Agan sekalian, masih ingat kan di tahun 2014 lalu, tepatnya di bulan April, ada kasus yang bikin geger dunia pendidikan di Indonesia bahkan international?
Ya bener gan, kalo agan inget itu adalah kasus kejahatan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS), dimana terjadi pencabulan kepada anak murid yang dilakukan oleh petugas kebersihan dan guru JIS. Mungkin buat agan yang udah lupa-lupaan ini ane kasih beritanya gan:
Quote:
Runutan Waktu dan Tersangka Pelecehan Seksual di JIS
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya menemukan adanya dugaan korban lain dalam kasus kekerasan seksual di Taman Kanak-kanak Jakarta International School (JIS). (Baca: Wawancara Khusus Kepala JIS: Kasus Ini Amat Berat dan Kata JIS Soal Guru dan Buron Pedofil)
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan korban lain diketahui dari pengakuan lima tersangka yang kini sudah ditahan. "Ada dua kejadian dalam satu hari pada 20 Maret 2014 di Toilet Gymnasti dengan korban yang belum diketahui," kata Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Sabtu, 26 April 2014. (Baca: Polisi : Ada Tujuh Kasus Kekerasan Seksual di JIS)
Namun kelima pelaku yang merupakan petugas kebersihan itu tidak mengenal korban. Untuk itu, kata Rikwanto, lima pelaku akan menunjuk korban melalui foto-foto. "Karena sampai saat ini belum ada korban lain yang melapor. Nanti kami akan berikan foto-foto anak-anak TK JIS agar pelaku menunjuk korbannya," ujarnya. "Nantinya, kami akan konfirmasi ke korban." (Baca: 8 Kasus Pedofilia yang Bikin Geger Indonesia)
Penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan dan menahan lima tersangka dalam kasus kekerasan seksual yang dialami seorang murid TK JIS. Mereka adalah Awan, 20 tahun, Agun (25), Afriska (24), Za (28), dan Sy (20). Kini penyidik masih mencari satu tersangka lagi yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap murid TK JIS.
Berikut ini waktu kejadian dan peran tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap murid-murid di TK JIS.
1. 2 Februari 2014
Tersangka Awan, Za, dan Sy melakukan tindak kekerasan seksual di Toilet Anggrek.
2. 3 Februari 2014
Tersangka Awan, Agun, Za, dan Sy melakukan kekerasan seksual di Toilet Anggrek. Peran mereka bergantian--ada yang melakukan pelecehan seksual, memegangi korban, dan berjaga di pintu.
3. Pertengahan Februari 2014
Tersangka Awan, Afriska, dan Agun bergantian melakukan kekerasan seksual terhadap korban.
4. 14 Maret 2014
Tersangka Afriskan, Za, dan satu lagi yang masih buron berbagi tugas serta bergantian melakukan kekerasan seksual terhadap korban.
5. 17 Maret 2014
Tersangka Afriska dan seorang pelaku yang masih dalam pencarian melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap siswa TK JIS.
6. 20 Maret 2014
Ada dua kejadian kekerasan seksual yang dialami korban yang belum diketahui identitasnya. Pelecehan seksual terjadi di Toilet Gymnasti yang berjarak sekitar 100 meter dari Toilet Anggrek. Pelakunya adalah Awan, Sy, dan satu lagi masih dalam pencarian.
Sumber
Ini bener-bener sedih gan, dimana kejahatan seperti ini sering banget terjadi gan dimana-mana, terutama di Indonesia. Tapi karena ini Institusi besar yang menjadi tersangka, jadinya beritanya ada dimana-mana gan. Keekspos banget pokoknya gan.
itu semua awalnya sih. Ane sempet kemakan emosi gan, ya bayangin aja keji banget perbuatan para pelaku. Makanya ane ngikutin dan concern sama kasus ini.
Tapi, makin berkembangnya kasus, perasaan janggal makin muncul gan! Ane mulai ngerasa janggal di saat orang tua korban pelecehan menaikkan tuntutan ganti rugi dari 12.5 Juta Dollar AS jadi 125 juta dollar AS gan! itu jumlah gede banget.
Ini yang bikin ane jadi curiga gan. Pasti ada apa-apanya nih gan. Ane jadi mikir kalo ini ada unsur pemerasan di balik kasus JIS. Ditambah lagi pada saat persidangan lalu banyak yang merasa ada banyak kejanggalan dari penyidikan kasus JIS ini.
Quote:
Reka Ulang Janggal, Bukti Penyidikan Kasus JIS Dinilai Tidak Sah
Liputan6.com, Jakarta - Banyak kejanggalan yang terjadi dalam penanganan kasus dugaan kekerasan seksual anak yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Seperti proses reka ulang yang dilakukan Polda Metro Jaya dalam mengungkap kasus tuduhan pelecehan seksual ini. Maka itu seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai pembuktian di persidangan.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta Irwanto mengatakan, dirinya sudah melihat video reka ulang kasus JIS dan banyak kejanggalan yang terjadi. MAK yang ditemani orangtua pelapor menjalani reka ulang yang diarahkan polisi. Ketika reka ulang dilakukan, MAK disuruh jongkok yang kadang-kadang dia protes, tetapi tetap disuruh jongkok lalu kemudian difoto.
"Bukti seperti itu kok bisa dipakai di pengadilan? Padahal bukti-bukti yang diarahkan itu tidak sah digunakan sebagai pembuktian. Kalau reka ulang demikian muncul pertanyaan apa benar terjadi sesuatu?" tanya Irwanto, Jumat (12/6/2015).
Irwanto juga menyayangkan proses reka ulang tidak segera dilakukan setelah ada peristiwa dugaan kekerasan seksual itu. Dengan kecenderungan reka ulang yang diarahkan, maka anak perlahan-lahan akan menyesuaikan dengan arahan tersebut, meskipun tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Sebab, kata Irwanto, anak kecil memiliki kecenderungan sangat mudah dipengaruhi atau diarahkan. Apalagi bila dalam mengarahkan juga dengan tekanan atau paksaan.
"Yang tidak masuk akal, bukti seperti itu justru dipakai untuk memvonis seseorang di pengadilan. Inilah yang menjadikan hukum kita semakin karut-marut," ujar dia.
Kejanggalan lain dalam reka ulang itu, lanjut Irwanto, adalah fakta MAK tidak menunjukkan trauma. Dalam laporannya, MAK disebutkan mengalami kekerasan seksual berkali-kali sejak Desember 2013 sampai Maret 2014. Di mana seharusnya anak tersebut mengalami trauma mendalam dan ketakutan, apabila harus berada di tempat dia mengalami kekerasan seksual.
"MAK tenang-tenang saja, tertawa, ceria seperti tidak terjadi apa-apa, dia mengikuti reka ulang sambil bermain. Mustahil seorang anak yang mengalami kekerasan seksual berkali-kali tetap nyaman di lokasi dia diduga mengalami kekerasan itu," ujar Irwanto.
Pertimbangan Hakim
Salah satu Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, pembuktian dalam suatu persidangan harus menjadi prioritas pertimbangan ketua majelis hakim dalam mengambil suatu putusan. Porsi keyakinan hakim terhadap suatu kasus hanya sekitar 30%, sementara sisanya harus tetap berdasarkan pembuktian selama persidangan.
"Jika masih ada keraguan, ketua majelis hakim bisa menambah jumlah anggota menjadi 5, sehingga keputusan pertimbangan lebih banyak," ujar Gayus.
Kasus tuduhan pelecehan seksual di JIS telah menyeret 6 pekerja kebersihan PT ISS ke meja hijau setelah dilaporkan TPW selaku orangtua MAK. 5 Dari 6 tersangka itu adalah Agus Iskandar, Virgiawan Amin, Zainal Abidin, Syahrial dan Friska Setyani yang divonis 7-8 tahun penjara. Sementara tersangka Azwar meninggal dunia ketika menjalani proses penyidikan di Polda Metro Jaya.
Kasus ini juga menyeret 2 guru atau tenaga pengajar JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong. Kedua guru tersebut sedang mengajukan banding setelah divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam proses persidangan 2 guru, terungkap hasil medis terhadap MAK menyatakan nanah di tubuh bocah itu bukan karena virus penyakit seks menular, tetapi hanya bakteri. Sedangkan hasil medis terhadap AL di sebuah RS Singapura menyatakan tubuhnya normal.
Tuduhan pelecehan seksual di JIS ini dinilai banyak pihak hanya didasarkan dari keterangan anak yang mengaku korban dan cerita orangtuanya. Tetapi tidak ada saksi mata yang melihat langsung kejadian dugaan pelecehan seksual tersebut. (Rmn/Nda)
Sumber
Nah, ini yang bikin ane makin penasaran kalau kasus ini emang ada udang di balik batunya. Ternyata hasil visum korban, tidak terbukti terjadi adanya kekerasan seksual gan! Ini beritanya:
Quote:
Hasil Visum Dubur Korban Kasus JIS Masih Normal
JAKARTA - Sidang kasus dugaan tindak kekerasan seksual di sekolah Jakarta International School (JIS) yang digelar hari ini menghadirkan dr Oktavinda Safitry SpF, sebagai saksi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dalam keterangannya kepada majelis hakim, Oktavinda menegaskan bahwa kondisi dubur korban AK (6) cukup normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kekerasan seksual.
"Secara tegas dr Oktavinda yang langsung menangani proses visum korban AK mengatakan tidak ada masalah di anus korban, semuanya normal dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara medis," ungkap pengacara terdakwa Agun Iskandar, Patra M Zen di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (22/10/2014).
Patra mengatakan kesaksian dr Oktavinda memperkuat kesaksian dr Narain Punjabi dari klinik SOS Medika dua pekan silam.
Dalam penjelasannya, dr Narain merupakan orang pertama yang memeriksa korban AK (6) setelah mengetahui adanya dugaan kekerasan seksual pada 22 Maret lalu, lantas dia juga menegaskan bahwa AK tidak mengalami tindak kekerasan seksual.
Hasil visum RSCM Nomor 183/IV/PKT/03/2014 tanggal 25 Maret 2014 mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan terhadap lubang pelepas korban AK (6) tidak ditemukan luka lecet/robekan, lipatan sekitar lubang pelepas tampak baik dan kekuatan otot pelepas baik.
Sedangkan hasil visum RSPI Nomor 02/IV.MR/VIS/RSPI/2014 tanggal 21 April 2014 menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan visual dan perabaan pada lubang anus AK tidak menunjukkan adanya kelainan.
Kedua hasil visum tersebut memperkuat laporan dari klinik SOS Media tanggal 22 Maret 2014 silam. Dari hasil pemeriksaan terhadap AK disimpulkan bahwa dia tidak mengalami kekerasan seksual.
Patra menambahkan, dalam kesaksiannya dr Oktavinda mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap AK tidak bisa dilakukan hanya sekali. Untuk itu setelah proses visum yang pertama, pihak dokter meminta ibu Theresia Pipit Kroonen untuk membawa kembali anaknya ke RSCM. Namun permintaan itu tidak dilakukan.
Ibu korban justru membawa korban AK ke rumah sakit lain dimana hasil visumnya bisa disesuaikan dengan keinginan pasien.
"Apa yang diminta RSCM persis seperti yang diminta dr Narrain dari SOS Medika ketika memeriksa AK tanggal 22 Maret. Tapi ibu korban tidak mengindahkannya dan mengabaikan permintaan dua rumah sakit itu untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Laporan ke polisi terhadap lima terdakwa ini tidak didukung fakta medis yang kuat," terang Patra.
Sumber
Namun sekarang udah terlihat jelas Gan! Satu-persatu keadilan akhirnya muncul juga.
Diawali dengan dikabulkannya gugatan pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh pihak guru JIS di pengadilan Singapura. Dalam pemeriksaan medis disana memang tidak ditemukan bukti-bukti kerasan seksual seperti yang dilaporkan oleh salah satu orang tua korban. Tidak tanggung-tanggung, pihak orang tua korban diharuskan membayar Rp 2.3 Milyar terkait pencemaran nama baik tersebut.
Berikut beritanya:
LANJUT DI BAWAH GAN