan yang kita kenal dengan KIR (asal kata Bahasa belanda KEUR). Setiap kendaraan umum pasti ada tanda lolos Uji Kelayakan Jalan yang ditandai dengan tanda uji KIR dalam bentuk stiker atau cat putih di badan mobil. Lalu bagaimana dengan kendaraan pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum, seperti yang dilakukan oleh Uber dan Grab?

Hingga saat ini memang kedua usaha tersebut belum memberlakukan Uji KIR untuk anggota-anggotanya. Namun menurut hemat saya, sebenarnya tidak susah memberlakukan ketentuan KIR bagi anggota Uber dan Grab. Melalui system komunikasi yang ada pada teknologi aplikasi mereka, Uber maupun Grab bisa mengontrol driver mereka untuk mengikuti uji KIR, dan secara otomatis bisa memblokir aplikasi driver jika driver tersebut belum mengikuti uji KIR. Masalah penandaan lolos uji KIR di badan mobil mereka, menurut saya itu adalah konsekuensi yang harus diterima sejak mereka menggunakan kendaraan pribadinya menjadi angkutan umum.

Jadi kita bisa lihat bahwa kedua tuntutan para supir taksi tersebut tidak relevan dengan kenyataan yang ada. Saya melihat sumber masalahnya hanya satu, yakni ada pihak-pihak yang bisnisnya terganggu dengan kehadiran layanan transportasi online ini. Selain para pengusaha transportasi, pihak yang berkepentingan dengan kehadiran transportasi online ini tentunya adalah Organda (Organisasi Gabungan Angkutan Darat). Untuk soal ini saya belum banyak tahu, sebab masih belum jelas apa peran dan fungsi Organda dalam industri transportasi.

Bagaimana dengan supir taksi konvensional yang pemasukannya menjadi berkurang akibat kehadiran Uber dan Grab? Dalam hal ini masalahnya adalah kalah bersaing. Uber dan Grab memberikan keunggulan bagi pelanggan untuk memesan taksi dengan mudah dan harga yang lebih murah. Persaingan seperti ini tentu tidak melanggar Undang Undang, dan sebab itu sah-sah saja. Kejadian ini dapat diatasi dengan mudah dengan cara perusahaan taksi konvensional menyediakan aplikasi pemesanan taksi online seperti halnya Uber dan Grab. Soal persaingan harga, seperti yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, pemerintah tidak bisa mengatur soal ketentuan tariff taksi, pemerintah hanya bisa menentukan batas bawah dan batas atas saja. Jika tuntutan demonstrasi itu adalah tariff yang sama, tentu tidak dibenarkan. Logikanya, kalau bisa kasih tariff murah kepada penumpang, kenapa dikasih tariff mahal. Penyamaan tariff ini sama saja dengan logika kartel dan monopoli, yang jelas merugikan masyarakat.

Dari dua analisa diatas, saya sangsi jika kisruh di industry transportasi ibu kota ini soal online versus konvensional. Jika mau lebih kritis, tentu soal utamanya adalah pada kepentingan bisnis.

Monopoli Bisnis Transportasi di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri transportasi sudah menjadi kebutuhan dasar kita, khususnya bagi masyarakat urban yang dituntut mobilitas tinggi setiap harinya. Gagalnya pemerintah dalam menata dan menyediakan transportasi publik menjadi salah satu akar penyebab kekisruhan antar mode transportasi ini. Namun demikian, nyatanya pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan transportasi ini sendirian, karena itu kesertaan swasta dalam bisnis layanan transportasi publik tetap diperlukan.

Sebagai kebutuhan dasar, transportasi menjadi bisnis yang menggiurkan karena uang yang berputar di bisnis ini sangat besar. Apalagi dengan kenyataan pembangunan yang belum merata, sehingga arus komuter warga yang tinggal di pinggiran kota menuju kota untuk bekerja terjadi setiap hari sepanjang tahun. Namun bisnis transportasi ini adalah bisnis bermodal besar yang tidak mungkin diusahakan oleh perorangan dengan modal yang kecil. Karena itu kita bisa lihat hanya beberapa perusahaan saja yang yang bergerak di sektor transportasi ini, dimana untuk soal Taksi salah satu raksasanya adalah PT. Blue Bird Tbk. Penguasaan swasta dalam sector pelayanan public ini sebenarnya sangat disayangkan, karena keuntungannya akan dinikmati oleh segelintir orang saja. Seharusnya untuk sector industry yang melayani kebutuhan massal, bisa dikelola dengan system yang lebih menguntungkan bagi banyak orang.

Model Bisnis Crowdsourcing pada Uber, Gojek dan Grab

Melampaui perdebatan online versus offline dalam kisruh industri transportasi kita, sebenarnya tidak lepas dari persoalan model bisnis yang dijalankan oleh kedua pihak yang berseteru. Pasalnya Gojek, Grab, dan Uber sama-sama menjalankan bisnis dengan model Crowdsourcing. Apa itu Crowdsourcing? Crowdsourcing adalah model bisnis dimana sumber daya yang digunakan bersumber dari banyak orang. Dengan model bisnis ini, perusahaan tidak perlu menyediakan seluruh sumber daya yang akan membebani operasional perusahaan. Dengan begitu perusahaan dapat lebih efisien dan akhirnya bisa memberikan tariff lebih murah kepada pengguna layanan.

Konsep Crowdsourcing ini sebenarnya adalah pengembangan dari konsep koperasi. Dan sebab itu baik Uber dan Grab kini sudah terdaftar dalam badan hokum koperasi. Tinggal Go-Jek saja yang masih berbadan hukum PT. Entah, apakah kemudian akan berubah menjadi Koperasi, atau tidak. Namun, dengan sumber daya Go-Jek sepenuhnya dimiliki oleh para driver, maka seharusnya mendorong Go-Jek untuk menjadi Koperasi sangat mungkin jika muncul inisiatif dari para driver.

Memang tidak mudah bagi pengusaha untuk memilih koperasi sebagai badan hukumnya. Karena dengan berbadan hukum koperasi, kepemilikan usaha menjadi milik bersama. Namun, apakah kita masih mau penguasaan tunggal memonopoli sektor-sektor usaha yang menguasai kebutuhan massal kita? Jika tidak, maka koperasi adalah jawabannya.

Saya melihat model bisnis crowdsourcing ini menjadi trend di masa depan. Ini adalah pertanda baik bagi wajah demokrasi ekonomi kita. Koperasi sebagai badan hokum yang tepat bagi model bisnis crowdsourcing ini harus benar-benar dijalankan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi. Karena bagaimana pun, kita punya kenangan buruk tentang pengelolaan taksi dibawah badan hokum koperasi. Jangan sampai pengelolaan yang korup seperti yang pernah terjadi pada Koperasi Taksi Kosti Jaya kembali terulang. Semoga.
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 5 suara
Hapuskan transportasi online, atau online kan transportasi konvensional?
Hapuskan
40%
Dorong transportasi konvensional menjadi online
60%
Diubah oleh mahdifreedom 23-03-2016 15:52
0
3.3K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
Citizen JournalismKASKUS Official
12.6KThread3.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.