Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

s4nit0reAvatar border
TS
s4nit0re
Jokowi Minta Maaf ke eks- PKI? Itukan Baru Wacana & karena Didesak2 Komnas HAM aja!
Calaka Bos..!!! Jokowi Mau Meminta Maaf kepada Eks PKI
Sunday, 05 July 2015 22:09

Jokowi Minta Maaf ke eks- PKI? Itukan Baru Wacana & karena Didesak2 Komnas HAM aja!

RADJAWARTA.CO : Bendera Partai Komunis Indonesia (PKI) diyakini bakal berkibar kembali di Bumi Indonesia. Ini karena Presiden Jokowi berencana meminta maaf kepada korban dan keluarga PKI. Rencananya pidato resmi Jokowi itu akan disampaikan secara resmi pada tanggal 15 Agustus 2015.

Kabar mengejutkan itu disampaikan Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zien, SIP, Msi kepada media. Menurutnya, kabar permintaan Presiden Jokowi kepada eks PKI dan keluarganya diyakini benar.

“Saya sangat yakin benar, karena saya sudah menanyakan pada orang-orang PDIP, termasuk pada Jimly Asshiddiqie dan mereka membenarkannya,” ujar Kivlan (4/7/2015).

Rencananya permintaan maaf pemerintah melalui Presiden akan disampaikan 15 Agustus 2015 dalam pidato kenegaraan. “Kalau Presiden sampai meminta maaf maka apa yang dilakukan PKI di masa lalu tidak salah. Dan, karena tidak bersalah maka PKI bisa bangkit kembali menjalankan perjuangan ,” ujar Kivlan.

Menanggapi kabar tersebut, secara pribadi Kivlan sangat tidak setuju. Menurutnya, jika pemerintah meminta maaf ke eks dan keluarga PKI tidak benar. Tapi kalau mengampuninya tidak masalah. “Mengampuni secara personel tidak masalah, tapi jangan sampai PKI hidup kembali,” tegasnya.

Oleh karena itu, Kivlan meminta Presiden Jokowi membatalkan rencana permintaan maaf kepada korban dan keluarga PKI. “Tapi kami bersama yang lain siap menolak kembalinya PKI di tanah air ini. Dan, kami sudah melakukan antisipasinya,” pungkasnya.
http://radjawarta.co/index.php/headl...kepada-eks-pki


Komnas HAM Desak Jokowi Tuntaskan Kasus HAM Masa Lalu
12 Mei, 2015 - 08:57

SURABAYA, (PRLM).- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Presiden Joko Widodo segera mengambil tindakan, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, seperti peristiwa pembunuhan tahun 1965, penembakan misterius, penghilangan13 orang, Tragedi Trisakti 1 dan 2, Kerusuhan Mei 1998, kasus Wasior-Wamena, serta penembakan di Talangsari.

Penyelesaian secara hukum maupun rekonsiliasi menjadi pilihan untuk memangkas rantai impunitas yang berimpilikasi pada tetap terpeliharanya tindakan kekerasan.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhammad Nurkhoiron mengatakan, Presiden Joko Widodo harus merealisasikan janji kampanyenya, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau yang hingga kini belum terselesaikan.

Nurkhoiron mengatakan, “Harus ada keberanian politik dari pemerintahan Jokowi, karena Jokowi itu kan menurut saya Presiden yang tidak pernah atau belum, atau bahkan bukan menjadi bagian dari masa lalu. Tidak terjerat, tidak tersandera oleh peristiwa masa lalu. Harusnya dia punya keberanian untuk menyatakan itu.”

Nurkhoiron juga mengungkapkan, percepatan penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu oleh Presiden, dapat dilakukan dengan membentuk tim khusus yang bertugas menindaklanjuti hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Sementara itu semua elemen dan masyarakat diminta mendesak Presiden agar segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Presiden bisa saja misalnya dengan disupport oleh Komnas HAM, membentuk tim khusus dibawah Presiden, misalnya ini contoh ya. Dibawah Presiden dengan dia mengeluarkan Perpres atau apa, yang nanti tim ini menggodok (membahas) seluruh dokumen yang selama ini hanya jadi bola pingpong antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung,” tambahnya.

Sementara, Koordinator Serikat Pengajar HAM Indonesia (Sepaham), Herlambang Perdana Wiratrama mengatakan, upaya pihak-pihak yang melakukan pembiaran dan melindungi pelaku kejahatan, dipastikan akan dapat memicu tindakan kekerasan lanjutan di masa mendatang. Pemerintahan Joko Widodo diminta memotong rantai impunitas, yang justru banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.

“Yang harus sungguh-sungguh diupayakan adalah memangkas mata rantai impunitas. Karena kasus 65 (pemberontakan G30S PKI tahun 1965, red.) itu hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yang kemudian dampaknya hingga sekarang yang paling serius adalah bertahannya sistem impunitas yang kemudian melahirkan potensi kekerasan. Bahkan kekerasan itu sendiri tetap mewarnai dalam konteks politik hukum di Indonesia hari ini,” ujar Herlambang.

Pelarangan aktivitas nonton film bertema HAM seperti "Senyap" di beberapa lembaga pendidikan, menjadi bukti bahwa upaya menjaga ideologi yang melahirkan kekerasan juga dilakukan institusi pendidikan.

Film "Senyap" merupakan film dokumenter yang menceritakan usaha pencarian kebenaran sejarah, serta upaya rekonsiliasi antara keluarga korban dengan pelaku pembunuhan. Pembunuhan dilakukan terhadap ribuan orang yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, meski belum tentu korban yang terbunuh terkait dengan partai komunis.

Herlambang Perdana yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, perguruan tinggi harus menjadi lembaga yang mampu memberikan pemahaman serta pencerahan kepada masyarakat, mengenai nilai-nilai yang benar dan berperikemanusiaan.

“Sekalipun itu mandat politik negara, tapi lembaga pendidikan seperti university itu juga punya andil dalam membangun atau mengembangkan itu. Karena generasi kita kan melalui kampus, melalui lembaga pendidikan, sehingga menjadi penting dan vital bagi upaya memangkas proses-proses pembodohan di republik ini,” papar Herlambang.
http://www.pikiran-rakyat.com/nasion...-ham-masa-lalu


Komnas HAM: Pembantaian PKI adalah Pelanggaran HAM Berat
SENIN, 23 JULI 2012 | 18:47 WIB

TEMPO.CO, Jakarta: Setelah lebih dari empat dekade, kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang sebagian besar menimpa anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia akhirnya dibuka kembali. Senin, 23 Juli 2012 ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu merupakan pelanggaran HAM yang berat.

"Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menemukan terjadinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis, di kantor Komnas HAM.

Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan hak asasi manusia berat.

Nur Kholis mengatakan para korban dalam peristiwa ini mengalami kejahatan berlapis. "Banyak korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujar dia. Kejahatan-kejahatan ini pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Pasalnya, kejahatan terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia dalam kurun waktu bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa. "Misalnya ada 15 orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir berbarengan ada kejadian serupa di Manado, Palu, Medan, dan Palembang,” kata Nur Kholis.

Komnas HAM melakukan pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi di hampir seluruh wilayah Indonesia. "Kami ingin menunjukkan bahwa tindakan ini terjadi merata di Indonesia," katanya. Meski begitu, peristiwa ini tak termasuk genosida. Pasalnya pelaku kejahatan tak menyasar ras, agama, etnis, atau kelompok kebangsaan tertentu.

Hasil penyelidikan Komnas HAM ini akan diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua lembaga ini yang kelak menentukan tindak lanjut atas temuan Komnas HAM ini. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu memang ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika Indonesia memutuskan menggelar pengadilan HAM untuk kasus 1965, ini akan menjadi kemenangan besar untuk barisan aktivis HAM dan demokrasi yang telah menuntut penuntasan kasus ini sejak 1998. Argentina dan sejumlah negara Amerika Latin juga baru menggelar pengadilan atas kejahatan HAM yang dilakukan rezim otoriter mereka pada dua tahun terakhir ini.
http://nasional.tempo.co/read/news/2...aran-ham-berat


Polemik penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
20 Mei 2015

oleh Heyder Affan, Wartawan BBC Indonesia

Jokowi Minta Maaf ke eks- PKI? Itukan Baru Wacana & karena Didesak2 Komnas HAM aja!
Tentara Indonesia menangkap orang-orang yang disangka sebagai pendukung PKI pada tahun 1966. Pembantaian massal 1965 merupakan salah-satu pelanggaran HAM berat.

Kejaksaan Agung dan Komnas HAM mendukung usulan penerbitan keputusan presiden tentang payung hukum rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu yang selama ini terbengkalai.

Tetapi usulan ini kurang disambut antusias oleh pegiat HAM yang meminta agar pelaku pelanggaran HAM diadili terlebih dahulu sebelum rekonsiliasi digelar.

Juru bicara Kejaksaan Agung, Toni Spontana, mengatakan pihaknya dan kementerian terkait akan membahas usulan rekonsiliasi dalam pertemuan lanjutan dengan kementerian terkait yang dijadwalkan digelar pekan ini.

"Tentu ini kita sambut baik... Mengapa tidak, kalau bisa diwujudkan melalui kepres," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Toni Spontana kepada BBC Indonesia.

Ketua Umum MPR Zulkifli Hasan saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Senin (18/05), mengusulkan agar menerbitkan kepres tersebut.

"Kalau menunggu Undang-undang (Kebenaran dan rekonsiliasi) nanti lama lagi," kata Zulkifli Hasan.
'Nyolong sandal saja diadili...'

Sementara pegiat HAM dari LSM Kontras, Haris Azhar, mengatakan tidak terlalu setuju dengan usulan kepres karena isinya lebih mengedepankan rekonsiliasi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

"Justru harus diuji lewat pengadilan, lalu proses hukum berjalan, lalu ada sejumlah hal yang kurang itu bisa dilengkapi dengan komisi kebenaran," kata Haris Azhar kepada BBC.

"Harus didahulukan (jalur) pengadilan. Kenapa? Ada kejahatan yang begitu kejamnya. Ada orang yang nyolong sandal saja dihukum, kok orang membantai 200 orang nggak dihukum," kata Haris.

Jokowi Minta Maaf ke eks- PKI? Itukan Baru Wacana & karena Didesak2 Komnas HAM aja!
Pemerintah Indonesia sejak awal menghendaki pendekatan rekonsiliasi ketimbang upaya peradilan dalam menyelesaikan masalah HAM masa lalu.

Mereka menganggap penyelesaian melalui jalur hukum dianggap 'sulit digelar' karena berbagai alasan, diantaranya kesulitan menemukan bukti-bukti atau saksi-saksi, terutama untuk kasus-kasus lama.

Maka muncullah konsep rekonsiliasi, rehabilitasi, dan kompensasi, yang dianggap sebagai jalan paling bijaksana untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan masa lalu.

DPR belum bahas RUU KKR

Setelah UU KKR yang lama dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu, pemerintah telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang baru.

Dirancang dan dibahas sejak lima tahun lalu, tetapi RUU ini belum juga dibahas di DPR.

Inilah yang mendasari munculnya gagasan agar Presiden menerbitkan kepres ketimbang menunggu pembahasan RUU yang dikhawatirkan berjalan lama.

Jokowi Minta Maaf ke eks- PKI? Itukan Baru Wacana & karena Didesak2 Komnas HAM aja!
Kerusuhan Mei 1998, yang diperkirakan telah menewaskan sekitar 1.300 orang, merupakan salah-satu pelanggaran HAM masa lalu.

Komisi nasional Hak asasi manusia -yang juga mendukung usulan ini- mengatakan sejak awal telah menggagas ide penerbitan Kepres tentang rekonsiliasi.

Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, mengatakan usulan kemudian dibahas dalam pertemuan dengan Kementerian polkam, Kapolri, Panglima TNI serta Jaksa Agung, April lalu.

"Jadi kita berharap memang supaya ada kepastian hukum terhadap tujuh berkas (pelanggaran HAM berat masa lalu) yang sudah ada di Kejaksaan Agung," kata Siti Noor Laila dalam wawancara dengan BBC Indonesia.

Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu dan menyerahkan berkasnya kepada Kejaksaan Agung, tapi tidak pernah berujung ke peradilan karena dianggap kurang bukti.

Diantaranya kasus pembantaian massal 1965, penembakan misterius, kasus Talangsari (Lampung), serta kerusuhan Mei 1998 dan penculikan aktivis.

Walaupun RUU KKR tidak mengatur tentang pengadilan, peluang digelarnya proses hukum ini dianggap masih terbuka dengan adanya Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_..._uurekonsilasi


Jokowi Dituntut Minta Maaf Soal Pembantaian PKI
Senin, 10/11/2014 20:25 WIB

Jokowi Minta Maaf ke eks- PKI? Itukan Baru Wacana & karena Didesak2 Komnas HAM aja!
Jokowi Dituntut Minta Maaf Soal Pembantaian PKIPresiden Joko Widodo (Getty Images/Oscar Siagian)

Jakarta, CNN Indonesia -- "Kita harus mendukung presiden baru karena dia ingin menyelesaikan masalah HAM."

Ucapan itu bukan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia. Joshua Oppenheimer, sutradara film dokumenter asal Amerika yang mengucapkannya. Itu merupakan sebagian harapan Joshua saat menggarap dua film tentang pembantaian Indonesia, The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap).

Film pertamanya mendapat banyak penghargaan. The Act of Killing bahkan masuk nominasi Oscar, meski tak sampai membawa pulang piala. Kini, film keduanya membuat Venice International Film Festival terperangah. Saat pemutaran perdana di Jakarta, Senin (10/11) Joshua mengatakan ia ingin mengubah sesuatu di Indonesia.

Ia ingin luka hati karena pelanggaran HAM di Indonesia sembuh. Caranya, kata Joshua, melalui pengungkapan sejarah hitam dan permintaan maaf dari pemerintah. Sebab menurutnya, sejarah bukan untuk ditutupi. Ia tahu pembantaian jutaan orang tak bersalah di tahun 1965 harus dibuka kembali, bukan dibiarkan terlupakan.

"Tahun 1965 adalah titik awal pelanggaran HAM di Indonesia. Dari situlah rezim ketakutan dan senyap mulai terbentuk. Rakyat trauma, diam, dan terpaksa menerima pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi belakangan," ujar Joshua melalui Skype. Ia memang tak hadir dalam pemutaran perdana The Look of Silence di Indonesia. Namun Joshua berharap pesan filmnya tersampaikan.

"Kalau mau serius memberantas pelanggaran HAM, kita harus menganggap tahun 1965 adalah kuncinya," ia menuturkan. Melalui filmnya, ia berharap mata masyarakat dan pemerintah lebih terbuka. Lalu, ada yang berinisiatif mengakui dan memaafkan, tak hanya diam berpangku tangan.

"Presiden baru pernah berkata dalam kampanyenya, ingin menyelesaikan masalah HAM. Ingin mengakui apa yang terjadi. Kita harus mendukung segala upaya agar pemerintah Indonesia secara resmi mengakui yang terjadi dan meminta maaf sebagai bentuk rekonsiliasi," ucapnya dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Joshua menambahkan, "Kalau tidak begitu, luka Indonesia tidak akan pernah sembuh," ucapnya tegas.

Ucapan Joshua itu didukung penuh oleh Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM, M. Nur Khoiron menargetkan, tahun 2015 Joko Widodo sebagai presiden baru Indonesia harus menegaskan soal pelanggaran HAM. Mengakui, katanya, adalah bagian dari langkah mengungkap kebenaran. Setelah itu Jokowi perlu meminta maaf pada keluarga korban yang menderita karena dituding PKI, dan memastikan pelanggaran HAM tak terjadi lagi.

"Tanggal 10 Desember mendatang akan ada lokakarya nasional. Kami berharap ada pidato dari presiden baru. Kami harap beliau hadir, dan menyampaikan apa agenda pemerintah soal penyelesaian pelanggaraan HAM di masa lalu," ujarnya membeberkan. Ia menegaskan, ini saatnya persepsi sejarah diubah, terutama menyangkut komunisme.

Joshua sendiri merupakan sutradara asal Amerika Serikat. Ia membuat dua film dokumenter tentang pembantaian PKI di Indonesia, berdasarkan riset sejak awal 2000-an. Film pertamanya bercerita dari sudut pandang pelaku, Anwar Kongo, yang dengan bangga melakukan pembantaian atas nama pembelaan negara.

Sedang The Look of Silence yang hari ini diputar, memandang lewat mata Adi Rukun, seorang anggota keluarga korban. Alih-alih diam, Adi memilih menentang kesenyapan dan mendatangi pembunuh kakaknya, Ramli, satu per satu. The Look of Silence menggambarkan betapa Adi dan keluarganya terluka, sementara pembunuhnya berbangga.

"Saya enggak suka pembunuh mengaku pahlawan ideologi dan negara. Saya harap diakui bahwa itu salah," kata Adi mengungkapkan.
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/...mbantaian-pki/

-----------------------------

Ini wacana kayak lumayan untuk mengalihkan masalah peliknya perekonomi rakyat akhir-akhir ini, apalagi ditabah ancaman krisis Yunani dan krisis keuangan China segala. Disamping itu juga bisa mengalihkan dari konflik kemungkinan diangkatnya kembali kasus Centrury oleh PDIP atau BLBI oleh Demojrat yang sebelunya sudah main ancam itu


emoticon-Angkat Beer

0
6.2K
37
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.