Quote:
Deparpolisasi Menjauhkan Parpol dari Proses Politik
11 Maret, 2016 - 08:16
JAKARTA,(PRLM).- Ketua DPP Golkar Rambe Kamarulzaman menegaskan jika deparpolisasi, menjauhkan parpol dari proses politik dan demokrasi itu justru bertentangan dengan konstitusi. Karena pemilu, pilpres, dan pileg semua dilakukan melalui partai politik. Di mana calon legislatif, presiden dan wakil presiden diusung oleh parpol atau gabungan parpol. Hanya saja kalau pemilihan kepala daerah ada aturan perseorangan. Jadi, ke depan parpol harus makin baik dan maju, agar demokrasi juga makin baik.
“Untuk calon perseorangan dalam Pilkada itu memang diatur UU Pilkada. Tidak demikian halnya dengan pileg dan pilpres yang memang harus melalui parpol. Di mana parpol itu untuk menampung aspirasi dan kedaulatan rakyat, maka tak bisa melakukan deparpolisasi. Sebab, kedaulatan rakyat itu ada di parpol,” tegas Ketua Komisi II DPR RI itu dalam dialektika demokrasi ‘Deparpolisasi’ bersama Ketua DPP PDIP Anreas Parera, dan peneliti utama LIPI Siti Zuhro di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis 10, Maret 2016.
Kalau tentang tahapan Pilkada kata Rambe, itu menjadi tugas pemerintah (Mendagri dan KPU). Di mana pada Maret 2016 ini draft itu akan masuk ke Komisi II DPR RI untuk direvisi. Termasuk jadwal tahapan Pilkada, yang tidak perlu bertabrakkan dengan parpol. “Jadi, proses politik Pilkada pun harus memberikan pendidikan politik kepada rakyat, dan tidak mungkin demokrasi itu menghapuskan keberadaan parpol, karena parpol sebagai pilar utama demokrasi,” ujarnya.
Menyinggung masalah ‘mahar’ kata Rambe, itu urusan internal partai, di mana tidak semua calon harus memberikan ‘mahar’. “Bagaimana pun dalam proses politik itu butuh biaya dan itu berlaku di semua parpol.Jadi, silakan menyalonkan secara perorangan, dan silakan melalui parpol semuanya ada mekanisme dan aturannya sendiri-sendiri, dan tidak saling mendeligitimasi satu sama lain,” pungkasnya.
Ahok atau Basuki Tjahaja Purna sebagai gubernur DKI Jakarta, diakui Andreas Parera sebagai fenomena politik yang telah melakukan banyak rekonstruksi banyak hal termasuk birokrasi, Kalijodo, situasi dan struktur yang ada di DKI Jakarta. Tebrukti itu sukses story Ahok di Jakarta. “Jadi, PDIP tak ada masalah dengan Ahok. jalur perseorangan dalam Pilkada itu sah-sah saja. Tapi, kalau jalur parpol, maka harus mengikuti mekanisme parpol,” tambahnya.
Mendekonstruksi tersebut kata Andreas, kalau berhadapan dengan sistem yang buruk maka akan didukung rakyat. Tapi, kalau berhadapan dengan sistem yang sudah baik, yang sudah ada di partai, maka PDIP akan menolak. Sebab, hal itu akan merusak sistem politik yang ada. Karena itu, calon kepala daerah setidaknya harus memenuhi tiga syarat; yaitu dukungan sosial (elektoral), dukungan parpol agar tidak menimbulkan resistensi di tengah masyarakat, dan dukungan finansial.
Siti Zuhro justru mempertanyakan kenapa terjadi deparpolisasi, kenapa dan kapan calon perseorangan dalam Pilkada itu muncul? Bahwa calon independen itu bukan untuk deparpolisasi, dan tidak menjadi ancaman bagi parpol. Sebab, calon independen itu untuk memberi ruang kepada warga negara untuk menjadi kepala daerah.
Misalnya, dalam Pilkada serentak 2015 lalu, dari 561 jumlah daerah baru ada 35 calon independen atau hanya 14 % dan tidak semuanya sukses.
“Inilah era demokrasi yang memberi ruang untuk kontestasi yang lebih berkualitas. Jadi, kalau mau menyalonkan perseorangan, Ahok sudah populer, mempunyai akses, dan sudah terbukti kinerjanya. Jadi, berlebihan kalau munculnya Ahok itu disebut sebagai deparpolisasi,” tutur Siti.
Pra kondisi Pilkada diakui Siti memang ada indikasi untuk deparpolisasi dan delegitimasi terhadap parpol. Untuk itu, parpol harus melakukan reformasi, perbaikan-perbaikan internal partai yang berkualitas, membangun kepercayaan rakyat. Baik di tingkat daerah (DPRD) sampai tingkat pusat (DPR RI). “Parpol memang pilar demokrasi, maka kalau parpol buruk, demokrasi juga akan buruk,” tambahnya.
Dengan demikian menurut Siti, calon perseorangan itu tidak mengancam deparpolisasi dan munculnya calon independen itu justru untuk menjawab wacana deparpolisasi tersebut. “Dulu Bung Karno pernah membubarkan parpol, dan Soeharto memfusikan parpol hanya melahirkan PPP dan PDI. Sedangkan Golkar baru tahun 1999 menjadi parpol,” pungkasnya.(Sjafri Ali/A-147)***
www.pikiran-rakyat.com/politik/2016/03/11/363864/deparpolisasi-menjauhkan-parpol-dari-proses-politik
Banyaknya berita soal 'mahar' politik yang banyak membuat parpol kebakaran jenggot, saya tertarik untuk membahas lebih jauh statement pak Rambe yang saya bold di atas.
Mahar tersebut ada, walaupun tidak berlaku seragam. Kemungkinan ini untuk kader partai atau vote-getter partai. Jadi kenapa parpol belagak hal itu ga ada? Ada sebabnya.
Mahar politik ini sejatinya dilarang dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 mengenai pilkada. Partai dan calon bisa terkena sanksi pidana dan sanksi administratif.
Tapi sudah jadi rahasia umum (yang artinya bukan rahasia lagi) lagi pada prakteknya hal tersebut tetap jalan, seperti yang dikonfirmasi oleh pak Rambe (dan beberapa politisi lain).
Bagaimana dengan calon yang 'tidak punya duit'? Naif sekali kalau menganggap bahwa mahar hanya bisa berupa uang tunai upfront. Mahar ini juga bisa berupa jabatan strategis kedinasan untuk kader partai, proyek (dengan mark up), atau bahkan cicilan selama masa jabatan.
Nah sekarang parpol yang tertohok minta bukti kalau ada permintaan mahar. Get real.
Mungkinkah partai dan calon usungan membuat kontrak perjanjian hitam di atas putih dengan pengesahan notaris untuk urusan mahar ini?
Nope.
Jadi tentu saja tidak ada parpol yang "meminta mahar" kepada calon.
Tidak ada "bukti" kan?
Dan ada parpol yang bilang de-parpolisasi kalau maju tidak melalui parpol (walaupun sekarang yang kader yang ngomong udah ditabokin sama rekan se-parpol nya).
Gimana rakyat masih bisa percaya kalau parpol menjadi penyambung lidah rakyat ? Berulang kali kita lihat kader parpol tertangkap korupsi (bahkan ada yang ngaku korupsi demi setoran ke parpol), tetap saja praktek "tidak minta mahar" dijalankan.
Kader sumber duit dipelihara dan dimajukan, kader lurus malah terpinggirkan.
Inilah wajah parpol sekarang.
Mau terus seperti ini? Itu terserah kita.
Sekarang ada momentum untuk menjadikan sistem politik indonesia lebih baik.
Jangan di sia-siakan.