FelungskyAvatar border
TS
Felungsky
JIKA ALLAH MENCINTAI HAMBA-NYA
JIKA ALLAH MENCINTAI HAMBANYA


Rasulullah SAW berkata: ”Jika Allah mencintai seorang hamba maka Allah berikan cobaan baginya. Dan jika Allah mencintainya dengan kecintaan yang sangat maka Allah akan mengujinya.”

Para sahabat bertanya : ”Apakah ujiannya?”

Rasulullah SAW menjawab : “Tidak sedikit pun Allah tinggalkan baginya harta dan anak”.

ALLAH ILHAMKAN KETAATAN KEPADANYA

Imam Ja’far al-Shadiq as berkata: "Jika Allah mencintai seorang hamba, Allah ilhamkan kepadanya ketaatan, Allah biasakan ia dengan qana’ah (menerima apa yang ada), Allah karuniakan baginya pemahaman agama, Allah menguatkannya dengan keyakinan, Allah cukupkan baginya dengan sifat al-kafaf, Allah memakaikannya dengan sifat al-‘afaf.
Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba maka Allah jadikan dia mencintai harta dan Allah mudahkan baginya untuk memperolehnya, Allah ilhamkan kepadanya dunianya, Allah serahkan dia pada hawa nafsunya, maka ia mengendarai al-‘inaad, ia mudah berbuat fasad, dan menzhalimi hamba-hamba Allah”

Sesungguhnya Allah mengilhamkan kepada jiwa semua manusia ketaatan dan maksiat, namun beruntunglah orang yang mengambil ilham ketaatan dan merugilah orang yang mengambil ilham kemaksiatan.

“Maka Allah ilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Al-Syams 91:8-9)

Dan Allah mencintai orang yang terilhami oleh ketaatan dan ketakwaan, lalu ia bersegera menyucikan jiwanya dengan melakukan ketaatan dan ketakwaan.

Seseorang mengeluh kepada Imam al-Shadiq as tentang ketamakannya yang kian hari bertambah. Imam al-Shadiq as menasihatinya, ”Jika engkau merasa beruntung dengan memiliki apa yang mencukupimu, maka engkau akan merasa cukup dengan kebutuhan terkecil dunia ini. Sebaliknya jika engkau tidak merasa puas dengan memiliki kebutuhan-kebutuhan minimum dunia ini, maka seluruh kesenangan duniawi takkan bakal mencukupimu.”

Mengenai pemahaman akan agama, Rasulullah SAW berkata, ”Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan bagi dirinya, niscaya Dia karuniakan pemahaman akan agama”.

Tentang al-Kafaf, yaitu merasa cukup dengan rezeki yang memadai. Sifat al-kafaf ini tidak berbeda jauh dengan Qana’ah.
Ada pun al-‘Afaf, adalah sifat menjaga kehormatan diri dari perbuatan-perbuatan hina.
Diriwayatkan oleh Imam al-Shadiq as bahwa Imam Ali as berkata, ”Seutama-utama ibadah adalah al-‘afaf”.

Dan Rasulullah SAW berkata, ”Sesungguhnya Allah mencintai seorang yang pemalu, yang menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang hina (al-hayya al-muta’affif)”.

Ada pun ‘inad adalah sifat keras kepala. Al Qur’an mengatakan: ”Dan merugilah setiap orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala!” (QS Ibrahim 14:15).
Baqir al-Majlisi menafsirkan ayat tersebut, ”Merugilah orang yang sombong, disebabkan keberpalingannya dari kebenaran.”

ZIKIR SEBAGAI CERMIN CINTA

Rasulullah SAW berkata, ”Wahai Tuhan, beritahukanlah kepadaku orang yang Engkau cintai sehingga aku dapat mencintainya?”

Maka Allah SWT pun berfirman, ”Jika engkau melihat hamba-Ku yang banyak berzikir kepada-Ku lalu Aku izinkan dia untuk berbuat yang demikian itu maka berarti Aku mencintainya. Dan apabila engkau melihat hamba-Ku yang tidak berzikir kepada-Ku lalu Aku hijab dia dari hal yang demikian itu, maka berarti Aku benci kepadanya.”

UJIAN SEBAGAI BENTUK PENDIDIKKAN MENTAL DAN SPIRITUAL

Sebagian orang menganggap ujian merupakan sesuatu yang buruk. Padahal hakikatnya, ujian maupun kesulitan merupakan hal yang bermanfaat dan memiliki dampak positif bagi orang-orang yang tegar (sabar) dalam menghadapinya. Karenanya, mereka berhak mendapatkan berita gembira dan kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ”Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa serta buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah 2:155)

Untuk pengajaran dan pendidikan jiwa manusia, Allah mempersiapkan dua program: program tasyri’i, dan program takwini. Kesulitan dan kesusahan, keduanya ada dalam dua program Tuhan tersebut. Di dalam program tasyri’iy, diwajibkanlah manusia beribadah. Dan pada program takwini, dijadikanlah kesulitan pada setiap awal perjalanan yang dilalui oleh semua manusia.

Program tasyri’iy berada di dalam kewajiban-kewajiban seperti : puasa, hajji, jihad, infaq, amar ma’ruf nahi munkar, tawalla dan tabarra, khumus dan shalat, kesemuanya itu terdapat kesulitan dan kesukaran yang muncul sebagai kewajiban dari syari’at (taklif syar’iy). Sedangkan kesabaran di dalam menghadapinya dan istiqamah (teguh dan tetap) sewaktu melaksanakannya pasti dapat menyempurnakan jiwa dan mendidik (menggembleng) kesiapan-kesiapan jiwa yang andal bagi manusia.

Permasalahan ini tidak bertentangan dengan prinsip bahwa agama (Islam) tidak bermaksud untuk mempersulit manusia. Maksud sesungguhnya dari prinsip ini bukan berarti bahwa agama itu kosong dari tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban (taklif) dan latihan (tamrin), melainkan bahwa di dalam agama tidak ada perintah-perintah yang akan menghalangi kemajuan manusia dan akan memenjarakan aktivitas (dan kreavitas) nya yang benar.

Semua hukum-hukum agama telah ditetapkan (oleh Tuhan) untuk tidak membelenggu tangan dan kaki, tetapi juga tidak mendorong manusia untuk malas, lengah dan lalai.

Sedangkan program takwini berada di dalam kelaparan, ketakutan, kerugian material serta hilangnya jiwa merupakan kesulitan-kesulitan yang diciptakan oleh hukum takwini yang mau tidak mau harus dihadapi oleh semua manusia (sebagai sunatullah atau biasa disebut hukum alam).

UJIAN DAN COBAAN SEBAGAI BUKTI CINTA TUHAN

Apabila Allah SWT secara khusus menyayangi seorang hamba-Nya, niscaya Dia akan menhadapkannya pada berbagai kesulitan dan kesusahan. Imam Muhammad al-Baqir as berkata: ”Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan ujian dan cobaan kepada seorang mukmin sebagaimana seorang suami menjanjikan kepada isterinya dengan hadiah yang dirahasiakan (disembunyikan)-nya.”

Atau dalam hadits lainnya, Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, ”Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba niscaya Dia tenggelamkan hamba tersebut ke dalam cobaan.”

Hal ini bisa dicontohkan dengan seorang pelatih renang. Sewaktu ia diminta untuk melatih seseorang agar bisa berenang, maka ia akan melatih orang tersebut dengan mengerahkan segenap kemampuannya agar orang itu bisa berenang. Sama saja dengan Allah SWT ketika mencintai seorang hamba, maka Dia akan mendidiknya – untuk mencapai kesempurnaan – dengan mengujinya dengan berbagai cobaan.

Seseorang yang ingin pandai berenang, tetapi hanya bermodal dengan membaca buku teori renang tanpa menceburkan dirinya ke kolam renang, pasti seumur hidupnya ia tidak akan pernah bisa berenang. Seseorang yang sungguh-sungguh ingin pandai berenang harus berada di dalam air dan berlatih dengan mencoba bertarung dengan air agar tidak tenggelam.

Bahkan kadang-kadang seseorang yang sedang belajar berenang harus menghadapi maut ketika ia berenang jauh ke tengah laut. Tidak bisa tidak seseorang harus pernah menghadapi kesulitan-kesulitan sejak ia berada di dunia ini, sehingga ia bisa belajar menyelamatkan diri darinya. Ia harus pernah menghadapi kesukaran-kesukaran hidup, sehingga ia menjadi lebih dewasa dan matang.

TIIDAK ADA KEBAIKAN BAGI ORANG YANG TIDAK PERNAH DITIMPA MUSIBAH

Suatu hari, Rasullah SAW diundang ke rumah salah seorang Muslim. Sewaktu beliau tiba di rumahnya, beliau melihat seekor ayam sedang bertelur di sebuah sarang di samping rumah. Beliau melihat telor ayam tersebut tidak jatuh, dan kalaupun jatuh ternyata tidak pecah. Betapa takjubnya Rasullah saww melihat kejadian tersebut.

Karena itu, pemilik rumah tersebut bertanya kepada beliau, “Engkau heran melihatnya, ya Rasullah? Demi Allah yang telah memilih Anda sebagai Nabi, sesungguhnya saya selama ini tidak pernah sakit”

Rasulullah segera meninggalkan rumah tersebut, seraya berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah mengalami musibah, maka ia jauh dari kasih sayang Allah.”

SEMAKIN TINGGI TINGKAT SPIRITUAL SESEORANG SEMAKIN BERAT UJIANNYA

Diriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya disebutkan di dalam kitab ‘Ali bahwa yang paling berat cobaannya di antara semua manusia adalah para nabi, dan setelah mereka adalah para washiy (para Imam Ahlul Bait as), dan setelah mereka adalah orang-orang pilihan yang seperti mereka. Sungguh orang mukmin pasti mengalami cobaan sesuai dengan kadar amal baiknya. Maka, orang yang baik agamanya dan baik pula amalnya akan lebih berat cobaannya. Hal itu disebabkan Allah SWT tidak menjadikan dunia ini sebagai tempat memberi pahala bagi orang mukmin dan tempat menyiksa orang yang ingkar. Dan orang yang lemah imannya dan buruk amalnya, akan lebih ringan cobaannya. Sesungguhnya, cobaan itu menimpa orang beriman lebih cepat daripada air hujan yang turun ke bumi.”

Sesungguhnya manusia yang paling keras cobaannya ialah para Nabi, kemudian orang-orang setelah mereka, dan selanjutnya orang-orang setelah mereka yang layak mendapatkan cobaan seperti mereka. Para penyusun kitab-kitab hadis, membuat bab khusus mengenai kerasnya cobaan yang dihadapi oleh Amir Al-Mu’minin, para Imam dan putra-putranya.

Cobaan yang dihadapi oleh para kekasih Allah, pada dasarnya, adalah kasih sayang-Nya yang dikemas dengan penderitaan, sebagaimana halnya dengan kenikmatan dan kesehatan yang dialami oleh mereka yang dimurkai oleh Allah, yang pada dasarnya merupakan siksaan untuk mereka yang dikemas dalam bentuk kenikmatan, dan kemurkaan dengan bentuk kasih sayang.

Imam al-Shadiq as berkata, ”Besarnya pahala seseorang sebanding dengan besarnya penderitaannya dan tidaklah Allah mencintai seorang hamba kecuali Dia menghadapkannya dengan penderitaan”.

Bala’ yang berarti ujian dan cobaan dapat terjadi pada manusia yang baik maupun yang jahat. Bala’ dan ibtila’, tidak hanya terbatas hanya berupa penyakit berat atau ringan, atau kesengsaraan, seperti kemiskinan, penghinaan, dan kehilangan keuntungan-keuntungan duniawi.

Bahkan seperti kekuasaan, kebesaran, kekayaan, ketinggian status, kehormatan, dan yang semacam itu juga merupakan bentuk lain dari ujian dan cobaan.

Tetapi dalam konteks hadits dari Imam al-Shadiq as di atas, bala’ yang dimaksudkan adalah bala’ dalam pengertian yang pertama, yang berupa penderitaan dan kesengsaraan.

BALA ‘ MERUPAKAN UJIAN SARINGAN

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata : “Demi yang mengutusnya (Muhammad SAW) dengan kebenaran, kamu benar-benar akan dicampur baurkan dan kemudian dipisahkan dalam saringan (ujian dan penderitaan).”

Dalam hadits lainnya, Imam al-Shadiq as berkata, ”Sudah merupakan kemestian bagi manusia bahwa mereka mesti dibersihkan, dipisahkan dan disaring sehingga sejumlah besar dari mereka dikeluarkan dari saringan itu.”

Diriwayatkan dari Imam Musa al-Kazhim as, ketika beliau membaca ayat, ” Alif Laam Miim, Apakah manusia itu mengira dibiarkan mengatakan : ‘Kami telah beriman!’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-‘Ankabut 29:1-3) kemudian Beliau as berkata, ”Ujian yang dimaksud dalam ayat ini adalah ujian dalam agama.” Kata beliau lagi, ”Mereka akan dibakar dan dibersihkan sebagaimana dibakar dan dibersihkannya emas (dari karat dan kotorannya)!”.

Semoga bermanfaat emoticon-Smilie emoticon-shakehand
0
4.5K
29
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.7KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.