Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

polos.dan.suciAvatar border
TS
polos.dan.suci
Lima Catatan Miring DPR 2015
JAKARTA, KOMPAS.com - Dinamika politik sepanjang 2015 tidak lepas dari sepak terjang anggota DPR RI.

Sepanjang tahun ini, ada sejumlah catatan miring atas kinerja anggota parlemen.

Kegaduhan-kegaduhan itu muncul bukan hanya dari para anggota DPR, melainkan juga dari sikap pimpinan lembaga legislatif tersebut.

Berikut lima catatan miring kinerja DPR pada tahun 2015 ini:

1. Minta dana "ini-itu"

Sepanjang 2015, setidaknya ada tiga permintaan DPR yang menimbulkan kritik, bahkan dari internal anggota DPR sendiri.
Pertama, DPR merencanakan tujuh megaproyek di lingkungan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Presiden Joko Widodo sudah menolak rencana itu. Namun, jelang pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 pada 30 Oktober 2015, muncul anggaran Rp 740 miliar untuk pembangunan ruang kerja anggota dan alun-alun demokrasi.
Lima proyek lain akan dikerjakan secara bertahap menggunakan anggaran tahun selanjutnya.
(Baca: DPR Alokasikan Rp 740 Miliar pada APBN 2016 untuk Bangun Ruang Kerja Anggota)
Para wakil rakyat juga meminta adanya dana aspirasi di daerah pemilihan. Jumlahnya mencapai Rp 20 miliar per anggota.
Setelah mendapatkan kritik tajam, pemerintah memutuskan menolak usulan dana aspirasi ini dan tidak mengalokasikannya dalam APBN 2016.
(Baca: Istana: Sudah Final, Tidak Akan Ada Dana Aspirasi pada RAPBN 2016)
Selain itu, Sekretariat Jenderal DPR dan Badan Urusan Rumah Tangga DPR mengusulkan kenaikan tunjangan wakil rakyat. Kenaikan itu untuk tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, hingga bantuan langganan listrik dan telepon.
Pemerintah menyetujui sebagian kenaikan tunjangan itu, sehingga total pendapatan anggota DPR per bulan naik Rp 10 juta per orang.
Anggota Fraksi Nasdem mengambil sikap mengembalikan tunjangan yang sudah cair ke Setjen DPR dan meminta agar kenaikan tunjangan selanjutnya tak ditransfer. Anggota PPP Arsul Sani pun melakukan langkah yang sama.
(Baca: F-Nasdem Resmi Kembalikan Uang Kenaikan Tunjangan Total Rp 617 Juta)


2. Pemukulan anggota DPR

Ribut antaranggota parlemen terjadi pada 8 April 2015. Anggota Komisi VII dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Mustofa Assegaf, memukul Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat Mulyadi.

Adegan kekerasan itu terjadi di sela-sela rapat Komisi VII DPR bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, April 2015.

Merasa tersinggung karena tidak diizinkan oleh Mulyadi untuk berbicara lebih lama dalam rapat, Mustofa memukul Mulyadi saat hendak menuju toilet di belakang ruang rapat.

(Baca: Pukul Pimpinan Komisi VII, Mustofa Assegaf Diskors 3 Bulan)

Mahkamah Kehormatan Dewan turun tangan menangani kasus ini. Mustofa dinyatakan melakukan pelanggaran etika berat. Ia diskors selama tiga bulan, tetapi masih mendapatkan gaji pokok.


3. Sidang pelanggaran etik pimpinan DPR

Di semester kedua 2015, pimpinan DPR digoyang oleh dua kasus pelanggaran etika. Pada awal September 2015, Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, diadukan karena pertemuan mereka dengan calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di New York.

Novanto dan Fadli tidak memenuhi dua panggilan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan atas kasus itu.

Di tengah wacana pemanggilan ketiga pada 19 Oktober 2015, tersiar kabar bahwa keduanya telah diperiksa secara diam-diam oleh dua pimpinan MKD, yakni Surahman Hidayat dan Sufmi Dasco Ahmad, pada 15 Oktober.

Hasil dari sidang tertutup MKD itu adalah Novanto dan Fadli divonis bersalah dan dianggap melakukan pelanggaran ringan.

(Baca: MKD Putuskan Novanto-Fadli Langgar Kode Etik Ringan)

Sepanjang November-Desember 2015, Novanto kembali menjadi sorotan setelah dilaporkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said karena dugaan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden terkait renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI).

Perkara ini muncul karena adanya rekaman pembicaraan antara Novanto, pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT FI Maroef Sjamsoeddin.

Dalam sidang terbuka MKD, Sudirman Said menyerahkan rekaman suara lengkap pertemuan itu sebagai bukti. Di hadapan MKD pula, Maroef menyebut rekaman itu ia buat untuk melindungi diri.

Novanto juga bersaksi di hadapan MKD, tetapi dalam sidang tertutup. Ia membantah tudingan Sudirman dan menyebut rekaman itu dibuat secara ilegal.

(Baca: Sidang Tertutup yang Ditutup-tutupi...)

Atas perkara ini, Presiden Joko Widodo merasa marah karena ia merasa lembaga negara dipermainkan. Kejaksaan Agung pun ikut mengusut dugaan pemufakatan jahat dalam kasus tersebut.


4. Kinerja legislasi jeblok

Setelah setahun lebih sejak dilantik pada Oktober 2014, DPR baru mengesahkan dua undang-undang. Padahal, ada 39 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional 2015.

Kedua UU yang disahkan merupakan revisi terbatas atas UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

(Baca: ICW: DPR Setahun Tanpa Kerja)

Di tengah sorotan tentang rendahnya kinerja legislasi, DPR memicu polemik akibat adanya usulan merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Soal ini, DPR dianggap ingin mengebiri kewenangan KPK sekaligus memperlemah kekuatan lembaga antirasuah tersebut.



5. Jerat korupsi


Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya ada 55 anggota DPR dijerat kasus korupsi. Khusus tahun ini, ada tiga anggota legislatig yang terjerumus dalam pusaran korupsi.

Pada 9 April 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Adriansyah. Penangkapan dilakukan di sela-sela Kongres V PDI-P di Bali.

Adriansyah terbukti menerima suap Rp 1 miliar, 50.000 dollar AS, dan 50.000 dollar Singapura untuk memuluskan izin tambang di Tanah Laut. Atas perbuatannya, ia diganjar hukuman tiga tahun penjara.

Perkara korupsi juga menjerat anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Patrice Rio Capella. Ia didakwa menerima suap Rp 200 juta dari Gubernur Sumatera Utara (nonaktif) Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti, untuk mengamankan kasus dana bantuan sosial di Kejaksaan Agung. Perkara ini tengah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Operasi tangkap tangan oleh KPK juga dialami anggota Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, pada 20 Oktober 2015 di Bandara Soekarno-Hatta. Dewie diduga menerima suap agar proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua, masuk dalam pembahasan APBN 2016.

(Baca: Ini Kronologi Penangkapan Dewie Yasin Limpo dkk)

sumber : http://nasional.kompas.com/read/2015...iring.DPR.2015




prestasi DPR emoticon-Cendol (S)
0
843
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.6KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.